Deni Afriadi
“Apakah anda senang ditipu?”.
Kalimat di atas
jika dilontarkan kepada pribadi kita masing-masing pasti akan menjawab “tidak”.
Ya, tidak ada seorang pun manusia yang ingin ditipu dalam hidupnya karna penipuan
adalah bentuk kejahatan yang sangat merugikan. Bahkan undang-undang negarapun
merumuskan hukuman terhadap kasus penipuan. Tetapi mengapa kita malah merasa
bosan ataupun mencela jika menyaksikan suatu sinetron, film ataupun pertunjukan
teater yang dimainkan oleh pemeran (aktor/aktris) yang tidak mampu berakting
dengan maksimal. Padahal kita menyadari bahwa akting adalah tipuan. Berarti
jika kita mengagumi akting aktor/aktris, secara tidak langsung kita juga senang
untuk ditipu. Sebaliknya “jujur” merupakan salah satu sifat terpuji yang
dikagumi dan didambakan oleh setiap manusia. Tidak mudah melakukan kejujuran
apalagi ketika kejujuran tersebut dihadapi dengan pilihan. Nah, bagaimana
seandainya jika seseorang melakukan kedua sifat tersebut dalam waktu dan
keadaan yang bersamaan? Mungkin akan dapat penilaian 50:50 jika dihadapkan
dengan dosa dan pahala.
Tidak mudah menjadi
seorang penipu yang jujur. Keselarasan antara fisik, vokal maupun rasa terasa
kurang memadai tanpa adanya kecerdasan yang digunakan dengan cepat, cermat dan
tepat. Oleh karena itu proses secara langsung maupun tidak langsung harus mampu
dilakukan oleh seorang calon aktor untuk menemukan kejujurannya dalam ‘menipu’.
Proses secara langsung bisa dilakukan dengan meluangkan beberapa waktu untuk
memfokuskan diri pada target-target yang ingin dicapai dalam pecarian aktingnya.
Hal ini lebih berkenaan dengan eksplorasi dan apresiasi. Proses secara tidak
langsung ialah kecermatan dalam menyimpulkan peristiwa-peristiwa yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika seseorang
ingin belajar berenang, tidak akan mampu dengan cara semata membaca buku renang
profesional tanpa adanya usaha untuk menyeburkan diri ke dalam kolam. Begitu
juga halnya dengan akting. Akting tidak bisa dipelajari semata dengan membaca
teori-teorinya tanpa ada usaha untuk melakukannya. Memang banyak buku-buku
pembelajaran keaktoran yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Di Indonesia saja
ada beberapa contoh buku pembelajaran akting seperti yang telah ditulis oleh
tokoh-tokoh teater seperti WS Rendra dengan “Bermain Drama”, Eka D Sitorus
dengan “The Art Of Acting”, Suyatna Anirun dengan “Menjadi Aktor” dan lain
sebagainya. Segala pembelajaran ini tiada bermakna tanpa adanya aktion dari pelakunya sendiri.
Kepuasan seorang
penonton “akting” terletak pada ketika ia merasa mampu telah ditipu dengan
jujur. Jujur yang dimaksudkan ialah sang aktor mampu membuat penontonya merasa
marah, sedih, gembira dan sebagainya dengan tipuan yang jujur dan bukan dengan
kesan yang dibuat-buat. Sesuatu hal yang keluar dengan jujur tentu akan lebih
memiliki simpatik jika dibandingkan dengan suatu hal yang direkayasa. Kejujuran
inilah yang diharapkan mampu dimiliki setiap aktor/aktris. Memang bukanlah
kerja yang mudah untuk menjadikan suatu tipuan mampu dirasakan jujur oleh
penonton. Pemilihan intonasi, diksi, mimik, dan bahasa tubuh yang pas harus
dipersiapkan dengan matang agar mampu menjadi ‘penipu’ yang handal. Sebab
konsep akting ialah meyakinkan penonton, sebelum meyakinkan penonton tentunya
sang aktor/aktris harus mampu meyakinkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Akting
memanglah sebuah tipuan, namun diharapkan menjadi tipuan yang mampu membuat
kita bercermin akan pribadi kita maupun sosial masyarakat lingkungan dimana
kita hidup.
Pekanbaru, 06 Maret 2013