Sabtu, 25 Agustus 2012

Tokoh Teater Perempuan Riau Dari Masa Ke Masa


Untuk memulai tulisan tentang geliat perempuan di kencah teater Riau, memang terasa berat. Hal ini disebabkan keterbatasan saya mengumpul nama-nama perempuan yang memberanikan bertungkuslumus dalam bidan teater. Namun demikian saya merasa terbebani kalau tidak menulisnya. Untuk itu, saya sangat berbesar hati seandainya Tuan-tuan dan Puan-puan menambah atau memeberi informasi kepada saya tentang perempaun yang berani terjun ke dunia teater di Riau.

Sebagian besar nama tokoh teater perempuan yang saya sebutkan nanti, merupakan bual-bual saya dengan Azuan Razak (Datuk Bandar) di Mara Studio (AKMR) pada tanggal 20 Mei 2010. Saya pun tidak membilah apakah tokoh teater perempuan di Riau ini sebagai atris (pelakon) saja, maupun sebagai sutradara. Bagi saya dalam dunia teater semua elemen sangat penting. Sutradara tidak akan besar tanpa pelakon, begitu sebaliknya. Mudah-mudahan tulisan ini tidak berhenti sampai di sini. Paling tidak tulisan ini membangkitkan semangat pekerja teater, khususnya perempuan dalam mengharumi nama Riau.

Sebagaimana saya sampaikan di atas, tulisan ini jauh dari sempurna. Saya tidak memasukan biodata lengkap tentang tokoh teater perempuan Riau. Cuma nama-nama saja yang dapat saya tulis, itupun tidak nama lengkap. Semoga Tuan-tuan dan Puan-puan dapat memberikan informasi lengkap kepada saya mengenai tokoh teater perempuan yang saya cantumkan di bawah ini.

Nama-nama tokoh teater perempuan Riau:
Opek
Sulastri
Mia
Oneta
Butet KH
Multi Tintin
Eli
Helda Suhada
Endang
Kuni Masrohanti (Penulis naskah, pelakon dan sutradara)
Dewi MN (Penulis naskah, pelakon dan sutradara)
Rina (Penulis naskah, plekon dan sutradara)
Novi Yanti (Pelakon dan sutradara)
Tengku Ira Bahtera (Pelakon dan sutradara)
Chairani Erbaiti, Inhil (Pelakon dan sutradara)

Pada 5 tahun belakangan ini, tokoh teater perempuan yang masih eksis memperlihatkan aktivitasnya adalah Rina, Novi Yanti, Chairani Erbaiti, Dewi MN dan Kuni Masrohanti. Rina dengan Sanggar Selembayung-nya, tak henti-hentinya menyuguhkan beberapa kali pementasan, baik pada festival teater yang ditaja Dewan Kesenian Riau, maupun pementasan tunggal. Dari aktivitas teater yang dilakukan Rina, yang paling berkesan adalah ketika Rina bersama Sanggar Selembayung mendirikan kelompok teater anak-anak “Keletah Budak”. Keletah Budak beberapa kali mengadakan pementasan baik untuk televisi maupun pementasan di panggung. Pada tahun 2008, Rina menyutradarai pementasan teater berjudul Cik Apung di gedung Dewan Kesenian Riau. Pementasan ini juga mewakili Riau dalam Temu Teater perempuan di Lampung tahun yang sama. Pada tahun 2009, Rina menggarap pementasan Awang Putih dipentaskan di Anjung Seni (gedung seni) Idrus Tintin, Bandar Serai, Pekanbaru Riau. Pada tahun 2010, Rina bersama Keletah Budak-nya menggarap teater yang ditayangkan di Riau Televisi. Ke depan, tahun 2011, Rina juga telah memprsiapkan pementasan untuk Keletah Budak. Pada tahun 2012, tepatnya bulan Juni, Rina kembali memantaskan karyanya berjudul Melodi Pengakuan.

Novi Yanti, Dewi MN, dan Kunni Masrohanti belakangan ini lebih banyak bersama menggarap teater. Dalam catatan saya mereka bertiga mengadakan pementasan Dialog Orok pada tahun 2008 di Taman Budaya Riau. Pada tahun 2009 ketiga perempuan itu juga menggarap pementasan berjudul Perempuan-perempuan yang dipentaskan di Anjung Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Tahun 2010 Novi lebih fokus menggarap murid-murid sekolahnya dan pada tanggal 18 Desember 2010 bertempat di Tamam budaya Riau, Novi menggelar pementasan teater berjudul Batu Belah Batu Bertangkup. Untuk tahun ke depan, Novi Yanti akan menggelar pementasan teater berjudul Persimpangan bersama muridnya. Dewi MN dan Kuni Masrohanti nampaknya untuk tahun ke dapan belum mempunyai plan memperlihatkan kebolehan mereka. Pada bulan Juli 2012, Kunni Masrohanti mementaskan naskah GP Ade Dharmawi berjudul Peri Bunyian.

Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater perempuan Riau yang bermastutin di luar Pekanbaru, Tembilahan (Inhil) tepatnya. Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater perempuan lama yang sampai sekarang masih memperlihatkan kecintaannya terhadap dunia teater dengan melakukan beberapa kali pementasan. Chairani yang tercatat sebagai guru di SMA Negeri 1 Tembilahan, mengadakan pementasan bersama muridnya. Ada beberapa pementasan teater Chairani yang tercatat. Pada tahun 2006 Chairani menggelar pementasan teater berjudul Senandung Semenanjung di Taman Budaya Riau. Pementasan ini juga dipentaskan di Jakarta. Tahun 2007 naskah berjudul Katobong selain dipentaskan di Taman Budaya Riau, juga dipentaskan di Jakarta. Tahun 2010 Chairani bersama sanggar teaternya Bujang Dara, menampilkan pementasa teater berjudul Menggapai Hasrat.  

Inilah selintas pandang tentang tokoh teater perempuan di Riau. Sesuatu yang membanggakan dan merupakan spirit yang pantas diapresiasikan. Dari pementasan yang saya saksikan, tokoh teater perempuan Riau ini, tidak membuat sekat antara lelaki dan perempuan. Bagi mereka, (menurut pendapat saya) lelaki dan perempuan memiliki peranan yang sama di atas bumi ini. Mereka, seperti kebanyakan kelompok teater perempuan di negara tercinta ini,  tidak menggugat kehadiran keperempuanan mereka di atas panggung. Semua pementasan yang mereka pegelarkan bersifat universal tentang kemanusiaan secara umum. Hal ini merupakan kekuatan tersendiri bagi Riau, sebab bagaimanpun juga, kebudayaan Melayu Riau memberikan porsi yang sama antara perempuan dan lelaki. Ini bisa kita lihat dari teater tradisi Melayu, Makyong, yang meletakkan perempuan sebagai tokoh sentral.

Mudah-mudahan catatan yang tidak seberapa ini, memunculkan pekerja teater perempuan di Riau. Dan saya mohon maaf kalau ada tokoh teater perempuan Riau yang belum tercatat dalam catatan ini. Terima kasih.

Baca Selanjutnya >>

Jumat, 24 Agustus 2012

Pementasan Monolog “Lipas Kodung” Syarifuddin


Seperti biasa, setiap kali berkunjung ke tempat kumuh, dia bersua dengan binatang kecil melata yang paling dibenci, lipas. Sebagai seorang yang berpangkat, dan memiliki kekuasaan, lipas, alias coro, alias kecoa, merupakan binatang yang harus dimusnahkan. Maka setiap kali dia bersua dengan lipas, tanpa ampun lagi, dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan dengan kekuatan penuh, dia pun menginjak lipas itu. Penyet, hancur, bersepailah lipas itu di bawah kakinya. Dia pun selalu tersenyum setelah melakukan pemusnahan terhadap lipas. “Lipas atau coro atau kecoa, binatang yang berasal dari daerah bawah, harus dimusnahkan. Sekali lagi saya katakan, bahwa yang berasal dari bawah itu kotor, jorok selalu menganggu ketenangan , pemandangan dan harus dimusnahkan,” ujar tokoh itu dengan yakin.

Namun kali ini, ketika sang pejabat itu mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak membunuh lipas kodung yang paling dia benci, dia mendengar suara minta tolong. Suara itu sayup terdengar. Semua manusia memiliki hati nurani, tidak terkecuali sang pejabat itu. Suara minta tolong menyentuh perasaannya dan kakinya yang diangkat tinggi-tinggi berhenti di udara. Dia melihat ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, tapi dia tidak menemukan pemilik suara yang minta tolong itu. Dia kembali memasang pendengaran dengan seksama, suara minta tolong terdengar lagi. Tiba-tiba, matanya mengarah kepada lipas kodung yang berada di bawah kakinya yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Dia menurunkan kakinya pelan-pelan, bersamaan dengan itu, kepalanya ikut turun ke bawah untuk memastikan apakah suara minta tolong itu berasal dari lipas kodung yang paling dia benci.

“Apakah kau yang minta tolong?” dia bertanya. Lipas kodung yang telah tersudut oleh ketakutan membenarkan pertanyaan itu. Maka terjadilah dialog antara sang pejabat dengan lipas kodung itu. Sang pejabat sebenarnya tidak percaya bahwa lipas kodung itu bisa berbicara, semakin pejabat itu tidak percaya, semakin kuatlah lipas kodung itu meyakinkan bahwa memang ia bisa bicara. Dialog pun semakin mengerucut tentang masalah-masalah antara pemilik kekuasaan dengan “pemilik” kesengsaraan. Pada akhirnya hati nurani sang pemilik kekuasaan tertimbus rasa beci, dengan yakin, sang penguasa mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menginjak lipas kodung itu sampai lenyet. Kekuasaan tetaplah berkuasa melakukan apa saja.

Sepintas cerita di atas merupakan gambaran monolog “Lipas Kodung” adaptasi dari “Coro” karya Putu Wijaya, yang dimainkan oleh Syarifuddin pada acara Malam Apresiasi Teater (Master) mahasiswa Jurusan Teater, Akademi Kesenian Melayu Riau (Rabu, 30/11/2001) di Teater Arena AKMR. “Coro” karya Putu Wijaya, di tangan Syarifuddin menjadi bernuansa lokal daerah Riau yang kental. Syarifuddin lihai mencari padanan kata, sehingga naskah “Coro” Putu Wijaya, hidup di tengah masyarakat Melayu Riau. Sosok Putu Wijaya hilang dalam pemanggungan Syarifuddin, kecuali pada dialog-dialog bernas mengkritisi penguasa ala Putu Wijaya yang masih tetap kelihatan. Inilah keberhasilan Syarif yang patut ditelaah, membawa naskah orang lain menjadi peristiwa tempatan.

Pementasan teater monolog, bukan hal yang gampang untuk dipertunjukan. Pementasan ini memerlukan aktor yang kuat, sehingga cerita yang dibawa ‘hidup’ dan dapat menusuk perasaan penonton. Untuk itulah, seorang aktor harus mampu menyampaikan dialog-dialog dalam naskah menjadi dialog yang komunikatif dengan penonton. Syarifuddin menyadari hal ini, dan dengan kekuatan aktingnya, Syarif menambah idiom-idiom Melayu masuk ke dalam naskah. Selain itu, Syarif juga membangun suasana humor ala Melayu, menjadi bersebati dengan naskah, sehingga terbentuklah akting Syarif bukan akting Putu Wijaya yang terkenal dengan konsep ‘teror’ itu.

Syarifuddin yang memiliki kelenturan tubuh yang bagus, vokal yang baik dan penjiwaan yang dalam, menciptakan peristiwa yang seakan tidak dibuat-buat. Dialog antara sang penguasa dan lipas kodung mengalir jernih, natural, sehingga penonton terbawa dalam percakapan murni, tanpa curiga bahwa mereka sedang menyaksikan pementasan teater monolog. Kemurnian akting ‘keseharian’ Syarif, memang menjadi kekuatan dalam pementasan ini. Peran penguasa dan menjadi tokoh lipas kodung, terbangun melalui gerak tubuh, penjiwaan dan vokal Syarif. Bagaimana lipas kodung berharap jangan dibunuh, Syarif pun ‘mengecilkan’ tubuhnya di lantai, cemas, ketakutan dan harapan terpancar dari raut ‘Syarif Lipas’ untuk tidak diinjak. Begitu juga ketika penguasa dengan tanpa belas kasihan harus membinasakan makhluk yang berada di bawah dengan kesombongan, Syarif mengubah karakternya dengan pasti.

Kekuatan lain yang menyebabkan pementasan teater monolog “Lipas Kodung” itu berashasil (menurut saya) adalah celetukan-celetukan (improvisasi) yang dilakukan Syarifuddin. Celetukan-celetukan atau improvisasi Syarif yang ketal dengan humor dan menggunakan idiom-idiom Melayu, semakin memperkokoh komunikasi antara aktor dan penonton. Sesekali Syarif mendekati penonton dan mengajak berintraksi dalam cerita yang sedang dibawanya. “Kan begitu, ye tak?” Syarif meyakinkan penonton, dan penonton yang diajak bicara tersenyum  sambil meng-iya-kan apa yang dikatakan Syarif.

Dalam pementasan monolog “Lipas Kodung” itu, esensi cerita tidak hilang. Bagaimana nasib rakyat kecil yang disimbolkan dengan lipas, selalu tidak berdaya berhadapan dengan penguasa. Kaum bawah, lipas, menjadi objek yang selalu dipersalahkan karena menciptakan ketidaknyamanan sebuah negeri. Kumuh, jorok, kotor dan merongrong kemapanan yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan. Untuk itulah, tanpa ampun harus dimusnahkan. Inilah negeri ini, kemiskinan  merupakan penyebab terjadinya tindakan kriminal, kekacauan, kesemerautan, tanpa melihat sumber ‘peristiwa jorok’ itu terjadi. Sadarkah kita bahwa segala yang tidak nyaman ini muncul disebabkan kebijakan dari pemilik kekuasaan? Jalan terbaik untuk menghilangkan “kejorokan” yang diciptakan oleh kaum bawah, bukan dengan memusnahkannya, tapi jadikan mereka sejahtera. Itulah tugas pemilik kuasa,  

Pementasan monolog yang berdurasi 45 menit itu, merupakan pementasan terakhir dari 4 karya yang digelarkan pada malam itu. Pementasan pertama, berjudul “Tanpa Judul” yang dibawakan mahasiswa AKMR. Pementasan kedua, berjudul Persimpangan, naskah P. Haryanto, yang dibawakan oleh siswa SMK Labor, Pekanbaru. Pementasan ketiga, monolog yang dibawakan oleh Fakhruddin berjudul Episode Daun Kering, dan terakhir monolog “Lipas Kodung” adaptasi dari naskah Putu Wijaya berjudul Coro.

Walaupun empat pementasan teater ini dipegelarkan di gedung yang tidak representatif, dengan lampu seadanya, akustik gedung buruk, namun semangat pekerja teater dari generasi muda Riau terus berkibar. Ini modal dasar untuk terus berkarya, dan teater, walaupun hidup dalam kimiskinan, tetap perkasa dalam karya. 
(Tulisan ini dimuat di Riau Pos, hari Ahad (4 Desember 2011)

Baca Selanjutnya >>

Proses Penciptaan Teater “Hikayat Puyu-Puyu”


Hikayat merupakan karya sastra lama berisi cerita sejarah maupun fiksi. Hikayat juga merupakan cerita yang memiliki kekuatan untuk membangkitkan semangat juang. Semangat juang inilah menjadi landasan kebanyakan karya seni. Karya seni itu dicipta bukan untuk kegagahan penciptanya, jauh dari itu, karya seni merupakan hamparan kehidupan bagi manusia untuk menggali keberadaannya di muka bumi ini. Dengan karya seni, menurut Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra, memberi kita pengetahuan tentang suatu keadaan.

Karya seni yang memiliki ‘amunisi’ pembangkit semangat juang, (meminjam istilah Hasan Junus) seperti sebuah pohon besar yang akarnya menancap ke bumi dan berbuah di sembarang musim. Karya seperti ini terus menjadi inspirasi bagi seniman-seniman yang hidup jauh sesudah karya seni itu diciptakan. Kebanyakan karya seni lama, khususnya karya sastra, memiliki daya ‘dorong’ membuka ‘pintu’ imajinasi para seniman sesudahnya. Hal ini disebabkan seniman masa lalu tidak mencari keuntungan pribadi atas karyanya. Itu sebabnya para seniman/sastrawan masa lalu tidk mencbtumkan namanya pad karya yang mereka hasilkan.

Salah satu karya seni/karya sastra lama yang memiliki kekuatan perjuangan adalah Syair Ikan Terubuk. Dalam syair alegori (kiasan) Ikan Terubuk diceritakan keinginan kekuasaan besar, dikiaskan dengan Ikan Terubuk, ingin menguasai kekuasaan lebih kecil yang dikiaskan Ikan Puyu-puyu. Terlepas dari kiasan Terubuk mewakili Melaka atau pun Johor, dan Puyu-puyu mewakili Siak, yang menarik dari syair ini adalah keteguhan Puyu-puyu untuk tidak tunduk pada paksaan Terubuk yang memikiki kekuatan yang lebih besar dibendingkan dengan dirinya. Puyu-puyu yakin bahwa sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu malapetaka yang dapat meruntuhkan keharmonisan hidup ini.

Penolakan Puyu-puyu yang akhirnya menjadi perlawanan terhadap Terubuk, memperlihatkan kekuatan kecil menjadi kekuatan besar apabila keyakinan telah menancap di dalam diri untuk tidak tunduk pada yang lain. Keteguhan hati menjadi kunci segala-galanya, tiada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan keteguhan hati, walaupun Puyu-puyu dijanjikan akan memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang lebih besar. Puyu-puyu sadar bahwa yang mengubah nasib seseorang atau pun golongannya, bukan berasal dari yang lain, melainkan datang dari diri sendiri. Dan tidak mungkin, Puyu-puyu yang hidup di air tawar akan bersatu dengan Terubuk yang hidup di air asin.

Penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk yang disebabkan hidup di dua alam yang berbeda (walaupun sesama di air), merupakan celah untuk melakukan tafsir baru. Perbedaan dua alam ini, menjadi ‘signal’ menuju hakikat penolakan Puyu-puyu tersebut. Selain itu, ‘signal’ ini menjadi pintu masuk manafsir kembali penolakan itu dengan keadaan kekinian. Penolakan inilah menjadi landasan lahirnya naskah Hikayat Puyu-puyu.

Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa beberapa waktu yang lalu, masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran RAPP dengan melakukan gerakan ekstrim jahit mulut di depan kantor Dewan Perwakilan  Republik Indonesia (DPR RI). Bukan hendak mengaitkan begitu saja penolakan masyarakat Pulau Padang dengan penolakan Puyu-puyu, namun dalam Syair Ikan Terubuk dikatakan bahwa Puyu-puyu berada di Pulau Padang. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra selalu berbuah disembarang musim. Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang senimanan atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya. Tanda-tanda ini terus hidup dan apabila tanda-tanda ini dapat di uraikan, maka tidak mustahil kita dapat membaca kejadian dimasa akan datang. Bukankan Sang Pencipta menciptakan kehidupan ini dengan tanda-tanda?

Sebagaimana diyakini bersama, bahwa karya seni bukan hanya sebagai hiburan saja, dibaliknya ada pesan yang mesti digali. Karya seni menjadi kekuatan rohani untuk mengumpulkan kekuatan melakukan perjuangan. Inilah nilai ‘suci’ yang diemban oleh karya seni, walaupun banyak yang berbenturan dengan keinginan atau kebutuhan para pekerja seni, untuk bertahan hidup. 

Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Karya seni selalu membawa semangat zamannya. Ketika Syair Ikan Terubuk diciptakan, sang penciptanya mengabarkan penolakan Siak terhadap Melaka atau Johor. Hikayat Puyu-puyu berangkat dari semangat Puyu-puyu yang menolak Terubuk, dan dikaitkan dengan peristiwa masyarakat Pulau Padang pada hari ini. Kekuatan yang dimiliki RAPP (baik kekuatan lobi, maupun kekuatan lainya, karena mereka berduit) sama dengan kekuatan yang dimiliki Terubuk. Puyu-puyu memiliki semangat sama dengan masyarakat Pulau Padang, bahwa mereka tidak ingin ‘dijajah’ di tanah sendiri. Kalau Puyu-puyu berpegang teguh bahwa tidak mungkin air tawar dan air asin disatukan. Sementara masyarakat perpegang teguh bahwa ekosistem (hutan) yang diciptakan oleh Allah, diganti dengan ekosistem buatan RAPP. Kayu punak, jati, mahang dan lain-lainnya, diganti dengan akasia. Apabila hutannya diganti, maka akan mempercepat tenggelam karena tanah di Pulau Padang bertanah gambut.

Semangat perlawanan inilah menjadi pondasi Hikayat Puyu-puyu. Sebagai seni pertunjukan, selain menyampaikan pesan, seni pertunjukan juga harus memperhatikan hiburan. Hal ini dilakukan agar pementasan itu tidak monoton. Bukankah masa sekarang ini, manusia tidak mau digurui dengan pementasan seni? Untuk itulah Teater  Mara mencoba mengabungkan unsur tergedi dengan komedi. Tidak itu saja, pementasan ini juga akan menggabungkan tarian (boy band) masa kini, dan musiknya RnB. Hikayat Puyu-puyu akan dipentaskan pada tanggal 27-28 April 2012, di Anjung Idrus Tintin, Bandar Serai (Purna MTQ), Pekanbaru, Riau.

Baca Selanjutnya >>

Rabu, 22 Agustus 2012

‘Hikayat Puyu-puyu’ di Festival Bokor Foklor


Setelah sukses mementaskan teater berjudul Hikayat Puyu-puyu di dua tempat, Bandar Lampung dan Anjung Idrus Tintin, Pekanbaru, Teater MATAN akan mementaskan kembali Hikayat Puyu-puyu ini pada Festival Bokor Foklor, Kabupaten Meranti, 20-22 Juni nanti. Menurut Hang Kafrawi, penulis naskah merangkap sutradara pementasan teater ini, karya seni tidak akan pernah basi, walupun dipentaskan beberapa kali. “Esensi karya seni adalah mengingatkan manusia, maka pekerjaan mengingat tidak akan berhenti sampai kapan pun,” ujar Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak ini.
Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Hikayat merupakan karya sastra lama berisi cerita sejarah maupun fiksi. Hikayat juga merupakan cerita yang memiliki kekuatan untuk membangkitkan semangat juang. Semangat juang inilah menjadi landasan kebanyakan karya seni. Karya seni itu dicipta bukan untuk kegagahan penciptanya, jauh dari itu, karya seni merupakan hamparan kehidupan bagi manusia untuk menggali keberadaannya di muka bumi ini. Dengan karya seni, menurut Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra, memberi kita pengetahuan tentang suatu keadaan.
Karya seni yang memiliki ‘amunisi’ pembangkit semangat juang, (meminjam istilah Hasan Junus) seperti sebuah pohon besar yang akarnya menancap ke bumi dan berbuah di sembarang musim. Karya seperti ini terus menjadi inspirasi bagi seniman-seniman yang hidup jauh sesudah karya seni itu diciptakan. Kebanyakan karya seni lama, khususnya karya sastra, memiliki daya ‘dorong’ membuka ‘pintu’ imajinasi para seniman sesudahnya. Hal ini disebabkan seniman masa lalu tidak mencari keuntungan pribadi atas karyanya. Itu sebabnya para seniman/sastrawan masa lalu tidk mencbtumkan namanya pad karya yang mereka hasilkan.
Salah satu karya seni/karya sastra lama yang memiliki kekuatan perjuangan adalah Syair Ikan Terubuk. Dalam syair alegori (kiasan) Ikan Terubuk diceritakan keinginan kekuasaan besar, dikiaskan dengan Ikan Terubuk, ingin menguasai kekuasaan lebih kecil yang dikiaskan Ikan Puyu-puyu. Terlepas dari kiasan Terubuk mewakili Melaka atau pun Johor, dan Puyu-puyu mewakili Siak, yang menarik dari syair ini adalah keteguhan Puyu-puyu untuk tidak tunduk pada paksaan Terubuk yang memikiki kekuatan yang lebih besar dibendingkan dengan dirinya. Puyu-puyu yakin bahwa sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu malapetaka yang dapat meruntuhkan keharmonisan hidup ini.
Penolakan Puyu-puyu yang akhirnya menjadi perlawanan terhadap Terubuk, memperlihatkan kekuatan kecil menjadi kekuatan besar apabila keyakinan telah menancap di dalam diri untuk tidak tunduk pada yang lain. Keteguhan hati menjadi kunci segala-galanya, tiada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan keteguhan hati, walaupun Puyu-puyu dijanjikan akan memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang lebih besar. Puyu-puyu sadar bahwa yang mengubah nasib seseorang atau pun golongannya, bukan berasal dari yang lain, melainkan datang dari diri sendiri. Dan tidak mungkin, Puyu-puyu yang hidup di air tawar akan bersatu dengan Terubuk yang hidup di air asin.
Penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk yang disebabkan hidup di dua alam yang berbeda (walaupun sesama di air), merupakan celah untuk melakukan tafsir baru. Perbedaan dua alam ini, menjadi ‘signal’ menuju hakikat penolakan Puyu-puyu tersebut. Selain itu, ‘signal’ ini menjadi pintu masuk manafsir kembali penolakan itu dengan keadaan kekinian. Penolakan inilah menjadi landasan lahirnya naskah Hikayat Puyu-puyu.
Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa beberapa waktu yang lalu, masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran RAPP dengan melakukan gerakan ekstrim jahit mulut di depan kantor Dewan Perwakilan  Republik Indonesia (DPR RI). Bukan hendak mengaitkan begitu saja penolakan masyarakat Pulau Padang dengan penolakan Puyu-puyu, namun dalam Syair Ikan Terubuk dikatakan bahwa Puyu-puyu berada di Pulau Padang. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra selalu berbuah disembarang musim. Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang senimanan atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya. Tanda-tanda ini terus hidup dan apabila tanda-tanda ini dapat di uraikan, maka tidak mustahil kita dapat membaca kejadian dimasa akan datang. Bukankan Sang Pencipta menciptakan kehidupan ini dengan tanda-tanda?
Sebagaimana diyakini bersama, bahwa karya seni bukan hanya sebagai hiburan saja, dibaliknya ada pesan yang mesti digali. Karya seni menjadi kekuatan rohani untuk mengumpulkan kekuatan melakukan perjuangan. Inilah nilai ‘suci’ yang diemban oleh karya seni, walaupun banyak yang berbenturan dengan keinginan atau kebutuhan para pekerja seni, untuk bertahan hidup.  
Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Karya seni selalu membawa semangat zamannya. Ketika Syair Ikan Terubuk diciptakan, sang penciptanya mengabarkan penolakan Siak terhadap Melaka atau Johor. Hikayat Puyu-puyu berangkat dari semangat Puyu-puyu yang menolak Terubuk, dan dikaitkan dengan peristiwa masyarakat Pulau Padang pada hari ini. Kekuatan yang dimiliki RAPP (baik kekuatan lobi, maupun kekuatan lainya, karena mereka berduit) sama dengan kekuatan yang dimiliki Terubuk. Puyu-puyu memiliki semangat sama dengan masyarakat Pulau Padang, bahwa mereka tidak ingin ‘dijajah’ di tanah sendiri. Kalau Puyu-puyu berpegang teguh bahwa tidak mungkin air tawar dan air asin disatukan. Sementara masyarakat perpegang teguh bahwa ekosistem (hutan) yang diciptakan oleh Allah, diganti dengan ekosistem buatan RAPP. Kayu punak, jati, mahang dan lain-lainnya, diganti dengan akasia. Apabila hutannya diganti, maka akan mempercepat tenggelam karena tanah di Pulau Padang bertanah gambut.
Semangat perlawanan inilah menjadi pondasi Hikayat Puyu-puyu. Sebagai seni pertunjukan, selain menyampaikan pesan, seni pertunjukan juga harus memperhatikan hiburan. Hal ini dilakukan agar pementasan itu tidak monoton. Bukankah masa sekarang ini, manusia tidak mau digurui dengan pementasan seni? Untuk itulah Teater  Mara mencoba mengabungkan unsur tergedi dengan komedi. Tidak itu saja, pementasan ini juga akan menggabungkan tarian (boy band) masa kini, dan musiknya RnB.
   

Baca Selanjutnya >>

Tentang Teater MATAN


Terater MATAN merupakan wajah dari Teater MARA. Pada tanggal 29 Juni 2012, disepakatilah untuk mengganti nama Teater MARA menjadi Teater MATAN. Pergantian nama ini disebabkan sesuatu hal. Beberapa kawan-kawan di eks. Teater MARA, Hang Kafrawi, Monda Gianes, Deni Afriadi, Sendi Al Pagari dan Ridho Fatwandi, kasak-kusuk mencari nama yang setara dengan MARA. Mereka pun bertanya kepada kawan-kawan pemikir kesenian seperti Syaukani Al Karim, Yoserizal Zen bahkan kepada penyair Jefri Al Malay, mereka meminta pendapat. Ada dua nama yang menjadi pertimbangan, MATAN atau WATAN. Setelah menimbang dan mengokah makna dua kata ini, maka disepakatilah nama MATAN menjadi nama komunitas teater ini.

Berat memang, nama MARA yang sudah disandang sejak 2004, selain sudah menjadi identitas setiap pementasan, nama MARA juga memiliki filosofi yang tinggi. Mara dalam bahasa Melayu berarti terus maju, dan filosofi ini merupakan pembesut untuk terus berkarya. Penyebutan kata MARA juga terasa sedap, karena bunyi yang muncul dalam penyebutan kata MARA terasa hidup.

Waktu terus berlalu, walaupun Teater MARA sudah berganti nama dengan Teater MATAN, keyakinan untuk terus berkarya harus tetap ada. Sesuai dengan kata MATAN; fokus, serius dalam berkarya merupakan pondasi teater ini. Sebagaimana produksi-produksi terdahulu, Teater MATAN akan tetap berlandaskan kepada terdisi Melayu Riau yang dipadukan dengan pemikiran kekinian. Komedi atau humor menjadi identitas karya Teater MATAN selamanya.


Misi dan Visi Teater MATAN
Teater merupakan salah satu wadah untuk menyampaikan gagasan atau ide untuk membuka jalan pikiran lebih kreatif untuk memahami sekaligus memaknai hidup ini.

Misi
Menjadikan Teater MATAN kelompok teater terkemuka di Riau, nasional dan internasional dengan karya seni pertunjukkan yang berlandaskan seni terdisi Melayu Riau dikombinasikan dengan seni modern.

Visi
1.      Menghibur sekaligus sebagai wadah pencerahan untuk masyarakat dengan mengangkat masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh manusia, baik di Riau, nasional maupun internasional.
2.      Upaya melestarikan seni tradisi Melayu Riau dengan perbancuhan seni modern yang digarap menjadi seni pertunjukan teater modern.
3.      Menjadi serana pencerdasan dan sekaligus memberi semangat kepada masyarakat perdesaan dengan cara melakukan pementasan ke kampung-kampung.
4.      Teater MATAN menjadi barometer teater di Riau.  
5.      Menjalin hubungan dengan kelompok teater di Indonesia, maupun di luar negeri.



Pembiayaan
Adapun pembiayaan untuk menghidupi Teater MATAN diperoleh dari:
1.      Pihak pemerintah maupun swasta yang tidak mengikat.
2.      Membuka usaha, seperti penerbitan buku, pertanian, kolam ikan, dan juga usaha-usaha lainnya yang dapat mendukung keberlangsungan Teater MATAN.
3.      Menjual karya-karya pementasan ke pemerintahan atau pun ke perusahaan-perusahaan dengan mengisi atau membuat acara seni pertunjukan teater, baik di acara pemerintahan maupun acara swasta.
4.      Hibah dari pihak-pihak luar seperti ANA, Yayasan Kelola, Hivos dan bantuan-bantuan negara lainnya.

Keanggotaan
Keanggotaan Teater MATAN terdiri dari pengurus inti, dan juga pengurus biasa. Pengurus inti terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Manager Artistik, Biro Kehumasan (kerja sama), Manager Produksi. Sementara, pengurus biasa adalah seluruh anggota Teater MATAN yang tidak termasuk pengurus inti.

Penerimaan anggota baru dilakukan dengan cara mengisi borang yang telah disediakan, dan diwajibkan mematuhi peraturan yang telah disiapkan.

Produksi
Teater MATAN tidak saja memproduksi teater di atas panggung, namun juga akan melakukan pementasan di tempat-tempat keramaian seperti pasar, mal dan juga lapangan-lapangan yang ada disekitar perumahan penduduk. Selain itu, Teater MATAN juga akan memproduksi film televisi, drama komedi televisi dan acara-acara lainnya yang disiarkan di televisi lokal maupun nasional.
Pementasan di gedung seni, seperti Anjung Seni Idrus Tintin dilaksanakan minimal 2 kali dalam setahun.  

Penutup
Mudah-mudahan dengan adanya acuan ini, Teater MATAN dapat mewujudkan seni teater di Riau, benar-benar dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat di daerah ini maupun masyarakat Indoensia. Amin.

Wassallam,


Hang Kafrawi
Ketua Teater MATAN 


Baca Selanjutnya >>














Pementasan Teater MATAN "Hikayat Puyu-puyu" di Anjung Seni Idrus Tintin (4-12)
Baca Selanjutnya >>