Hikayat merupakan karya sastra lama
berisi cerita sejarah maupun fiksi. Hikayat juga merupakan cerita yang memiliki
kekuatan untuk membangkitkan semangat juang. Semangat juang inilah menjadi
landasan kebanyakan karya seni. Karya seni itu dicipta bukan untuk kegagahan
penciptanya, jauh dari itu, karya seni merupakan hamparan kehidupan bagi
manusia untuk menggali keberadaannya di muka bumi ini. Dengan karya seni,
menurut Terry Eagleton dalam buku Marxisme dan Kritik Sastra, memberi kita
pengetahuan tentang suatu keadaan.
Karya seni yang memiliki ‘amunisi’
pembangkit semangat juang, (meminjam istilah Hasan Junus) seperti sebuah pohon
besar yang akarnya menancap ke bumi dan berbuah di sembarang musim. Karya
seperti ini terus menjadi inspirasi bagi seniman-seniman yang hidup jauh
sesudah karya seni itu diciptakan. Kebanyakan karya seni lama, khususnya karya
sastra, memiliki daya ‘dorong’ membuka ‘pintu’ imajinasi para seniman
sesudahnya. Hal ini disebabkan seniman masa lalu tidak mencari keuntungan
pribadi atas karyanya. Itu sebabnya para seniman/sastrawan masa lalu tidk
mencbtumkan namanya pad karya yang mereka hasilkan.
Salah satu karya seni/karya sastra lama
yang memiliki kekuatan perjuangan adalah Syair Ikan Terubuk. Dalam syair
alegori (kiasan) Ikan Terubuk diceritakan keinginan kekuasaan besar, dikiaskan
dengan Ikan Terubuk, ingin menguasai kekuasaan lebih kecil yang dikiaskan Ikan
Puyu-puyu. Terlepas dari kiasan Terubuk mewakili Melaka atau pun Johor, dan
Puyu-puyu mewakili Siak, yang menarik dari syair ini adalah keteguhan Puyu-puyu
untuk tidak tunduk pada paksaan Terubuk yang memikiki kekuatan yang lebih besar
dibendingkan dengan dirinya. Puyu-puyu yakin bahwa sesuatu yang dipaksakan akan
menghasilkan sesuatu malapetaka yang dapat meruntuhkan keharmonisan hidup ini.
Penolakan Puyu-puyu yang akhirnya
menjadi perlawanan terhadap Terubuk, memperlihatkan kekuatan kecil menjadi
kekuatan besar apabila keyakinan telah menancap di dalam diri untuk tidak
tunduk pada yang lain. Keteguhan hati menjadi kunci segala-galanya, tiada
kekuatan apapun yang dapat mengalahkan keteguhan hati, walaupun Puyu-puyu
dijanjikan akan memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang lebih besar. Puyu-puyu
sadar bahwa yang mengubah nasib seseorang atau pun golongannya, bukan berasal
dari yang lain, melainkan datang dari diri sendiri. Dan tidak mungkin,
Puyu-puyu yang hidup di air tawar akan bersatu dengan Terubuk yang hidup di air
asin.
Penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk
yang disebabkan hidup di dua alam yang berbeda (walaupun sesama di air), merupakan
celah untuk melakukan tafsir baru. Perbedaan dua alam ini, menjadi ‘signal’
menuju hakikat penolakan Puyu-puyu tersebut. Selain itu, ‘signal’ ini menjadi
pintu masuk manafsir kembali penolakan itu dengan keadaan kekinian. Penolakan
inilah menjadi landasan lahirnya naskah Hikayat Puyu-puyu.
Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa
beberapa waktu yang lalu, masyarakat Pulau Padang menolak kehadiran RAPP dengan
melakukan gerakan ekstrim jahit mulut di depan kantor Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI). Bukan hendak
mengaitkan begitu saja penolakan masyarakat Pulau Padang dengan penolakan
Puyu-puyu, namun dalam Syair Ikan Terubuk dikatakan bahwa Puyu-puyu berada di
Pulau Padang. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra selalu berbuah disembarang
musim. Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang senimanan
atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa
yang terjadi di lingkungannya. Tanda-tanda ini terus hidup dan apabila
tanda-tanda ini dapat di uraikan, maka tidak mustahil kita dapat membaca
kejadian dimasa akan datang. Bukankan Sang Pencipta menciptakan kehidupan ini
dengan tanda-tanda?
Sebagaimana diyakini bersama, bahwa
karya seni bukan hanya sebagai hiburan saja, dibaliknya ada pesan yang mesti digali.
Karya seni menjadi kekuatan rohani untuk mengumpulkan kekuatan melakukan
perjuangan. Inilah nilai ‘suci’ yang diemban oleh karya seni, walaupun banyak
yang berbenturan dengan keinginan atau kebutuhan para pekerja seni, untuk
bertahan hidup.
Mengapa Hikayat Puyu-puyu? Karya seni
selalu membawa semangat zamannya. Ketika Syair Ikan Terubuk diciptakan, sang
penciptanya mengabarkan penolakan Siak terhadap Melaka atau Johor. Hikayat
Puyu-puyu berangkat dari semangat Puyu-puyu yang menolak Terubuk, dan dikaitkan
dengan peristiwa masyarakat Pulau Padang pada hari ini. Kekuatan yang dimiliki
RAPP (baik kekuatan lobi, maupun kekuatan lainya, karena mereka berduit) sama
dengan kekuatan yang dimiliki Terubuk. Puyu-puyu memiliki semangat sama dengan
masyarakat Pulau Padang, bahwa mereka tidak ingin ‘dijajah’ di tanah sendiri.
Kalau Puyu-puyu berpegang teguh bahwa tidak mungkin air tawar dan air asin
disatukan. Sementara masyarakat perpegang teguh bahwa ekosistem (hutan) yang
diciptakan oleh Allah, diganti dengan ekosistem buatan RAPP. Kayu punak, jati,
mahang dan lain-lainnya, diganti dengan akasia. Apabila hutannya diganti, maka
akan mempercepat tenggelam karena tanah di Pulau Padang bertanah gambut.
Semangat perlawanan inilah menjadi
pondasi Hikayat Puyu-puyu. Sebagai seni pertunjukan, selain menyampaikan pesan,
seni pertunjukan juga harus memperhatikan hiburan. Hal ini dilakukan agar
pementasan itu tidak monoton. Bukankah masa sekarang ini, manusia tidak mau
digurui dengan pementasan seni? Untuk itulah Teater Mara mencoba mengabungkan unsur tergedi
dengan komedi. Tidak itu saja, pementasan ini juga akan menggabungkan tarian
(boy band) masa kini, dan musiknya RnB. Hikayat Puyu-puyu akan dipentaskan pada
tanggal 27-28 April 2012, di Anjung Idrus Tintin, Bandar Serai (Purna MTQ),
Pekanbaru, Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar