Sabtu, 07 September 2013

“Serikat Kacamata Hitam”




Produksi Teater MATAN Selanjutnya

Naskah yang ditulis oleh Saini KM berjudul Serikat Kacamata Hitam menjadi pilihan Teater MATAN untuk dijadikan produksi pementasan panggung berikutnya. Rencananya pementasan ini akan dipentaskan pada tanggal 21, 22, dan 23 November 2013, di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Seni Raja Ali Haji, Pekanbaru, Riau. Teater MATAN juga telah mempercayai anak muda, Deni Afriadi, menyutradarai pementasan ini. Deni Afriadi merupakan anggota Teater MATAN yang memiliki keinginan besar untuk tetap berkarya di dunia teater.
Pertimbangan memilih naskah Saini KM berjudul Serikat Kacamata Hitam ini berdasarkan kesepakatan anggota Teater MATAN. Naskah yang ditulis teaterawan Indonesia asal Bandung ini, memiliki kontekstual yang dekat dengan fonemena masyarakat Indonesia pada hari ini. Walaupun naskahnya ditulis pada tahun 1979, namun peristiwa yang ada di naskah tersebut masih sangat aktual diangkat pada hari ini.
Naskah yang bercerita bagaimana seorang penguasa menutup-nutupi kelemahannya dengan melakukan tekanan terhadap masyarakat. Masyarakat dipaksa mengikuti kehendaknya menggunakan kacamata hitam dan pakaian hitam. Penguasa ini pun mengisolasi kampungnya dengan tidak memperbolehkan orang lain masuk kampung tersebut. Selain itu semua informasi dari luar tidak diperbolehkan diketahui oleh rakyatnya, maka siapa saja yang memiliki radio akan disiksa.
Keinginan menyeragamkan rakyatnya menggunakan kacamata hitam, pakaian hitam, dan memaksa rakyatnya mengikuti kehendaknya, mendapat perlawanan dari seorang pemuda bernama Bujang. Bujanglah mendobrak otoriter penguasa yang dipanggil Bapak itu. “Naskah ini menggambarkan suasana masa Orde Baru, namun naskah ini masih relevan dengan kita pada hari ini,” ujar Deni Afriadi, sang sutradara.
Untuk garapan, Deni Afriadi menjelaskan, bahwa akan membungkus dengan gaya Teater MATAN. Pengabungan tradisi dan modern akan tetap dipertahankan. “Saya dan kawan-kawan akan tetap mempertahankan gaya Teater MATAN,” ujar Deni lagi.  



Baca Selanjutnya >>

Jumat, 06 September 2013

Sebuah Lakon yang Memainkan Kisah Lakon





Pementasan Teater “Opera Primadona

Oleh Monda Gianes

Saya membayangkan, seandainya pementasan Opera Primadona oleh Teater Selembayung dan Teater Senja menghadirkan pola pemanggungan masa lampau di beberapa bagian. Penonton diajak kembali melihat bagaimana pola dan teknik pemanggungan sandiwara di masa lampau dengan perkakas dan elemen pendukungnya. Mungkin cuplikan adegan yang ada ditampilkan dalam pola bangsawan, atau ala stambul, atau gaya Dardanella yang memiliki kreatifitas menyiasati pementasan. Setidaknya, informasi tentang sekelumit peristiwa teater di Indonesia bisa tampil secara sekilas.

Pertunjukan Teater dengan judul  Opera Primadona ditampilkan selama tiga malam berturut-turut, yakni tanggal 29, 30, 31 Agustus 2013 di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru. Naskah yang ditulis oleh Nano Riantiarno (Teater Koma) tersebut disutradarai oleh Fedli Aziz dan menjadi produksi Teater Selembayung bersama Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru. Pertunjukan ini sekaligus dipersembahkan sebagai peringatan hari jadi Teater Selembayung yang ke-17 tahun.

Teater Selembayung melalui Fedli Aziz (sutradara) kali ini melakukan sesuatu yang lebih daripada biasanya. Durasi lakon yang panjang, berkisar 3 jam. Penggabungan aktor senior (Teater Selembayung dan seniman) dan aktor junior (Teater Senja). Manajemen produksi yang dikelola dengan sistematis. Penggarapan musik, set kontruksi, properti, pencahayaan, rias, kostum dan semua unsur artistik yang saling melengkapi tampak seimbang. Kru pendukung yang memadai. Hingga estimasi biaya yang dikeluarkan pun tentulah tidak sedikit. Tanpa melupakan karya pertunjukan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa selama 17 tahun Teater Selembayung berkiprah, inilah produksi terbesar dengan persiapan yang besar pula.

Menyaksikan dan mengapresiasi pertunjukan Opera Primadona, banyak hal yang menarik untuk dibicarakan. Proses kreatif yang dilakukan oleh Teater Selembayung dan Teater Senja  merupakan upaya pembauran para pelaku teater. Memang sudah saatnya remaja (pelajar) dilibatkan dalam peristiwa pertunjukan (teater). Sebab potensi itu harus ditemukan dan memancar dengan segera. Teater di Riau harus bergerak maju dan dinamis. Sebagaimana teater dikatakan sebagai seni kolektif, kebersamaan, dan saling mengisi untuk kemudian dibentangkan kepada siapa saja yang diinginkan dan menginginkan. Kerja bersama itu dimotori oleh Teater Selembayung yang dalam hal ini lebih senior ketimbang Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru.

Sutradara tampaknya telah berpikir panjang dalam menentukan casting peran untuk Opera Primadona ini. Penempatan pemeran untuk masing-masing tokoh pada lakon ini, tentu bukan proses yang singkat dan mudah. Karena lakon ini menuntut kemahiran berperan yang memadai. Puluhan babakan atau bagian yang relatif dekat, dengan isian adegan yang terus mengusung hingga ke ujung kisah, harus dimainkan dan dijalankan dengan baik dan terarah. Di sinilah ‘jam terbang’ dan pengalaman panggung seorang aktor dipertaruhkan. Walaupun di beberapa adegan saya sempat melihat adanya kesenjangan permainan antara aktornya, tetapi secara keseluruhan mereka memang cukup dipersiapkan. Dan itu pula yang menurut saya sedang diujikan oleh sutradara. Sehingga satu sama lain akan saling tarik-menarik untuk keselarasan permainan dalam mewujudkan adegan yang dirancang.

Selama tiga hari lakon ini ditampilkan, lebih dari 1.250 orang telah melihat pertunjukan tersebut. Jika dianggap dari 1.250 penonton, 50% saja dari mereka (625 orang) membawa kisah ini dan pengalamannya kepada keluarga atau temannya, kemudian bercerita tentang teater yang ditampilkan dan sederet peristiwa yang menyertai sebelum dan sesudah ia menonton, maka akan lebih banyak pula orang membicarakan teater. Terlepas dari mereka berkenan, mengerti, tertarik atau tidak, tetapi mereka sedang membicarakan peristiwa teater. Dapat dibayangkan betapa penonton memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan teater di negeri ini. Dan dengan pertimbangan itu pula setiap kreator, sutradara, dan pelaku panggung tidak akan asal-asalan dalam memberikan tontonan. Apalagi mereka (penonton) menonton dengan membeli tiket. Ditambah lagi Teater Selembayung harus ‘merawat’ penonton tetap mereka, yang senantiasa menanti dan menyaksikan karya-karya pertunjukan yang dipersembahkan.

Bagi saya, pertunjukan Opera Primadona ini menarik. Saya merasa gembira menyaksikannya. Apalagi naskah ini menceritakan tentang lakon memainkan kisah lakon. Tetapi naskah yang dipentaskan pertama kali oleh Teater Koma di tahun 1988 ini telah diadaptasi di beberapa bagian. Sehingga terjadi beberapa perubahan nama tokoh, tempat, istilah, fragmen cerita, dan lainnya. Memang, salah satu keberhasilan pengkarya adalah bagaimana mampu mendekatkan sebuah karya kepada penontonnya. Maka ada upaya atau gagasan untuk mengadaptasi atau mengubah-suai sesuatu yang asing menjadi sesuatu yang dikenal dan akrab. Sehingga visi lakon yang dimaksudkan tersampaikan tanpa hambatan. Namun pada praktek ini pula sutradara membuka peluang terjadinya ketimpangan atau keganjilan jika tidak menemukan kesesuaian.

Naskah yang mengambil latar Riau di tahun 1960-an  dengan berbagai persoalan yang dikisahkan menurut saya belum ada korelasinya. Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada grup sandiwara di Riau ketika itu? Berbeda dengan naskah aslinya yang berlatar tahun 1925-an hingga 1980-an yang berkisah tentang persaingan grup-grup opera di Batavia dan di beberapa daerah. Mungkin akan menarik juga apabila sutradara tidak mengambil latar keriauan, tetapi merepresentasikan sesuai naskah aslinya. Capaian yang diperoleh tentulah lebih luas. Sebab membicarakan lika-liku pelaku panggung di masa lampau yang berpengaruh terhadap masa kini. Sedikit banyak sejarah teater bisa menjadi sisi perhatian yang diaktualisasikan selain keutuhan pertunjukan. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa lampau Drama Melayu juga sedang menjalani ketenarannya. Ini terbukti dengan sebuah kelompok bernama The Malay Opera Dardanella. Justru rangkaian kisah yang ditulis oleh Nano Riantiarno pun tengah menyinggung kelompok tersebut dengan penamaan yang lain. Dan bayang-bayang itu mengarahkan kita pada peristiwa yang terjadi. Artinya, meskipun Nano Riantiarno menulis lakon Opera Primadona sebagai sebuah rekaan, tetapi kontekstual dengan peristiwa dan situasi yang ada pada grup Dardanella dan grup Orion yang ketika itu memang bersaing.

Mencari dan ‘memungut’ identitas Riau untuk diterapkan pada lakon Opera Primadona, menurut saya akan lebih leluasa jika terlebih dahulu menyadur cerita secara keseluruhan. Atau bisa jadi sutradara menjadikan naskah Nano Riantiarno ini sebagai ide umum, kemudian mengusung cerita baru dengan premis yang aktual dengan kondisi Riau saat ini dalam pola penggarapan inovatif. Kecanggihan teknologi dan kemajuan zaman bisa dimanfaatkan. Apapun seperti memungkinkan untuk dicapai. Sebagai perbandingan, kalau boleh beralih sedikit melihat kreator di media televisi. Salah satu stasiun TV swasta di Indonesia menayangkan program Opera Van Java (OVJ). Kalau kita boleh sepakat, gagasan ini mengambil pola yang ada pada teater bangsawan di masa lampau. Kemampuan meramu dan mengemas kembali dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif mengantarkan Opera Van Java sebagai tontonan yang menarik. Siapa menyangka bahwa sesuatu yang kuno (lampau) pada hari ini bisa diminati dan populer. Itu semua tidak terlepas dari kreatifitas yang penuh pertimbangan. Walaupun kehadiran OVJ pada akhirnya hanyalah kebutuhan pasar industri pertelevisian. Sehingga yang menonjol adalah humor dan elemen pendukung yang bersifat hiburan. Hampir tidak menyentuh pada persoalan nilai, pesan moral dan pencerahan batin. Sebab ianya lebih mengolok-olok sesuatu untuk kelucuan saja. Nah, barangkali peristiwa ini bisa menjadi kisah yang diangkat sebagai versi baru dari peristiwa yang dikisahkan dalam lakon Opera Primadona. Banyak hal yang bisa dirangkum menjadi bagian yang diceritakan. Persaingan antara pelaku panggung dan pelaku pertelevisian saat ini masih berlangsung. Bagaimana kreatifitas yang ada pada masing-masing media yang berbeda sering diterapkan dan menjadi acuan. Dan tidak heran pula jika aktor dan aktris sinetron atau film televisi (FTV) mengadu bakat di atas panggung untuk membekali kemahiran perannya di dalam produksi sinetron atau FTV. Zaman sekarang pun tetap memiliki primadona-primadona. Kemudian di tengah-tengah media yang sama-sama bergerak, selalu ada pelaku industri yang terlibat.

Pada akhirnya, konseptor dan sutradara memegang kendali atas apa yang hendak ia sampaikan. Sebab, kerja kreatifnya harus bertolak dari perencanaan yang disusun. Boleh saja Opera Primadona ini disajikan dalam fiksi dan sengaja tidak ingin dihubungkan dengan kenyataan sandiwara yang pernah ada di Riau pada masa lalu. Penyebutan dan beberapa hal yang disesuaikan cuma perihal yang strategis. Harapan dan bayangan saya barangkali tidak menjadi pilihan yang teramat penting. Begitu juga dengan penonton yang lainnya. Mungkin mendapatkan kesan yang berbeda pula. Sementara sandiwara mempunyai cara menyampaikan dirinya dengan bersandiwara pula. Inilah lakon yang memainkan kisah lakon, yang membuat teater menjadi asyik untuk terus dibicarakan.

Sebagai pelaku seni, Fedli Aziz dan Teater Selembayung memiliki potensi yang besar untuk menggelar pertunjukan yang lebih menantang kreatifitas. Lakon Opera Primadona menjadi salah satu bukti bahwa mereka mampu menyelesaikan produksi ini dengan luar biasa dan sukses. Kekurangan dan kelemahan pertunjukan adalah kewajaran yang harus disikapi sebagai sumber kekuatan di masa mendatang. Dan usia 17 tahun adalah situasi dimana gairah sedang meluap untuk berperan aktif dan berpotensi produktif. Tahniah!

Monda Gianes, penggiat teater
Berhimpun di kelompok Teater Matan Pekanbaru
Baca Selanjutnya >>