Setelah sukses mementaskan teater berjudul Hikayat Puyu-puyu
di dua tempat, Bandar Lampung dan Anjung Idrus Tintin, Pekanbaru, Teater MATAN akan mementaskan
kembali Hikayat Puyu-puyu ini pada Festival Bokor Foklor, Kabupaten Meranti,
20-22 Juni nanti. Menurut Hang Kafrawi, penulis naskah merangkap sutradara
pementasan teater ini, karya seni tidak akan pernah basi, walupun dipentaskan
beberapa kali. “Esensi karya seni adalah mengingatkan manusia, maka pekerjaan
mengingat tidak akan berhenti sampai kapan pun,” ujar Ketua Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak ini.
Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Hikayat merupakan karya sastra
lama berisi cerita sejarah maupun fiksi. Hikayat juga merupakan cerita yang
memiliki kekuatan untuk membangkitkan semangat juang. Semangat juang inilah
menjadi landasan kebanyakan karya seni. Karya seni itu dicipta bukan untuk
kegagahan penciptanya, jauh dari itu, karya seni merupakan hamparan kehidupan
bagi manusia untuk menggali keberadaannya di muka bumi ini. Dengan karya seni,
menurut Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra, memberi kita
pengetahuan tentang suatu keadaan.
Karya seni yang memiliki ‘amunisi’ pembangkit semangat juang,
(meminjam istilah Hasan Junus) seperti sebuah pohon besar yang akarnya menancap
ke bumi dan berbuah di sembarang musim. Karya seperti ini terus menjadi
inspirasi bagi seniman-seniman yang hidup jauh sesudah karya seni itu diciptakan.
Kebanyakan karya seni lama, khususnya karya sastra, memiliki daya ‘dorong’
membuka ‘pintu’ imajinasi para seniman sesudahnya. Hal ini disebabkan seniman
masa lalu tidak mencari keuntungan pribadi atas karyanya. Itu sebabnya para
seniman/sastrawan masa lalu tidk mencbtumkan namanya pad karya yang mereka
hasilkan.
Salah satu karya seni/karya sastra lama yang memiliki kekuatan
perjuangan adalah Syair Ikan Terubuk. Dalam syair alegori (kiasan) Ikan Terubuk
diceritakan keinginan kekuasaan besar, dikiaskan dengan Ikan Terubuk, ingin
menguasai kekuasaan lebih kecil yang dikiaskan Ikan Puyu-puyu. Terlepas dari kiasan
Terubuk mewakili Melaka atau pun Johor, dan Puyu-puyu mewakili Siak, yang
menarik dari syair ini adalah keteguhan Puyu-puyu untuk tidak tunduk pada paksaan
Terubuk yang memikiki kekuatan yang lebih besar dibendingkan dengan dirinya.
Puyu-puyu yakin bahwa sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu
malapetaka yang dapat meruntuhkan keharmonisan hidup ini.
Penolakan Puyu-puyu yang akhirnya menjadi perlawanan terhadap
Terubuk, memperlihatkan kekuatan kecil menjadi kekuatan besar apabila keyakinan
telah menancap di dalam diri untuk tidak tunduk pada yang lain. Keteguhan hati menjadi
kunci segala-galanya, tiada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan keteguhan
hati, walaupun Puyu-puyu dijanjikan akan memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang
lebih besar. Puyu-puyu sadar bahwa yang mengubah nasib seseorang atau pun
golongannya, bukan berasal dari yang lain, melainkan datang dari diri sendiri.
Dan tidak mungkin, Puyu-puyu yang hidup di air tawar akan bersatu dengan
Terubuk yang hidup di air asin.
Penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk yang disebabkan hidup di
dua alam yang berbeda (walaupun sesama di air), merupakan celah untuk melakukan
tafsir baru. Perbedaan dua alam ini, menjadi ‘signal’ menuju hakikat penolakan
Puyu-puyu tersebut. Selain itu, ‘signal’ ini menjadi pintu masuk manafsir
kembali penolakan itu dengan keadaan kekinian. Penolakan inilah menjadi
landasan lahirnya naskah Hikayat Puyu-puyu.
Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa beberapa waktu yang lalu,
masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran RAPP dengan melakukan gerakan ekstrim
jahit mulut di depan kantor Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI). Bukan hendak
mengaitkan begitu saja penolakan masyarakat Pulau Padang dengan penolakan
Puyu-puyu, namun dalam Syair Ikan Terubuk dikatakan bahwa Puyu-puyu berada di
Pulau Padang. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra selalu berbuah disembarang
musim. Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang senimanan
atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa
yang terjadi di lingkungannya. Tanda-tanda ini terus hidup dan apabila
tanda-tanda ini dapat di uraikan, maka tidak mustahil kita dapat membaca
kejadian dimasa akan datang. Bukankan Sang Pencipta menciptakan kehidupan ini
dengan tanda-tanda?
Sebagaimana diyakini bersama, bahwa karya seni bukan hanya
sebagai hiburan saja, dibaliknya ada pesan yang mesti digali. Karya seni menjadi
kekuatan rohani untuk mengumpulkan kekuatan melakukan perjuangan. Inilah nilai
‘suci’ yang diemban oleh karya seni, walaupun banyak yang berbenturan dengan
keinginan atau kebutuhan para pekerja seni, untuk bertahan hidup.
Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Karya seni selalu membawa semangat
zamannya. Ketika Syair Ikan Terubuk diciptakan, sang penciptanya mengabarkan
penolakan Siak terhadap Melaka atau Johor. Hikayat Puyu-puyu berangkat dari
semangat Puyu-puyu yang menolak Terubuk, dan dikaitkan dengan peristiwa
masyarakat Pulau Padang pada hari ini. Kekuatan yang dimiliki RAPP (baik
kekuatan lobi, maupun kekuatan lainya, karena mereka berduit) sama dengan
kekuatan yang dimiliki Terubuk. Puyu-puyu memiliki semangat sama dengan
masyarakat Pulau Padang, bahwa mereka tidak ingin ‘dijajah’ di tanah sendiri.
Kalau Puyu-puyu berpegang teguh bahwa tidak mungkin air tawar dan air asin
disatukan. Sementara masyarakat perpegang teguh bahwa ekosistem (hutan) yang
diciptakan oleh Allah, diganti dengan ekosistem buatan RAPP. Kayu punak, jati,
mahang dan lain-lainnya, diganti dengan akasia. Apabila hutannya diganti, maka
akan mempercepat tenggelam karena tanah di Pulau Padang bertanah gambut.
Semangat perlawanan inilah menjadi pondasi Hikayat Puyu-puyu.
Sebagai seni pertunjukan, selain menyampaikan pesan, seni pertunjukan juga
harus memperhatikan hiburan. Hal ini dilakukan agar pementasan itu tidak
monoton. Bukankah masa sekarang ini, manusia tidak mau digurui dengan
pementasan seni? Untuk itulah Teater
Mara mencoba mengabungkan unsur tergedi dengan komedi. Tidak itu saja,
pementasan ini juga akan menggabungkan tarian (boy band) masa kini, dan
musiknya RnB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar