Oleh
Syaukani Al Karim
Disampaikan Sempena Peringatan
Bulan Bahasa
Universitas Lancang
Kuning
Izinkan
saya memulai pidato kebudayaan ini, dengan mengutip pandangan seorang tokoh
eksistensialis yang terkenal, yaitu F. Nietze. Pada tahun 1913, Ia berkata
dengan keyakinan yang penuh: bahwa sebuah
kemajuan dan peradaban bagaikan puncak piramida, untuk itu diperlukan sebuah
pondasi yang tepat, dan pondasi yang tepat dan kuat itu adalah kebudayaan.
Kini ucapan Nietze hampir berumur
seratus tahun, dan kita menemukan kebenarannya dalam keseharian hidup di semua
belahan dunia. Pada penghujung millennium kedua dan pangkal millennium ketiga,
kita sedang hidup dalam kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,
dalam kegagahan demokrasi, serta dalam kemewahan bidang fisik material,
khususnya di negara-negara maju.
Kecanggihan teknologi informasi
ditandainya oleh mudahnya kita berhubungan dengan dunia luar. Dalam era
kesejagatan [globalisasi] ini, menjengah kawasan atau negara lain semudah kita
membuka pintu dan jendela, dan kita dapat bertegur sapa setiap saat, baik untuk
saling berbagi cinta atau pedih nestapa. Kegagahan demokrasi pula, pada hari
ini mengantarkan umat manusia pada sebuah kebebasan yang maksimal, bahkan sampai
membuat manusia dapat memainkan egonya, yang tak jarang berpotensi melukai
makna kebebasan itu sendiri. Sementara kemewahan fisik material, ditandai
dengan terjadinya peningkatan pendapatan yang tajam di Negara-negara tertentu,
seperti Jepang, Eropa, Korea, Singapura, dan lain sebagainya.
Tapi puncak-puncak kemajuan laksana
ujung piramida itu, ternyata tidak sedikit menimbulkan persoalan. Kemajuan yang
tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh itu ternyata menyimpan kekumuhan spiritual
dalam kecanggihan materialnya, menumpuk kerapuhan jiwa dalam kegagahan
kebebasannya, dan menggunungkan kemiskinan hati dalam kemewahan fisik yang
tiada terperi.
Kemiskinan hati, kekumuhan spiritual
dan kerapuhan jiwa itu, terlihat dengan jelas dari banyaknya angka bunuh diri di
negara maju, dari munculnya tindakan-tindakan ekonomi politik yang mengabaikan
kemanusiaan, dari sikap pribadi yang mengabaikan akalbudi, sehingga mimpi
tentang sebuah dunia yang damai, berubah menjadi dunia yang kejam, bengis, dan
intoleran. Ini dunia kita saat ini, sebuah dunia yang secara sadar atau tidak,
sedang bergerak dari terminal kasih ke terminal pedih, dari rumah cinta ke
rumah luka. Sebuah dunia yang berpindah dari taman sayang ke ceruk jurang.
Kesadaran perlunya pondasi yang kuat
dalam menopang kemajuan agar kemajuan tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan,
maka sejak penghujung abad dua puluh sampai abad ini, manusia berduyun-duyun
mencari jalan keluhuran, mencoba menemukan dan mencari tempat berpegang agar
tak rapuh dalam gagah, agar tak miskin dalam kekayaan.
Dalam bukunya Megatrend 2000, J. Naisbitt dan
Patricia Aburdane, menyatakan bahwa puncak pencarian manusia terhadap dunia
spiritual akhirnya sampai pada dua hal, yaitu agama dan kebudayaan. Agama dan
kebudayaan menawarkan hal yang sama, yaitu kemuliaan manusia atau bagaimana
menjadi manusia yang mulia. Bedanya, agama menawarkan rumah spiritual yang
damai dengan konsep ilahiah [apapun agamanya], dan kebudayaan menawarkan
keteduhan dan keseimbangan dari hasil perasan olah pikir dan buah akalbudi. Pada berbagai kawasan, khususnya Eropa, sering
dijadikan pilihan utama, karena agama bersifat dogmatis dan tidak memberikan
peluang bagi “manuver maksimal” kreativitas, sebaliknya kebudayaan memberikan
ruang keliaran tafsir. Dalam konsep agama, manusia adalah “hamba” [client] bagi
kehendak langit, sementara dalam kebudayaan, manusia adalah “tuan” [patron]
bagi ikhtiar yang dilakukannya.
Mengapa
kebudayaan? Sejak zaman berzaman kebudayaan merupakan sebuah merupakan sumber kekuatan
yang tiada taranya, dalam membentuk peradaban manusia. Dia, kebudayaan, sejak
masa yang paling awal telah membentuk sebuah tatanan hubungan antar manusia,
antar puak, antar kaum, bahkan antar bangsa. Kebudayaan jugalah yang
menyebabkan munculnya berbagai perbedaan sistim di atas dunia, baik sistim
politik, sistim perekonomian, sistim sosial, sistim kekerabatan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaanlah yang membentuk politik dan bukan
politik yang membentuk kebudayaan. Munculnya berbagai perbedaan dalam sistim pengaturan
dan penerajuan antara sebuah negara yang satu dengan negara yang lain,
sesungguhnya disebabkan oleh berbedanya kebudayaan yang mengasuh masing-masing
negara.
Sistim demokrasi Amerika dan Eropa bukanlah tumbuh dengan
sendirinya, melainkan ia berpunca dari tradisi Hellenistik yang bersumber pada
kearifan Yunani Kuno. Budaya berfilsafat masyarakat Yunani Kuno yang selalu
memberi ruang bagi munculnya beragam ide, konsep, dan pemahaman, kemudian
menjadi muasal munculnya sistim demokrasi yang berkembang hingga hari ini.
Tradisi sportifitas kaum
Samurai dan ajaran Bushido juga menjadi landasan spiritual dalam pembentukan
etika politik dan ekonomi Jepang. Kita tahu bahwa Jepang pernah luluh-lantak
pada perang dunia II, tapi dengan asuhan budaya yang kuat, yang selalu
mengajarkan kerja keras dan kedisiplinan
itulah, Jepang, sebuah negara yang kecil, menjadi negara maju. Karenanya
kita kemudian menyaksikan bagaimana kiprah Jepang di seantero dunia. Kemana
pergi menjadi, kemana menjelang terbilang, kemana berusaha di situ mereka
berjaya.
Empirium
Melayu, sejak abad ke-7, juga tumbuh dan besar
karena asuhan budaya yang kuat dan karena kesanggupan orang Melayu masa
lampau untuk selalu hidup sejalan dengan pesan budaya Melayu itu sendiri. Dengan tradisi kesetiaan yang timbal balik
antara raja dengan rakyat, dengan tradisi kejujuran, keberanian, selalu berbuat
baik tapi sanggup bertumpah darah demi marwah, dengan tradisi keberanian, dan
dengan ketaatan yang kuat kepada agama yang dianutnya, maka wangsa Melayu tercatat
sebagai satu dari sedikit puak yang mampu menjejerkan imperium yang besar. Ada
sejumlah kerajaan besar yang tumbuh di masa lampau yang kini sisa-sisanya masih
bisa kita lihat bermetamorfosis menjadi negara-negara yang diperintah oleh
orang Melayu. Bahkan pada masa lampau, kawasan-kawasan Melayu sempat menjadi
pusat perdagangan Internasional.
Kebudayaan
dengan segala kearifan yang terkandung di dalamnya, memberikan inspirasi dan sekaligus kekuatan
untuk terus dapat tumbuh dan tumbuh. Tak sedikit bangsa di dunia ini pernah
hampir punah, tapi dengan budaya yang kuat mereka bangkit kembali. Jerman
pernah kacau balau, tapi budaya dan tradisi Bavaria yang mengajarkan keuletan
membuat mereka bangkit, Cina pernah guncang secara politik tapi mereka menjadi
kuat kembali ketika berpegang pada kebudayaan. Tibet adalah negara kecil, tapi
keteguhan warganya berpegang pada tradisi, membuat demikian kuat, dan
sebaliknya tak sedikit pula kawasan yang tak mampu meneguhkan jatidiri
kebudayaan menjadi “lenyap” dalam “keberadaannya”.
Sebuah kawasan Melayu memberikan
contoh yang baik kepada kita. Melayu Betawi adalah kecil secara
kuantitas dan terdesak secara fisik dalam gelombang urbanisasi Jakarta. Tapi
gemuruh Jakarta tak membuat Melayu Betawi Hilang, karena ada unsur kebudayaan
Betawi yang secara total menguasai Jakarta, dan bahkan Indonesia, yaitu Bahasa
Betawi. Karena kebudayaan itu, Betawi tetap eksis dan mampu menjadi bagian
semua orang. Dengan kata lain secara “Spiritual” Betawi melalui bahasa dan
kebudayaannya, menjadi lebih besar dari
jumlahnya sendiri. Kekuatan
bahasa Melayu Betawi membuktikan
ucapan bijak seorang penulis besar sekaligus filsuf, Baron de Montesqieu,
yang mengatakan: Andai sebuah bangsa
hancur namun tidak kehilangan bahasanya, maka bangsa itu masih memiliki harapan.
Benang merah dari fakta-fakta di atas dengan kita adalah, bahwa dengan kebudayaan yang kuat dan
keberanian untuk berpegang pada nilai-nilai budaya Melayu yang luhur, maka kita
akan dapat menghadapi tantangan yang sebesar apapun. Riau boleh kecil secara kewilayahan dan populasi, tapi jika
penduduknya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaannya, menjaga bahasanya, maka kita akan selalu
kuat menghadapi segala tantangan.
Awal
kehancuran sebuah negeri adalah ketika anak negeri itu mencoba untuk menjadi
orang lain yang bukan dirinya. Amerika menjadi maju karena mereka berjuang
menjadi orang Amerika, orang Jepang maju karena mereka berusaha tetap menjadi
orang Jepang, Orang Cina maju karena mereka tetap menjadi orang Cina secara
kebudayaan. Dan kalau orang Melayu mau maju, maka jadilah orang Melayu secara
kebudayaan. Sebuah peradaban,
kata sejarawan dan filsuf Arnold Toynbee, tidak akan pernah runduh, jika
peradaban itu tidak merusak dirinya sendiri, jika tidak dirusak dari dalam.
Karena kuatnya kebudayaan
dalam membentuk karakter dan spirit manusia dalam konteks penguatan eksistensi
maka kebudayaan harus selalu dijaga dan nilainya dijadilkan sebagai alas dari
tindakan dan perbuatan. Negeri yang
memelihara kebudayaan, seperti laut yang memiliki gelombang besar yang
konsisten. Laut dengan gelombang besar, akan selalu melebar, karena setiap hari
gelombang itu meruntuhkan tebing inci per inci.
Untuk bisa menjadi gelombang besar
dalam arus peradaban dunia, kita orang Riau, orang Melayu, harus melakukan
tindakan kebudayaan yang lebih subtantif, harus menjadi orang Melayu yang
sebenarnya. Menjadi Melayu yang sebenarnya, tidaklah cukup dengan hanya
beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu, tapi juga harus
memiliki sifat Melayu yang lain seperti keberanian, kedermawanan,
kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kegigihan. Hanya itulah satu-satunya jalan
untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, untuk menuju matlamat kemuliaan pengabdian kepada negeri
Kekuatan lain dari ranah kebudayaan
adalah kebudayaan secara nyata telah memberikan pewarisan yang relatif
lebih abadi ketimbang bidang lain. Kemampuan hasil-hasil budaya untuk bertahan
melebihi zaman, kekuatan politik, dan peristiwa-peristiwa lain yang
memunculkannya. Bangsa Aztec, Maya, Mesir Kuno, Babylonia, Inca, dan lain-lain,
secara fisik sudah dapat dikatakan menghilang, dan hanya satu hal yang tersisa
sampai hari ini, yaitu hasil kebudayaannya dan buah karya seniman-seniman
mereka. Pyramida sebagai hasil seni arsitektur masih kokoh, sementara Ramses
yang membangunnya sudah meninggal dunia lebih dari 30 abad yang lalu.
Karenanya,
tidak berlebihan rasanya kalau politisi, ahli hukum, dan sekaligus pilsuf terkenal Inggris, Sir
Francis Bacon dalam risalah yang ditulisnya tahun 1605, The Advanced of Learning, mengatakan, ...We see, then, how far monuments of wit and learning are more durable
than the monuments of powers or of the hands. For have not the verses of Homer
countinued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllabe or
letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been
decayed and demolished. Yang jika saya terjemahkan secara agak romantis,
lebih kurang berbunyi : ...Kemudian, kita
menyaksikan, betapa hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dunia kearifan [kebudayaan] lebih mampu bertahan
ketimbang monumen kekuasaan dan hal lainnya yang ditegakkan dengan kekuatan.
Sajak-sajak penyair Yunani kuno, Homerus, masih terus bertahan tanpa kehilangan
satu huruf ataupun kata, meski sudah
ditulis berpuluh abad, karyanya terus dibaca meski sudah berusia hampir
tiga milenia, sementara pada rentang waktu yang sama, entah sudah berapa istana
yang telah fana, entah sudah berapa candi yang telah berganti, entah sudah
berapa kubu yang menjadi debu, entah sudah berapa kota kehilangan raga, atau
entah sudah berapa negara menghilang dari peta, bertubuh lalu rubuh, menabuh
bunyi lalu sunyi, gagah lalu berpecah-belah, hilang musnah berkalang tanah
Jika kita
telusuri sejarah dunia, akan semakin kita temukan kebenaran kata-kata Bacon di
atas. Dinasti Shang, Dinasti Chou, atau Dinasti Chin, atau Han, boleh saja
habis, Kong Fu Tze boleh saja mati, Lao Tze sah-sah saja binasa, tapi kebudayaan yang mereka kembangkan di
tepian sungai Yang Tze dan Hwang Ho, ajaran kongfusiusme dan kitab Tao Te Ching
yang ditinggalkan, terus bertahan dalam kenisbian. Kerajaan Sriwijaya boleh
musnah tapi Muara Takus tetap tegak di atas tanah, Dinasti Syailendra memang
telah menghilang tapi Borobudur tetap saja menjulang. Tanah Sumeria boleh
berlalu, tapi tulisan pakunya tetap diburu, Kerajaan Siak boleh saja punah tapi
Astana Asserayah tetap gagah, Syah Jehan boleh tiada tapi Taz Mahal tetap
berkilau di Agra. Para seniman Melayu masa lampau boleh saja telah ke alam
baka, tapi nafas mereka tetap mendengus sampai hari ini, dalam karya seni dan
budaya yang mereka tinggalkan. Sampai hari ini masih kita dengar nafas meraka
dalam Sulalatus Salatin, dalam Gurindam Duabelas, dalam Bab al-Qawaid, dalam
Hikayat Hang Tuah, dalam Muqaddima fi- Intizam, dalam Syair Ikan Terubuk, dalam
Tuhfat al-Nafis, dalam Syair Siti Sianah, dalam rentak Zapin, dalam Drama
Bangsawan, dalam Puisi-puisi, dalam Prosa-prosa, dalam suara gendang, dalam
tingkah Marwas, dalam sayup suara Seruling, dalam gesek Biola yang menyayat,
dalam suara Gambus, atau pada bunyi Gong yang menggaungkan gema. Karya-karya
mereka terus hidup memberi tanda keberadaan, menyumbang bagi kemanusiaan, membuat laluan bagi pemuliaan.
Begitulah
hasil seni dan kebudayaan melahirkan sesuatu yang lebih kuat dalam melawan
waktu. Karya budaya atau seni, baik itu sastra, seni arsitektur, seni lukis,
tari, dan sebagainya, lebih mampu bertahan secara fisik dan spiritual, karena
ianya dikerjakan dengan hati, dengan segenap akan budi, dan dengan itikat
kemuliaan yang putih. Berangkat dari pemahaman itu, maka mari secara bersama
kebudayaan Melayu ini kita bangun secara baik dan sungguh-sungguh, dengan hati,
akal budi, dan itikat kemuliaan, agar kita tak berhutang kepada sejarah dan
dapat membayar kewajiban kepada masa depan.
Begitulah, dan untuk mimpi
kebudayaan ini, kita jangan pernah jera dan jerih menapaki
pematang-pematang akalbudi,
karena jalan kemuliaan itu panjang dan berliku. Mari kita harus ke
rumah kebudayaan yang pati, menjadi orang Riau yang jati,
menjadi Melayu yang menderas menderu menebas jalan kemenangan hingga sampai ke
matlamat kemuliaan, kemuliaan diri dan kemuliaan negeri. Mari!