Kamis, 27 September 2012

“Kukalung Sungai” Untuk Sportivitas


Kukalung sungai kukalung
Kukalung ikan-ikan
Kukalungkan sirip-sirip perih
Ngilu tulang-tulang
Kukalung sungai kukalung
...

Inilah Riau dengan bentangan karya sastra yang mengakar menjadi kekuatan rohani dan sebagai penghantar kekuatan jasmani. Maka sangatlah tepat pada acara pembukaan PON XVIII di Riau (11/9), para ‘penukang’ acara pembukaan yang notabene budayawan dan sastrawan Riau menggusung Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, membacakan puisinya penghantar penyalaan api PON di kaldron.
Sepengal puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Kukalung yang dikutip di atas, merupakan gambaran bahwa peradaban manusia di mulai dari sungai (air). Aktivitas sungai merupakan pondasi yang membentuk segala aktivitas kehidupan termasuklah olahraga. Karya sastra merupakan ‘teropong’ sekaligus ‘cermin’ untuk melihat sekaligus mendedahkan aktivitas kehidupan, sehingga kita dapat memeluk kearifan untuk berbuat lebih baik lagi.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Riau selain penyumbang kekayaan alam terbesar untuk negeri ini, Riau juga ‘menyumbang’ bahasa sebagai pemersatu. Maka jadilah Supah Pemuda; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan bahasa Melayu ‘dinobatkan’ sebagai bahasa Indonesai, sekat-sekat perbedaan terobohkan, sehingga masyarakat Indonesia yang bermacam suku ini dipersatukan dengan bahasa yang sama.
Karya sastra adalah jiwa yang menyalakan kobaran semangat manusia. Dengan kobaran semangat ini, diharapkan PON XVIII di Riau menjadi ajang menyatukan perbedaan. Pada acara pembukaan PON XVIII yang lalu dikemas dengan tema ‘Dalam Kasih Sayang Air’ menyuguhkan karya-karya sastra itu. Baik karya sastra lama, maupun karya sastra modern, seperti yang dibacakan Sutardji Calzoum Bachri.
Sutardji Calzoum Bachri, merupakan penyair Indonesia yang diberi gelar Presiden Penyair Indonesia. Sutardji lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, dan bermastautin di Jakarta. Dalam setiap puisinya, Sutardji mengangkat kekuatan lokalitas Melayu menjadi roh puisinya. Dialah penyair pertama di Indonesia yang berani mengeksplorasi kekuatan lokalitas menjadi karya masa kini. Dengan mantranya, Sutardji Calzoum Bachri mengabarkan bahwa Melayu Riau memiliki kekuatan untuk mempersatukan. ‘Keberanian’ Sutardji Calzoum Bachri mengokah tradisi (puisi lama Melayu) menjadi puisi modern, sehingg karya-karya sastranya menjadi penobrak karya sastra di Indonesia.
Pada acara pembukaan PON XVIII, Sutardji Calzoum Bachri, hadir menghantarkan puisinya untuk membuka jalan penyulutan api PON. Memilih Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisinya, bukan tanpa alasan. Sutardji merupakan warga kehormatan Riau yang dinobatkan pada sidang paripurna DPRD Riau pada ulang tahun emas Provinsi Riau lima tahun yang lalu. Selain itu, dalam karya-karya sastranya, Sutardji ‘membawa’ kearifan orang Riau di kencah nasional maupun internasional. Maka jadilah Sutardji menyulut api PON menerjang segala rintangan.               
 

Baca Selanjutnya >>

Di Balik “Kasih Sayang Air” Pembukaan PON 2012, Riau


Pada tanggal 11 September 2012, jam telah menunjukkan angka 10 siang. Pada hari itu, sejarah akan ditoreh di Stadion Utama Riau, tempat pembukaan Pekan Olahraga Nasional XVIII. Di ruang antara pintu II dan III, sebanyak 1.700 orang pendukung pembukaan PON, sibuk menyiapkan diri. Para penari sudah menggunakan kostumnya dan sudah pula ber-make up. Ruangan yang lumayan luas dengan pendinginan yang kurang, penuh sesak dan pengap. Teriakan, tawa, percakapan terus mengalir seperti di pasar, namun tidak mengurangi semangat pendukung pembukaan PON untuk memberi yang terbaik untuk negeri ini. Padahal pembukaan akan digelar pada malam hari, pukul 19.30 WIB.
Hari itu (Selasa, 11 Setembe 2012), merupakan hari untuk memperlihatkan pekerjaan mereka yang sudah di mulai sejak Januari lalu. Pekerjaan yang tentu tidak mudah. Mulai dari menggarap konsep sampai menuangkan konsep tersebut menjadi seni pertunjukan yang memikat. Tema yang digusung pun merupakan perwujudan dari kebudayaan Melayu Riau, maka ‘Kasih Sayang Air’ merupakan wajah Melayu Riau dari masa ke masa.
Inilah Riau dengan empat sungai besarnya (Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri), menjadi satu kekuatan. Dari sungai ini, kehidupan orang-orang Melayu Riau terus bergerak, sehingga sampai sampai zaman modern. Kekeluargaan, kasih sayang, kelembutan, merupakan filosofi air yang menjadi bagian terpenting masyarakat di Riau ini.    
OK Nizami Jamil, Al Azhar, Taufik Ikram Jamil, Iwan Irawan, Dandun Wibawa, Rino Rezapati, Onggo, Fedli, Willy F dan dibantu teman-teman seniman Riau lainnya, adalah orang-orang menukangi gagasan tersebut menjadi seni pertunjukan malam itu. Sejak bulan Januari, tim ‘Kasih Sayang Air’ ini telah bekerja. Mereka tidak kenal lelah, terus berpikir supaya pementasan ini sukses. Dengan semangat yang mengebu-gebu untuk memberikan yang terbaik dalam pembukaan PON ini, mereka pun bekerja.
Sempat diterpa ‘angin tidak sedap’ karena pergelaran mereka akan diambil alih oleh orang Jakarta, tim kreatif tidak patah arang. Mereka terus bekerja. Mengumpulkan ribuan pendukung pementasan, mereka lakukan. Latihan terus mereka lakukan, namun pada pertengahan latihan, mereka harus menghentikan latihan. Simpang siur dan tidak adanya kejelasan, memaksa mereka memutar otak untuk menampilkan karya seni berbasis budaya lokal Riau di Pembukaan PON ini.
Semangat, itulah modal mereka terus bergerak dan pada akhirnya ada kepastian itu. Setelah kepastian mereka dapatkan, tim kreatif kembali bekerja. Tidak tanggung-tanggung, selama bulan puasa, mereka juga tetap latihan sampai 4 hari menjelang lebaran. Setelah 4 hari lebaran, mereka kembali melakukan latihan. Semangat yang dimiliki tim kreatif, mengalir ke seluruh pendukung pementasan. Pendukung pementasan seakan tidak kenal lelah, tetap latihan dan latihan.
Kerja keras tim kreatif dan seluruh pendukung pementasan, pada malam Selasa tanggal 11 September 2012 dapat dinikmati pada pembukaan PON XVIII. Jadilah pembukaan PON XVII berwajah ‘Kasih Sayang Air’ yang bercerita tentang kehidupan orang Melayu Riau. Empat sungai besar di Riau, zapin, nyanyian panjang, syair, permainan anak-anak Riau muncul silih berganti selama 24 menit di Stadion Utama Riau.  ( bersambung)  

