Jumat, 24 Agustus 2012

Proses Penciptaan Teater “Hikayat Puyu-Puyu”


Hikayat merupakan karya sastra lama berisi cerita sejarah maupun fiksi. Hikayat juga merupakan cerita yang memiliki kekuatan untuk membangkitkan semangat juang. Semangat juang inilah menjadi landasan kebanyakan karya seni. Karya seni itu dicipta bukan untuk kegagahan penciptanya, jauh dari itu, karya seni merupakan hamparan kehidupan bagi manusia untuk menggali keberadaannya di muka bumi ini. Dengan karya seni, menurut Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra, memberi kita pengetahuan tentang suatu keadaan.

Karya seni yang memiliki ‘amunisi’ pembangkit semangat juang, (meminjam istilah Hasan Junus) seperti sebuah pohon besar yang akarnya menancap ke bumi dan berbuah di sembarang musim. Karya seperti ini terus menjadi inspirasi bagi seniman-seniman yang hidup jauh sesudah karya seni itu diciptakan. Kebanyakan karya seni lama, khususnya karya sastra, memiliki daya ‘dorong’ membuka ‘pintu’ imajinasi para seniman sesudahnya. Hal ini disebabkan seniman masa lalu tidak mencari keuntungan pribadi atas karyanya. Itu sebabnya para seniman/sastrawan masa lalu tidk mencbtumkan namanya pad karya yang mereka hasilkan.

Salah satu karya seni/karya sastra lama yang memiliki kekuatan perjuangan adalah Syair Ikan Terubuk. Dalam syair alegori (kiasan) Ikan Terubuk diceritakan keinginan kekuasaan besar, dikiaskan dengan Ikan Terubuk, ingin menguasai kekuasaan lebih kecil yang dikiaskan Ikan Puyu-puyu. Terlepas dari kiasan Terubuk mewakili Melaka atau pun Johor, dan Puyu-puyu mewakili Siak, yang menarik dari syair ini adalah keteguhan Puyu-puyu untuk tidak tunduk pada paksaan Terubuk yang memikiki kekuatan yang lebih besar dibendingkan dengan dirinya. Puyu-puyu yakin bahwa sesuatu yang dipaksakan akan menghasilkan sesuatu malapetaka yang dapat meruntuhkan keharmonisan hidup ini.

Penolakan Puyu-puyu yang akhirnya menjadi perlawanan terhadap Terubuk, memperlihatkan kekuatan kecil menjadi kekuatan besar apabila keyakinan telah menancap di dalam diri untuk tidak tunduk pada yang lain. Keteguhan hati menjadi kunci segala-galanya, tiada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan keteguhan hati, walaupun Puyu-puyu dijanjikan akan memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang lebih besar. Puyu-puyu sadar bahwa yang mengubah nasib seseorang atau pun golongannya, bukan berasal dari yang lain, melainkan datang dari diri sendiri. Dan tidak mungkin, Puyu-puyu yang hidup di air tawar akan bersatu dengan Terubuk yang hidup di air asin.

Penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk yang disebabkan hidup di dua alam yang berbeda (walaupun sesama di air), merupakan celah untuk melakukan tafsir baru. Perbedaan dua alam ini, menjadi ‘signal’ menuju hakikat penolakan Puyu-puyu tersebut. Selain itu, ‘signal’ ini menjadi pintu masuk manafsir kembali penolakan itu dengan keadaan kekinian. Penolakan inilah menjadi landasan lahirnya naskah Hikayat Puyu-puyu.

Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa beberapa waktu yang lalu, masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran RAPP dengan melakukan gerakan ekstrim jahit mulut di depan kantor Dewan Perwakilan  Republik Indonesia (DPR RI). Bukan hendak mengaitkan begitu saja penolakan masyarakat Pulau Padang dengan penolakan Puyu-puyu, namun dalam Syair Ikan Terubuk dikatakan bahwa Puyu-puyu berada di Pulau Padang. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra selalu berbuah disembarang musim. Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang senimanan atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya. Tanda-tanda ini terus hidup dan apabila tanda-tanda ini dapat di uraikan, maka tidak mustahil kita dapat membaca kejadian dimasa akan datang. Bukankan Sang Pencipta menciptakan kehidupan ini dengan tanda-tanda?

Sebagaimana diyakini bersama, bahwa karya seni bukan hanya sebagai hiburan saja, dibaliknya ada pesan yang mesti digali. Karya seni menjadi kekuatan rohani untuk mengumpulkan kekuatan melakukan perjuangan. Inilah nilai ‘suci’ yang diemban oleh karya seni, walaupun banyak yang berbenturan dengan keinginan atau kebutuhan para pekerja seni, untuk bertahan hidup. 

Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Karya seni selalu membawa semangat zamannya. Ketika Syair Ikan Terubuk diciptakan, sang penciptanya mengabarkan penolakan Siak terhadap Melaka atau Johor. Hikayat Puyu-puyu berangkat dari semangat Puyu-puyu yang menolak Terubuk, dan dikaitkan dengan peristiwa masyarakat Pulau Padang pada hari ini. Kekuatan yang dimiliki RAPP (baik kekuatan lobi, maupun kekuatan lainya, karena mereka berduit) sama dengan kekuatan yang dimiliki Terubuk. Puyu-puyu memiliki semangat sama dengan masyarakat Pulau Padang, bahwa mereka tidak ingin ‘dijajah’ di tanah sendiri. Kalau Puyu-puyu berpegang teguh bahwa tidak mungkin air tawar dan air asin disatukan. Sementara masyarakat perpegang teguh bahwa ekosistem (hutan) yang diciptakan oleh Allah, diganti dengan ekosistem buatan RAPP. Kayu punak, jati, mahang dan lain-lainnya, diganti dengan akasia. Apabila hutannya diganti, maka akan mempercepat tenggelam karena tanah di Pulau Padang bertanah gambut.

Semangat perlawanan inilah menjadi pondasi Hikayat Puyu-puyu. Sebagai seni pertunjukan, selain menyampaikan pesan, seni pertunjukan juga harus memperhatikan hiburan. Hal ini dilakukan agar pementasan itu tidak monoton. Bukankah masa sekarang ini, manusia tidak mau digurui dengan pementasan seni? Untuk itulah Teater  Mara mencoba mengabungkan unsur tergedi dengan komedi. Tidak itu saja, pementasan ini juga akan menggabungkan tarian (boy band) masa kini, dan musiknya RnB. Hikayat Puyu-puyu akan dipentaskan pada tanggal 27-28 April 2012, di Anjung Idrus Tintin, Bandar Serai (Purna MTQ), Pekanbaru, Riau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar