Sabtu, 10 November 2012

Mengenang Idrus Tintin





Pukul 12 malam, tibe-tibe hp saye berdering, di layer muncul nama Idrus Tintin. Saye cepat-cet menekan tombol ‘yes’.
Idrus Tintin : Berkesenian itu same dengan kita menjaga marwah.
Saye : Apekah perlu di zaman sekarang ini marwah kite jage, Pak?
Idrus Tintin : Berbuat. Secara tidak langsung berbuat dalam kesenian kita telah menjaga marwah. Marwah, harga diri perlu ditegakkan. Itulah nilai manusia yang paling tinggi.
Saye : Pada zaman sekarang duit adalah marwah.
Idrus Tintin : Jangan bicara tentang duit dulu, berbuat saje, nanti kau akan menghasilkan duit. Berkesenian itu perlu proses, kesenian tak same membuat telor mate sapi.
Saye : Mungkin itu zaman dulu Pak?
Idrus Tintin : Kite menentukan keadaan zaman. Kalau kau berkesenian hanye memikirkan berape duit yang masuk, make tak usah berkesenian, lebih baik kau jadi pedagang atau jadi peternak kambing; itu jelas ade duit masuk. Berkesenian meletakkan kau punye harga diri tinggi dan kau tidak akan dapat dibeli dengan duit. Berkesenian itu hati yang bicara. Seperti kau bicara dengan aku sekarang ini; kau kan tak pernah berharap dapat duit mengeluarkan kata-kata dari mulut kau tu kan?
Saye : Tapi nak berkesenian itu tak same dengan berkata-kata Pak? Memproduksi kesenian butuh modal besar. Membuat kostum, membayat crew, lampu, publikasi…
Idrus Tintin : Tak usah kau menganjar aku berkesenian, tahulah aku semuanya. Kalau kau berpikir seperti itu, tak akan pernah muncul kesenian di negeri ini.
Saye : Jangan merajuk Pak.
Idrus Tintin : Aku bukan merajuk, pantang bagi aku bersurut ke belakang. Itulah yang diajarkan kesenian kepada aku. Berkesenian itu adalah bersikap; tak bisa ditawar-tawar. Jangan kesenian diperkecil maknanye dan berkesenian itu bukan saje di atas panggung dalam gedung yang mewah, tapi di setiap tarikan nafas; kita berkesenian.
Saye : Permasalahannye Pak, dana untuk kesenian itu banyak tersedia…
Idrus Tintin : Memang banyak orang bercocok tanam dan menuai di ladang kesenian. Bagi seniman itu bukan tujuan utama. Kalaulah boleh disandingkan, seniman itu same dengan nabi; nabi tak pernah minta dibayar menyebarkan kebenaran, tapi kalau ada orang menyuguhkan segelas air untuk menghilangkan dahaga ketika ia berdakwah, maka tidak salah ia meneguk air itu.
Saye : Idealnye memang seperti itu agaknye…
Idrus Tintin : Tak pakai agak-agak. Nak berkesenian, teguhkan sikap terlebih dahulu.
Saye : Itu dulu Pak, sekarang duit untuk berkesenian itu bersepah, namun seniman hanye jadi sapi perahan.
Idrus Tintin : Kau bercakap tu pakai otak! Yang menyuruh kalian jadi sapi tu siapa? Kalian yang mau kan? Kalau kalian tahu duit kesenian itu banyak, kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian mau dibayar Rp 250.000 setelah pementasan? Kenapa kalian membiarkan orang-orang memanfaatkan kesenian? Bergerak, buktikan bahwa kalian punye sikap, bukan sebaliknye kalian diperbudak duit dan membiarkan orang membelasah duit kesenian itu. Kalau perlu kalian datang ke kantor gubernur, DPRD, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan instansi-instansi yang berhubungan dengan kesenian, cakap kepade mereka dengan tangan terkepal: Jangan permainkan seniman!
Tibe-tibe percakapan kami terputus. Saye terhenyak, beberape saat termenung. Akhirnya saye sadar, dan teringat bahwa Pak Idrus telah meninggal dunia 9 tahun yang lalu, tepatnye 14 Juli 2003. Terkenang saye semase Pak Idrus masih hidup; dielah yang menggerakkan seniman menuju kantor Dinas PdK, mempertanyekan dana kesenian yang katenye mau ‘disunat’. Pak Idrus juge mengibarkan perlawanan diikuti beberapa orang seniman, ketika asap merajelele menutupi daerah ini. Saye teringat ketike Pak Idrus memberikan duit Rp 30.000 dari honornye sebesar Rp 100.000 kepade saye, setelah menjadi pembicara pelatihan teater yang diadakan Sanggar Teater Pandan Sembilan (Norham Wahab). Aduhhh… Pak, kami betul-betul kehilangan Bapak.
Pada tanggal 10 November, bertepatan hari lahir Idrus Tintin. Untuk mengenang almarhum, beberapa kelompok teater yang difasilitasi Dewan Kesenian Riau, melakukan aksi teater di jalan dan Laman Bujang Mat Syam, Bandar Serai. Dan tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Teater Modern Riau.
Aksi teater ini dilakukan dari pukul 10 pagi sampai pukul 12 malam. Adapun kelompok yang ikut aksi teater ini, Sanjayo (Kampar Kiri), Teater Matan, Selembayung, Komunitas Rumah Sunting, Riau Beraksi, Keletah Budak, Komunitas Kita (UIN), HMJ Teater (STSR), Sagara (FIB Unilak), SMA N 5 Pekanbaru, SMKN I Pekanbaru.  