Membangkitkan Semangat Lokalitas
Menyadari bahwa kebudayaan (seni) menjadi identitas di zaman modern ini, maka perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII merupakan ‘lahan’ memunculkan kebudayaan tempatan. Dengan semangat menggusung kebudayaan Melayu sebagai identitas Riau, tim kreatif ‘Dalam Kasih Sayang Air’ memunculkan peradaban masyarakat Riau yang berada di 4 sungai besar di Riau ini.
Untuk merangkul peradaban masyarakat 4 sungai besar Riau menjadi seni pertunjukan menarik dan memiliki filosi, dipercayailah Taufik Ikram Jamil untuk membuat skenarionya.Penjabaran skenario di panggung (lapangan stadion) ditunjuk Al Azhar sebagai sutradara dibantu Willy F. sebagai assisten sutradara. Tentu saja untuk pementasan klosal di stadion dengan melibatkan ribuan pendukung memerlukan orang-orang ahli di bidangnya. Iwan Irawan Permadi, koreografer (penata tari) terkemuka di Riau, ditunjuk menggarap tarian. Iwan Irawan dibantu koreografer muda Riau, seperti Nanda, Vivin, Ison dan lainnya, tak kenal lelah mencurahkan kemampuan mereka kepada penari yang berasal dari siswa-siswi SMA se Pekanbaru.
Zuarman Ahmad, Rino Dezapati, Zalfandri (Matrock) dan Anggara Satria, bertungkus-lumus pula menyiapkan musik dalam pementasan tersebut. Fedli Aziz, Rina Nazaruddin dan Novi dipercaya mengolah teater. Pembuatan properti dikerjakan Iwan Donna dan Saho Riau. Sementara itu, untuk multimedia agar pementasan ini bertambah memikat, dikerjakan oleh Onggo.  
Pekerja seni yang tergabung ‘Dalam Kasih Sayang Air’ pembukaan PON XVIII, terus bekerja mengolah konsep pertunjukan menjadi seni pertunjukan yang memiliki identitas kemelayuan. Hal ini penting dilakukan, karena event bersekala nasional seperti PON, tiap daerah, apalagi sebagai tuan rumah, harus menampilkan ciri khas daerahnya. Kebudayaan (seni) merupakan wajah masyarakat yang mendiami suatu daerah. Dalam seni pertunjukan, seperti ‘Dalam Kasih Sayang Air’, membangkitkan kehidupan dan semangat masyarakat Melayu Riau dari masa ke masa.
Rintangan demi rintangan, tidak menyurutkan semangat budayawan dan seniman Riau yang tergabung tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Mereka terus mengalir seperti air dan menyapa rintangan dengan kelembutan, sehingga sampailah pada tanggal 11 September 2012, pergelaran itu ‘terbentang’ di Stadion Utama Riau.

Arogansi Jakarta
            ‘Bau tak sedap’ yang ujungnya akan dikibuli oleh pihak event organizer (EO) dari Jakarta yang menangani pembukaan PON ini, sudah tercium sejak awal oleh tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Hal ini disadari ketika tim budayawan dan seniman Riua, mengajak Quantum Solex Internasional (EO dari Jakarta) membahas senarai acara di Taman Budaya Riau seminggu sebelum pembukaan PON. Pihak EO tidak hadir, padahal mereka sudah meminta konsep garapan tim dari Riau.
            Setelah dikontak beberapa kali, akhirnya pihak EO datang. Perbincangan membahas senarai acara pun dimulai. Pertemuan itu tarasa ganjil, ketika pihak EO meletakkan pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ di awal acara dan meminta pergelaran itu di potong durasinya. Tim budayawan dan seniman  Riau tidak mau memotong lagi karena sebelumnya sudah di potong dan dipercepat tempo pergelaran atas permintaan EO juga. Selain itu, kalau dipotong ataupun dipercepat lagi temponya, garapan ini akan kehilangan maknanya. Akhirnya pemotongan ataupun mau mempercepat tempo tidak jadi, namun pegelaran ini tetap di awal acara, dimulai pukul 19.30 WIB. Ketika pergelaran ini dibentangkan pada tanggal 11 Sepetember 2012 yang lalu, di stasiun televisi swasta yang memiliki hak siar, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air I’ tidak disiarkan, karena stasion televisi swasta tersebut menayangkan pembukaan PON XVIII pukul 20.00 WIB.
            Arogansi pihah EO Jakarta ini juga terasa pada jelang acara pembukaan. Ruangan antara pintu 2 dan 3 yang diperuntukkan untuk pendukung ‘Dalam Kasih Sayang Air’ berjumlah ribuan pendukung itu, mau dipindahkan oleh pihak EO. Ruangan itu akan dipergunakan oleh penari dari Jakarta yang berjumlah 400 orang. Tentu saja keinginan EO ditantang habis-habisan oleh tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Sebab ruangan itu sudah ditempati pendukung dari Riau dua hari yang lalu atas permintaan EO juga. Tim Riau bersikap keras dan hasilnay mereka tetap menempati ruang tersebut.
            Dan pada pergelaran pembukaan PON XVIII di Riau, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ bagian awal tidak disiarkan di stasion televisi swasta nasional. Namun demikian, pendukung pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tetap semangat. Menjunjung budaya Melayu Riau, tidak perlu dengan merajuk dan patah arang. Berbuat dan berkarya untuk Riau jauh lebih penting.

Baca Selanjutnya >>