Selasa, 17 September 2013
Sabtu, 07 September 2013
“Serikat Kacamata Hitam”
Produksi Teater MATAN Selanjutnya
Naskah yang
ditulis oleh Saini KM berjudul Serikat Kacamata Hitam menjadi pilihan Teater
MATAN untuk dijadikan produksi pementasan panggung berikutnya. Rencananya
pementasan ini akan dipentaskan pada tanggal 21, 22, dan 23 November 2013, di
Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Seni Raja Ali Haji, Pekanbaru, Riau. Teater
MATAN juga telah mempercayai anak muda, Deni Afriadi, menyutradarai pementasan
ini. Deni Afriadi merupakan anggota Teater MATAN yang memiliki keinginan besar
untuk tetap berkarya di dunia teater.
Pertimbangan
memilih naskah Saini KM berjudul Serikat Kacamata Hitam ini berdasarkan
kesepakatan anggota Teater MATAN. Naskah yang ditulis teaterawan Indonesia asal
Bandung ini, memiliki kontekstual yang dekat dengan fonemena masyarakat
Indonesia pada hari ini. Walaupun naskahnya ditulis pada tahun 1979, namun
peristiwa yang ada di naskah tersebut masih sangat aktual diangkat pada hari
ini.
Naskah yang
bercerita bagaimana seorang penguasa menutup-nutupi kelemahannya dengan melakukan
tekanan terhadap masyarakat. Masyarakat dipaksa mengikuti kehendaknya
menggunakan kacamata hitam dan pakaian hitam. Penguasa ini pun mengisolasi
kampungnya dengan tidak memperbolehkan orang lain masuk kampung tersebut.
Selain itu semua informasi dari luar tidak diperbolehkan diketahui oleh
rakyatnya, maka siapa saja yang memiliki radio akan disiksa.
Keinginan
menyeragamkan rakyatnya menggunakan kacamata hitam, pakaian hitam, dan memaksa
rakyatnya mengikuti kehendaknya, mendapat perlawanan dari seorang pemuda
bernama Bujang. Bujanglah mendobrak otoriter penguasa yang dipanggil Bapak itu.
“Naskah ini menggambarkan suasana masa Orde Baru, namun naskah ini masih
relevan dengan kita pada hari ini,” ujar Deni Afriadi, sang sutradara.
Untuk garapan,
Deni Afriadi menjelaskan, bahwa akan membungkus dengan gaya Teater MATAN. Pengabungan
tradisi dan modern akan tetap dipertahankan. “Saya dan kawan-kawan akan tetap
mempertahankan gaya Teater MATAN,” ujar Deni lagi.
Jumat, 06 September 2013
Sebuah Lakon yang Memainkan Kisah Lakon
Oleh Monda Gianes
Saya membayangkan, seandainya pementasan Opera
Primadona oleh Teater Selembayung dan Teater Senja menghadirkan pola
pemanggungan masa lampau di beberapa bagian. Penonton diajak kembali melihat
bagaimana pola dan teknik pemanggungan sandiwara di masa lampau dengan perkakas
dan elemen pendukungnya. Mungkin cuplikan adegan yang ada ditampilkan dalam
pola bangsawan, atau ala stambul, atau gaya Dardanella yang memiliki kreatifitas
menyiasati pementasan. Setidaknya, informasi tentang sekelumit peristiwa teater
di Indonesia bisa tampil secara sekilas.
Pertunjukan
Teater dengan judul Opera Primadona
ditampilkan selama tiga malam berturut-turut, yakni tanggal 29, 30, 31 Agustus
2013 di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru. Naskah yang ditulis oleh Nano
Riantiarno (Teater Koma) tersebut disutradarai oleh Fedli Aziz dan menjadi
produksi Teater Selembayung bersama Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru. Pertunjukan
ini sekaligus dipersembahkan sebagai peringatan hari jadi Teater Selembayung
yang ke-17 tahun.
Teater
Selembayung melalui Fedli Aziz (sutradara) kali ini melakukan sesuatu yang
lebih daripada biasanya. Durasi lakon yang panjang, berkisar 3 jam.
Penggabungan aktor senior (Teater Selembayung dan seniman) dan aktor junior (Teater
Senja). Manajemen produksi yang dikelola dengan sistematis. Penggarapan musik,
set kontruksi, properti, pencahayaan, rias, kostum dan semua unsur artistik
yang saling melengkapi tampak seimbang. Kru pendukung yang memadai. Hingga estimasi
biaya yang dikeluarkan pun tentulah tidak sedikit. Tanpa melupakan karya
pertunjukan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa selama 17 tahun Teater
Selembayung berkiprah, inilah produksi terbesar dengan persiapan yang besar
pula.
Menyaksikan
dan mengapresiasi pertunjukan Opera Primadona, banyak hal yang menarik untuk
dibicarakan. Proses kreatif yang dilakukan oleh Teater Selembayung dan Teater
Senja merupakan upaya pembauran para
pelaku teater. Memang sudah saatnya remaja (pelajar) dilibatkan dalam peristiwa
pertunjukan (teater). Sebab potensi itu harus ditemukan dan memancar dengan
segera. Teater di Riau harus bergerak maju dan dinamis. Sebagaimana teater
dikatakan sebagai seni kolektif, kebersamaan, dan saling mengisi untuk kemudian
dibentangkan kepada siapa saja yang diinginkan dan menginginkan. Kerja bersama
itu dimotori oleh Teater Selembayung yang dalam hal ini lebih senior ketimbang
Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru.
Sutradara
tampaknya telah berpikir panjang dalam menentukan casting peran untuk Opera Primadona ini. Penempatan pemeran untuk
masing-masing tokoh pada lakon ini, tentu bukan proses yang singkat dan mudah.
Karena lakon ini menuntut kemahiran berperan yang memadai. Puluhan babakan atau
bagian yang relatif dekat, dengan isian adegan yang terus mengusung hingga ke
ujung kisah, harus dimainkan dan dijalankan dengan baik dan terarah. Di sinilah
‘jam terbang’ dan pengalaman panggung seorang aktor dipertaruhkan. Walaupun di
beberapa adegan saya sempat melihat adanya kesenjangan permainan antara aktornya,
tetapi secara keseluruhan mereka memang cukup dipersiapkan. Dan itu pula yang
menurut saya sedang diujikan oleh sutradara. Sehingga satu sama lain akan
saling tarik-menarik untuk keselarasan permainan dalam mewujudkan adegan yang
dirancang.
Selama tiga
hari lakon ini ditampilkan, lebih dari 1.250 orang telah melihat pertunjukan
tersebut. Jika dianggap dari 1.250 penonton, 50% saja dari mereka (625 orang)
membawa kisah ini dan pengalamannya kepada keluarga atau temannya, kemudian
bercerita tentang teater yang ditampilkan dan sederet peristiwa yang menyertai
sebelum dan sesudah ia menonton, maka akan lebih banyak pula orang membicarakan
teater. Terlepas dari mereka berkenan, mengerti, tertarik atau tidak, tetapi
mereka sedang membicarakan peristiwa teater. Dapat dibayangkan betapa penonton
memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan teater di negeri ini. Dan
dengan pertimbangan itu pula setiap kreator, sutradara, dan pelaku panggung
tidak akan asal-asalan dalam
memberikan tontonan. Apalagi mereka (penonton) menonton dengan membeli tiket.
Ditambah lagi Teater Selembayung harus ‘merawat’ penonton tetap mereka, yang
senantiasa menanti dan menyaksikan karya-karya pertunjukan yang dipersembahkan.
Bagi saya,
pertunjukan Opera Primadona ini menarik. Saya merasa gembira menyaksikannya.
Apalagi naskah ini menceritakan tentang lakon memainkan kisah lakon. Tetapi naskah
yang dipentaskan pertama kali oleh Teater Koma di tahun 1988 ini telah
diadaptasi di beberapa bagian. Sehingga terjadi beberapa perubahan nama tokoh,
tempat, istilah, fragmen cerita, dan lainnya. Memang, salah satu keberhasilan
pengkarya adalah bagaimana mampu mendekatkan sebuah karya kepada penontonnya.
Maka ada upaya atau gagasan untuk mengadaptasi atau mengubah-suai sesuatu yang
asing menjadi sesuatu yang dikenal dan akrab. Sehingga visi lakon yang dimaksudkan
tersampaikan tanpa hambatan. Namun pada praktek ini pula sutradara membuka
peluang terjadinya ketimpangan atau keganjilan jika tidak menemukan kesesuaian.
Naskah yang mengambil
latar Riau di tahun 1960-an dengan
berbagai persoalan yang dikisahkan menurut saya belum ada korelasinya. Apakah
peristiwa serupa memang pernah terjadi pada grup sandiwara di Riau ketika itu? Berbeda
dengan naskah aslinya yang berlatar tahun 1925-an hingga 1980-an yang berkisah
tentang persaingan grup-grup opera di Batavia dan di beberapa daerah. Mungkin
akan menarik juga apabila sutradara tidak mengambil latar keriauan, tetapi
merepresentasikan sesuai naskah aslinya. Capaian yang diperoleh tentulah lebih
luas. Sebab membicarakan lika-liku pelaku panggung di masa lampau yang
berpengaruh terhadap masa kini. Sedikit banyak sejarah teater bisa menjadi sisi
perhatian yang diaktualisasikan selain keutuhan pertunjukan. Sebagaimana diketahui
bahwa pada masa lampau Drama Melayu juga sedang menjalani ketenarannya. Ini
terbukti dengan sebuah kelompok bernama The Malay Opera Dardanella. Justru
rangkaian kisah yang ditulis oleh Nano Riantiarno pun tengah menyinggung
kelompok tersebut dengan penamaan yang lain. Dan bayang-bayang itu mengarahkan
kita pada peristiwa yang terjadi. Artinya, meskipun Nano Riantiarno menulis
lakon Opera Primadona sebagai sebuah rekaan, tetapi kontekstual dengan
peristiwa dan situasi yang ada pada grup Dardanella dan grup Orion yang ketika
itu memang bersaing.
Mencari dan
‘memungut’ identitas Riau untuk diterapkan pada lakon Opera Primadona, menurut
saya akan lebih leluasa jika terlebih dahulu menyadur cerita secara keseluruhan.
Atau bisa jadi sutradara menjadikan naskah Nano Riantiarno ini sebagai ide
umum, kemudian mengusung cerita baru dengan premis yang aktual dengan kondisi Riau
saat ini dalam pola penggarapan inovatif. Kecanggihan teknologi dan kemajuan
zaman bisa dimanfaatkan. Apapun seperti memungkinkan untuk dicapai. Sebagai
perbandingan, kalau boleh beralih sedikit melihat kreator di media televisi.
Salah satu stasiun TV swasta di Indonesia menayangkan program Opera Van Java
(OVJ). Kalau kita boleh sepakat, gagasan ini mengambil pola yang ada pada
teater bangsawan di masa lampau. Kemampuan meramu dan mengemas kembali dengan
gagasan-gagasan baru yang inovatif mengantarkan Opera Van Java sebagai tontonan
yang menarik. Siapa menyangka bahwa sesuatu yang kuno (lampau) pada hari ini bisa
diminati dan populer. Itu semua tidak terlepas dari kreatifitas yang penuh
pertimbangan. Walaupun kehadiran OVJ pada akhirnya hanyalah kebutuhan pasar
industri pertelevisian. Sehingga yang menonjol adalah humor dan elemen
pendukung yang bersifat hiburan. Hampir tidak menyentuh pada persoalan nilai,
pesan moral dan pencerahan batin. Sebab ianya lebih mengolok-olok sesuatu untuk
kelucuan saja. Nah, barangkali peristiwa ini bisa menjadi kisah yang diangkat
sebagai versi baru dari peristiwa yang dikisahkan dalam lakon Opera Primadona.
Banyak hal yang bisa dirangkum menjadi bagian yang diceritakan. Persaingan
antara pelaku panggung dan pelaku pertelevisian saat ini masih berlangsung.
Bagaimana kreatifitas yang ada pada masing-masing media yang berbeda sering
diterapkan dan menjadi acuan. Dan tidak heran pula jika aktor dan aktris
sinetron atau film televisi (FTV) mengadu bakat di atas panggung untuk
membekali kemahiran perannya di dalam produksi sinetron atau FTV. Zaman
sekarang pun tetap memiliki primadona-primadona. Kemudian di tengah-tengah
media yang sama-sama bergerak, selalu ada pelaku industri yang terlibat.
Pada akhirnya,
konseptor dan sutradara memegang kendali atas apa yang hendak ia sampaikan.
Sebab, kerja kreatifnya harus bertolak dari perencanaan yang disusun. Boleh
saja Opera Primadona ini disajikan dalam fiksi dan sengaja tidak ingin
dihubungkan dengan kenyataan sandiwara yang pernah ada di Riau pada masa lalu.
Penyebutan dan beberapa hal yang disesuaikan cuma perihal yang strategis. Harapan
dan bayangan saya barangkali tidak menjadi pilihan yang teramat penting. Begitu
juga dengan penonton yang lainnya. Mungkin mendapatkan kesan yang berbeda pula.
Sementara sandiwara mempunyai cara menyampaikan dirinya dengan bersandiwara
pula. Inilah lakon yang memainkan kisah lakon, yang membuat teater menjadi asyik
untuk terus dibicarakan.
Sebagai pelaku
seni, Fedli Aziz dan Teater Selembayung memiliki potensi yang besar untuk menggelar
pertunjukan yang lebih menantang kreatifitas. Lakon Opera Primadona menjadi
salah satu bukti bahwa mereka mampu menyelesaikan produksi ini dengan luar
biasa dan sukses. Kekurangan dan kelemahan pertunjukan adalah kewajaran yang
harus disikapi sebagai sumber kekuatan di masa mendatang. Dan usia 17 tahun
adalah situasi dimana gairah sedang meluap untuk berperan aktif dan berpotensi
produktif. Tahniah!
Monda
Gianes, penggiat teater
Berhimpun di kelompok
Teater Matan Pekanbaru
Langganan:
Postingan (Atom)