Baca Selanjutnya >>

Kamis, 08 November 2012

Hari Teater Modern Riau


10 November Bertepatan Lahirnya Idrus Tintin

Memperingati sesuatu hal itu esensinya adalah membangkitkan semangat untuk berbuat lebih lagi dari waktu-waktu yang telah dilewati. Untuk membangkitkan gairah teater di Riau agar lebih baik dari hari kemarin diperlukan peristiwa tempat memulai melangkah. Peristiwa itu bisa saja ‘disemburkan’ dari peristiwa monumental di bidangnya, atau ‘dikokah’ dari tokoh yang bertungkuslumus atau tunak pada aktivitasnya.
Almarhum Idrus Tintin merupakan tokoh teater Riau yang sampai akhir ayatnya tetap mencintai dunia teater. Pengorbanan Idrus Tintin untuk menghidupkan kelompok teaternya sangatlah besar. Dari beberapa kawan bercerita bahwa Idrus Tintin sanggup menggadaikan cincin emas istrinya untuk membiayai pementasn teater. Selain itu, Idrus Tintin juga rela meninggalkan pekerjaan untuk tetap eksis di dunia teater. Dari ‘sentuhannya’ jugalah bermunculan tokoh-tokoh teater di Riau ini, ketika beliau menjadi guru di SMAN 2 Pekanbaru. Pada zaman beliau mengajar di SMAN 2 Pekanbaru, siswa-siswa diwajibkan mementaskan teater 1 bulan sekali.
Kegelisahan Idrus Tintin terhadap kehidupan teater di Riau menyebabkan dia harus terus ‘menghasut’ generasi muda Riau untuk bertahan di dunia teater. Teater bagi Idrus Tintin adalah jalan hidup untuk menemukan kesejatian sebagai manusia. Hari-hari Idrus Tintin adalah teater. Beliau tidak mau berpisah dengan teater walaupun sekejap. Dan bilau berharap, generasi muda Riau yang memilih teater sebagai jalan hidup, melakukan hal yang sama dengan dirinya. Teater itu adalah kehidupan itu sendiri, dan harus dijalani dengan keseriusan.
Idrus Tintin lahir di Rengat pada tanggal 10 November 1932. Masa kecilnya dihabiskan di Tarempa, Kepulauan Riau. Pada tahun 1941, Idrus Tintin, ikut pindah bersama keluarga ke Tanjungpinang. Di Tanjungpinang Idrus Tintin tinggal di Asrama Dai Toa. Di asrama inilah Idrus Tintin mengenal dunia teater (drama). Kelompok teater yang dipimpim Raja Khatijah menjadi laman ekspresi Idrus menekuni dunia perannya. Bersama kawan-kawan mementaskan drama berbahasa Jepang di Gedung Daerah Tanjungpinang.
Rasa cinta terhadap dunia teater, Idrus Tintin harus berkali-kali pula berhenti bekerja. Pada tahun 1957 jabatan Kepala Kantor Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh, ditinggalkannya. Bersama Hanafi Harun, Idrus Tintin menderikan kelompaok teater. Sebelumnya pada tahun 1952, Idrus Tintin mendirikan kelompok teater Gurindra di Tarempa. Geliat teater bersama Hanafi Harun dibuktikan dengan mementaskan pergelaran teater berkali-kali. Naskah drama yang dipentaskan antara lain Buihdan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira.  
Jadi benar apa yang dikatakan kebanyakan aktor, bahwa seorang aktor tidak akan pernah puas berada di atas panggung. Mungkin hal yang sama dirasakan oleh Idrus Tintin. Pada tahun 1959, Idrus Tintin bergabung dengan Galeb Husien. Pada tahun ini mereka mementaskan teater berjudul Pasien, sutradara Galeb Husien dan Asisten Sutradara Idrus Tintin dan dipentaskan depan kantor RRI Tanjungpinang.
Idrus Tintin tidak pernah puas dengan ilmu teater yang dimiliki. Ia pun berkelana ke Jakarta. Di Jakarta, Idrus Tintin bergabung dengan Montinggo Busye, dan ikut berperan dalam pementasan berjudul Kereta Kencana. Beliau terus berkelana sampai ke Solo dan Surabaya, mementaskan beberapa karya teater yang ia terlibat di dalamnya. 
Sejauh burung terbang akan kembali ke sarangnya. Setelah lama mengarungi Pulau Jawa, pada tahun 1960, Idrus Tintin kembali ke Rengat. Di Rengat Idrus Tintin menikah dengan seorang gadis bernama Masni, dan mencoba bekerja di Kantor Penerangan Rengat. Pada masa ini juga Idrus Tintin mendirikan kelompok teater. Bersama Taufik Effendi Aria, Bakri, Rusdi Abduh menggelar beberapa karya teaternya. 
Di Pekanbaru, Idrus Tintin terus berkarya. Pada Tahun 1973 naskah berjudul Harimau Tengkis dipentaskan di Balai Dang Merdu. Idrus Tintin menjadi sutradara dalam pementasan ni, dibantu BM Syamsuddin. Para aktor yang terlibat Faruq Alwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang, mendapat sambutan hangat dari penonton. Dan pada tahun ini juga, Idrus Tintin berhenti menjadi karyawan penambangan pasir.
Pada tahun 1974, Idrus Tintin mendirikan kelompok Teater Bahana. Teater Bahana inilah memunculkan tokoh-tokoh teater Riau berikutnya. Teater Bahana menjadi ikon teater di Riau pada zamannya. Naskah-naskah luar negeri, terutama naskah realis, menjadi bahan untuk dipentaskan di atas panggung oleh kelompok ini.   
Almarhum Idrus Tintin juga selalu jadi rujukan oleh pekerja teater di Riau, baik sari segi ketunakkan beliau di bidang teater maupun dari sikap beliau dalam keseharian. Maka tidak salahlah, untuk membangkitkan semangat teater di Riau, hari kelahiran Idrus Tintin yang jatuh pada tanggal 10 November dijadikan pancang sebagai Hari Teater Moder Riau. Pada tahun 2011, Almarhum Idrus Tintin mendapat tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia berupa Bintang Budaya Parama Dharma. Tanda kehormatan ini merupakan penghargaan pemerrintah terhadap tokoh-tokoh yang berjuang di bidang kebudayaan.

Baca Selanjutnya >>

Senin, 05 November 2012

Teater MATAN Menerima Anggota Baru


Teater merupakan pekerjaan kolektif, sehingga membutuhkan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap kebersamaan. Untuk itulah Teater MATAN yang dulu bernama Teater MARA membuka penerimaan anggota baru. Diharapkan calon anggota baru ini dapat bekerjasama dengan Teater MATAN, sehingga akan memperkokoh keberadaan Teater Matan di kemudian hari. 

Adapun syarat-syarat untuk menjadi anggota Teater MATAN antara lain:
1.      Mengisi formulir/borang pendaftaran.
2.      Menyerahkan foto berwarna ukuran 4 R.
3.      Siap berdedikasi untuk Teater MATAN.
4.      Tidak menjadi anggota teater lain.
5.      Bersedia mengikuti proses latihan yang ditentukan Teater MATAN.
6.      Mampu menjaga nama baik Teater MATAN.
7.      Usia maksimal 27 tahun.
8.      Dan syrat-syarat lain dapat ditanyakan pada saat pendaftaran.

Pendaftran dapat dilakukan di kedai “Terselet” Dewan Kesenian Riau, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru, Riau.
Kontak persont:
081275188111 (Hang Kafrawi)
081365644050 (Monda Gianes)
081270744014 (Deni Afriadi)

Sekretariat Teater MATAN:
Jalan Parit Indah, Perumahan Permata Ratu, Blok K No. 5, Pekanbaru Riau
blog: teatermatan.blogspot.com
Facebook: Teater Matan

Baca Selanjutnya >>

Sabtu, 03 November 2012

KEBUDAYAAN: ULTIMUM REMEDIUM



Oleh Syaukani Al Karim
Disampaikan Sempena Peringatan Bulan Bahasa
Universitas Lancang Kuning
           
            Izinkan saya memulai pidato kebudayaan ini, dengan mengutip pandangan seorang tokoh eksistensialis yang terkenal, yaitu F. Nietze. Pada tahun 1913, Ia berkata dengan keyakinan yang penuh: bahwa sebuah kemajuan dan peradaban bagaikan puncak piramida, untuk itu diperlukan sebuah pondasi yang tepat, dan pondasi yang tepat dan kuat itu adalah kebudayaan.
Kini ucapan Nietze hampir berumur seratus tahun, dan kita menemukan kebenarannya dalam keseharian hidup di semua belahan dunia. Pada penghujung millennium kedua dan pangkal millennium ketiga, kita sedang hidup dalam kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, dalam kegagahan demokrasi, serta dalam kemewahan bidang fisik material, khususnya di negara-negara maju.
Kecanggihan teknologi informasi ditandainya oleh mudahnya kita berhubungan dengan dunia luar. Dalam era kesejagatan [globalisasi] ini, menjengah kawasan atau negara lain semudah kita membuka pintu dan jendela, dan kita dapat bertegur sapa setiap saat, baik untuk saling berbagi cinta atau pedih nestapa. Kegagahan demokrasi pula, pada hari ini mengantarkan umat manusia pada sebuah kebebasan yang maksimal, bahkan sampai membuat manusia dapat memainkan egonya, yang tak jarang berpotensi melukai makna kebebasan itu sendiri. Sementara kemewahan fisik material, ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan yang tajam di Negara-negara tertentu, seperti Jepang, Eropa, Korea, Singapura, dan lain sebagainya.
Tapi puncak-puncak kemajuan laksana ujung piramida itu, ternyata tidak sedikit menimbulkan persoalan. Kemajuan yang tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh itu ternyata menyimpan kekumuhan spiritual dalam kecanggihan materialnya, menumpuk kerapuhan jiwa dalam kegagahan kebebasannya, dan menggunungkan kemiskinan hati dalam kemewahan fisik yang tiada terperi.
Kemiskinan hati, kekumuhan spiritual dan kerapuhan jiwa itu, terlihat dengan jelas dari banyaknya angka bunuh diri di negara maju, dari munculnya tindakan-tindakan ekonomi politik yang mengabaikan kemanusiaan, dari sikap pribadi yang mengabaikan akalbudi, sehingga mimpi tentang sebuah dunia yang damai, berubah menjadi dunia yang kejam, bengis, dan intoleran. Ini dunia kita saat ini, sebuah dunia yang secara sadar atau tidak, sedang bergerak dari terminal kasih ke terminal pedih, dari rumah cinta ke rumah luka. Sebuah dunia yang berpindah dari taman sayang ke ceruk jurang.
Kesadaran perlunya pondasi yang kuat dalam menopang kemajuan agar kemajuan tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan, maka sejak penghujung abad dua puluh sampai abad ini, manusia berduyun-duyun mencari jalan keluhuran, mencoba menemukan dan mencari tempat berpegang agar tak rapuh dalam gagah, agar tak miskin dalam kekayaan.
Dalam bukunya Megatrend 2000, J. Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyatakan bahwa puncak pencarian manusia terhadap dunia spiritual akhirnya sampai pada dua hal, yaitu agama dan kebudayaan. Agama dan kebudayaan menawarkan hal yang sama, yaitu kemuliaan manusia atau bagaimana menjadi manusia yang mulia. Bedanya, agama menawarkan rumah spiritual yang damai dengan konsep ilahiah [apapun agamanya], dan kebudayaan menawarkan keteduhan dan keseimbangan dari hasil perasan olah pikir dan buah akalbudi.  Pada berbagai kawasan, khususnya Eropa, sering dijadikan pilihan utama, karena agama bersifat dogmatis dan tidak memberikan peluang bagi “manuver maksimal” kreativitas, sebaliknya kebudayaan memberikan ruang keliaran tafsir. Dalam konsep agama, manusia adalah “hamba” [client] bagi kehendak langit, sementara dalam kebudayaan, manusia adalah “tuan” [patron] bagi ikhtiar yang dilakukannya.
            Mengapa kebudayaan? Sejak zaman berzaman kebudayaan  merupakan sebuah merupakan sumber kekuatan yang tiada taranya, dalam membentuk peradaban manusia. Dia, kebudayaan, sejak masa yang paling awal telah membentuk sebuah tatanan hubungan antar manusia, antar puak, antar kaum, bahkan antar bangsa. Kebudayaan jugalah yang menyebabkan munculnya berbagai perbedaan sistim di atas dunia, baik sistim politik, sistim perekonomian, sistim sosial, sistim kekerabatan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaanlah yang membentuk politik dan bukan politik yang membentuk kebudayaan. Munculnya berbagai perbedaan dalam sistim pengaturan dan penerajuan antara sebuah negara yang satu dengan negara yang lain, sesungguhnya disebabkan oleh berbedanya kebudayaan yang mengasuh masing-masing negara.
            Sistim demokrasi Amerika dan Eropa bukanlah tumbuh dengan sendirinya, melainkan ia berpunca dari tradisi Hellenistik yang bersumber pada kearifan Yunani Kuno. Budaya berfilsafat masyarakat Yunani Kuno yang selalu memberi ruang bagi munculnya beragam ide, konsep, dan pemahaman, kemudian menjadi muasal munculnya sistim demokrasi yang berkembang hingga hari ini.
Tradisi sportifitas kaum Samurai dan ajaran Bushido juga menjadi landasan spiritual dalam pembentukan etika politik dan ekonomi Jepang. Kita tahu bahwa Jepang pernah luluh-lantak pada perang dunia II, tapi dengan asuhan budaya yang kuat, yang selalu mengajarkan kerja keras dan kedisiplinan  itulah, Jepang, sebuah negara yang kecil, menjadi negara maju. Karenanya kita kemudian menyaksikan bagaimana kiprah Jepang di seantero dunia. Kemana pergi menjadi, kemana menjelang terbilang, kemana berusaha di situ mereka berjaya.
Empirium Melayu, sejak abad ke-7, juga tumbuh dan besar  karena asuhan budaya yang kuat dan karena kesanggupan orang Melayu masa lampau untuk selalu hidup sejalan dengan pesan budaya Melayu itu sendiri.  Dengan tradisi kesetiaan yang timbal balik antara raja dengan rakyat, dengan tradisi kejujuran, keberanian, selalu berbuat baik tapi sanggup bertumpah darah demi marwah, dengan tradisi keberanian, dan dengan ketaatan yang kuat kepada agama yang dianutnya, maka wangsa Melayu tercatat sebagai satu dari sedikit puak yang mampu menjejerkan imperium yang besar. Ada sejumlah kerajaan besar yang tumbuh di masa lampau yang kini sisa-sisanya masih bisa kita lihat bermetamorfosis menjadi negara-negara yang diperintah oleh orang Melayu. Bahkan pada masa lampau, kawasan-kawasan Melayu sempat menjadi pusat perdagangan Internasional.
Kebudayaan dengan segala kearifan yang terkandung di dalamnya,  memberikan inspirasi dan sekaligus kekuatan untuk terus dapat tumbuh dan tumbuh. Tak sedikit bangsa di dunia ini pernah hampir punah, tapi dengan budaya yang kuat mereka bangkit kembali. Jerman pernah kacau balau, tapi budaya dan tradisi Bavaria yang mengajarkan keuletan membuat mereka bangkit, Cina pernah guncang secara politik tapi mereka menjadi kuat kembali ketika berpegang pada kebudayaan. Tibet adalah negara kecil, tapi keteguhan warganya berpegang pada tradisi, membuat demikian kuat, dan sebaliknya tak sedikit pula kawasan yang tak mampu meneguhkan jatidiri kebudayaan menjadi “lenyap” dalam “keberadaannya”.
Sebuah kawasan Melayu memberikan contoh yang baik kepada kita. Melayu Betawi adalah kecil secara kuantitas dan terdesak secara fisik dalam gelombang urbanisasi Jakarta. Tapi gemuruh Jakarta tak membuat Melayu Betawi Hilang, karena ada unsur kebudayaan Betawi yang secara total menguasai Jakarta, dan bahkan Indonesia, yaitu Bahasa Betawi. Karena kebudayaan itu, Betawi tetap eksis dan mampu menjadi bagian semua orang. Dengan kata lain secara “Spiritual” Betawi melalui bahasa dan kebudayaannya, menjadi  lebih besar dari jumlahnya sendiri. Kekuatan bahasa Melayu Betawi  membuktikan ucapan bijak seorang penulis besar sekaligus filsuf, Baron de Montesqieu, yang mengatakan: Andai sebuah bangsa hancur namun tidak kehilangan bahasanya, maka bangsa itu masih memiliki harapan.
            Benang merah dari fakta-fakta di atas dengan kita adalah,  bahwa dengan kebudayaan yang kuat dan keberanian untuk berpegang pada nilai-nilai budaya Melayu yang luhur, maka kita akan dapat menghadapi tantangan yang sebesar apapun. Riau boleh kecil secara kewilayahan dan populasi, tapi jika penduduknya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaannya, menjaga bahasanya, maka kita akan selalu kuat menghadapi segala tantangan.
Awal kehancuran sebuah negeri adalah ketika anak negeri itu mencoba untuk menjadi orang lain yang bukan dirinya. Amerika menjadi maju karena mereka berjuang menjadi orang Amerika, orang Jepang maju karena mereka berusaha tetap menjadi orang Jepang, Orang Cina maju karena mereka tetap menjadi orang Cina secara kebudayaan. Dan kalau orang Melayu mau maju, maka jadilah orang Melayu secara kebudayaan. Sebuah peradaban, kata sejarawan dan filsuf Arnold Toynbee, tidak akan pernah runduh, jika peradaban itu tidak merusak dirinya sendiri, jika tidak dirusak dari dalam.
Karena kuatnya kebudayaan dalam membentuk karakter dan spirit manusia dalam konteks penguatan eksistensi maka kebudayaan harus selalu dijaga dan nilainya dijadilkan sebagai alas dari tindakan dan perbuatan.  Negeri yang memelihara kebudayaan, seperti laut yang memiliki gelombang besar yang konsisten. Laut dengan gelombang besar, akan selalu melebar, karena setiap hari gelombang itu meruntuhkan tebing inci per inci.
Untuk bisa menjadi gelombang besar dalam arus peradaban dunia, kita orang Riau, orang Melayu, harus melakukan tindakan kebudayaan yang lebih subtantif, harus menjadi orang Melayu yang sebenarnya. Menjadi Melayu yang sebenarnya, tidaklah cukup dengan hanya beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu, tapi juga harus memiliki sifat Melayu yang lain seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kegigihan. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, untuk menuju matlamat kemuliaan pengabdian kepada negeri
Kekuatan lain dari ranah kebudayaan adalah kebudayaan secara nyata telah memberikan pewarisan yang relatif lebih abadi ketimbang bidang lain. Kemampuan hasil-hasil budaya untuk bertahan melebihi zaman, kekuatan politik, dan peristiwa-peristiwa lain yang memunculkannya. Bangsa Aztec, Maya, Mesir Kuno, Babylonia, Inca, dan lain-lain, secara fisik sudah dapat dikatakan menghilang, dan hanya satu hal yang tersisa sampai hari ini, yaitu hasil kebudayaannya dan buah karya seniman-seniman mereka. Pyramida sebagai hasil seni arsitektur masih kokoh, sementara Ramses yang membangunnya sudah meninggal dunia lebih dari 30 abad yang lalu.
Karenanya, tidak berlebihan rasanya kalau politisi, ahli hukum,  dan sekaligus pilsuf terkenal Inggris, Sir Francis Bacon dalam risalah yang ditulisnya tahun 1605, The Advanced of Learning, mengatakan, ...We see, then, how far monuments of wit and learning are more durable than the monuments of powers or of the hands. For have not the verses of Homer countinued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllabe or letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been decayed and demolished. Yang jika saya terjemahkan secara agak romantis, lebih kurang berbunyi : ...Kemudian, kita menyaksikan, betapa hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dunia  kearifan [kebudayaan] lebih mampu bertahan ketimbang monumen kekuasaan dan hal lainnya yang ditegakkan dengan kekuatan. Sajak-sajak penyair Yunani kuno, Homerus, masih terus bertahan tanpa kehilangan satu huruf ataupun kata, meski sudah  ditulis berpuluh abad, karyanya terus dibaca meski sudah berusia hampir tiga milenia, sementara pada rentang waktu yang sama, entah sudah berapa istana yang telah fana, entah sudah berapa candi yang telah berganti, entah sudah berapa kubu yang menjadi debu, entah sudah berapa kota kehilangan raga, atau entah sudah berapa negara menghilang dari peta, bertubuh lalu rubuh, menabuh bunyi lalu sunyi, gagah lalu berpecah-belah, hilang musnah berkalang tanah
Jika kita telusuri sejarah dunia, akan semakin kita temukan kebenaran kata-kata Bacon di atas. Dinasti Shang, Dinasti Chou, atau Dinasti Chin, atau Han, boleh saja habis, Kong Fu Tze boleh saja mati, Lao Tze sah-sah saja binasa,  tapi kebudayaan yang mereka kembangkan di tepian sungai Yang Tze dan Hwang Ho, ajaran kongfusiusme dan kitab Tao Te Ching yang ditinggalkan, terus bertahan dalam kenisbian. Kerajaan Sriwijaya boleh musnah tapi Muara Takus tetap tegak di atas tanah, Dinasti Syailendra memang telah menghilang tapi Borobudur tetap saja menjulang. Tanah Sumeria boleh berlalu, tapi tulisan pakunya tetap diburu, Kerajaan Siak boleh saja punah tapi Astana Asserayah tetap gagah, Syah Jehan boleh tiada tapi Taz Mahal tetap berkilau di Agra. Para seniman Melayu masa lampau boleh saja telah ke alam baka, tapi nafas mereka tetap mendengus sampai hari ini, dalam karya seni dan budaya yang mereka tinggalkan. Sampai hari ini masih kita dengar nafas meraka dalam Sulalatus Salatin, dalam Gurindam Duabelas, dalam Bab al-Qawaid, dalam Hikayat Hang Tuah, dalam Muqaddima fi- Intizam, dalam Syair Ikan Terubuk, dalam Tuhfat al-Nafis, dalam Syair Siti Sianah, dalam rentak Zapin, dalam Drama Bangsawan, dalam Puisi-puisi, dalam Prosa-prosa, dalam suara gendang, dalam tingkah Marwas, dalam sayup suara Seruling, dalam gesek Biola yang menyayat, dalam suara Gambus, atau pada bunyi Gong yang menggaungkan gema. Karya-karya mereka terus hidup memberi tanda keberadaan, menyumbang bagi kemanusiaan,  membuat laluan bagi pemuliaan.
Begitulah hasil seni dan kebudayaan melahirkan sesuatu yang lebih kuat dalam melawan waktu. Karya budaya atau seni, baik itu sastra, seni arsitektur, seni lukis, tari, dan sebagainya, lebih mampu bertahan secara fisik dan spiritual, karena ianya dikerjakan dengan hati, dengan segenap akan budi, dan dengan itikat kemuliaan yang putih. Berangkat dari pemahaman itu, maka mari secara bersama kebudayaan Melayu ini kita bangun secara baik dan sungguh-sungguh, dengan hati, akal budi, dan itikat kemuliaan, agar kita tak berhutang kepada sejarah dan dapat membayar kewajiban kepada masa depan.
Begitulah, dan untuk mimpi kebudayaan ini, kita jangan pernah jera dan jerih menapaki pematang-pematang akalbudi, karena jalan kemuliaan itu panjang dan berliku. Mari kita harus ke rumah  kebudayaan yang pati, menjadi orang Riau yang jati, menjadi Melayu yang menderas menderu menebas jalan kemenangan hingga sampai ke matlamat kemuliaan, kemuliaan diri dan kemuliaan negeri. Mari!







Baca Selanjutnya >>