Sabtu, 03 November 2012

KEBUDAYAAN: ULTIMUM REMEDIUM



Oleh Syaukani Al Karim
Disampaikan Sempena Peringatan Bulan Bahasa
Universitas Lancang Kuning
           
            Izinkan saya memulai pidato kebudayaan ini, dengan mengutip pandangan seorang tokoh eksistensialis yang terkenal, yaitu F. Nietze. Pada tahun 1913, Ia berkata dengan keyakinan yang penuh: bahwa sebuah kemajuan dan peradaban bagaikan puncak piramida, untuk itu diperlukan sebuah pondasi yang tepat, dan pondasi yang tepat dan kuat itu adalah kebudayaan.
Kini ucapan Nietze hampir berumur seratus tahun, dan kita menemukan kebenarannya dalam keseharian hidup di semua belahan dunia. Pada penghujung millennium kedua dan pangkal millennium ketiga, kita sedang hidup dalam kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, dalam kegagahan demokrasi, serta dalam kemewahan bidang fisik material, khususnya di negara-negara maju.
Kecanggihan teknologi informasi ditandainya oleh mudahnya kita berhubungan dengan dunia luar. Dalam era kesejagatan [globalisasi] ini, menjengah kawasan atau negara lain semudah kita membuka pintu dan jendela, dan kita dapat bertegur sapa setiap saat, baik untuk saling berbagi cinta atau pedih nestapa. Kegagahan demokrasi pula, pada hari ini mengantarkan umat manusia pada sebuah kebebasan yang maksimal, bahkan sampai membuat manusia dapat memainkan egonya, yang tak jarang berpotensi melukai makna kebebasan itu sendiri. Sementara kemewahan fisik material, ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan yang tajam di Negara-negara tertentu, seperti Jepang, Eropa, Korea, Singapura, dan lain sebagainya.
Tapi puncak-puncak kemajuan laksana ujung piramida itu, ternyata tidak sedikit menimbulkan persoalan. Kemajuan yang tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh itu ternyata menyimpan kekumuhan spiritual dalam kecanggihan materialnya, menumpuk kerapuhan jiwa dalam kegagahan kebebasannya, dan menggunungkan kemiskinan hati dalam kemewahan fisik yang tiada terperi.
Kemiskinan hati, kekumuhan spiritual dan kerapuhan jiwa itu, terlihat dengan jelas dari banyaknya angka bunuh diri di negara maju, dari munculnya tindakan-tindakan ekonomi politik yang mengabaikan kemanusiaan, dari sikap pribadi yang mengabaikan akalbudi, sehingga mimpi tentang sebuah dunia yang damai, berubah menjadi dunia yang kejam, bengis, dan intoleran. Ini dunia kita saat ini, sebuah dunia yang secara sadar atau tidak, sedang bergerak dari terminal kasih ke terminal pedih, dari rumah cinta ke rumah luka. Sebuah dunia yang berpindah dari taman sayang ke ceruk jurang.
Kesadaran perlunya pondasi yang kuat dalam menopang kemajuan agar kemajuan tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan, maka sejak penghujung abad dua puluh sampai abad ini, manusia berduyun-duyun mencari jalan keluhuran, mencoba menemukan dan mencari tempat berpegang agar tak rapuh dalam gagah, agar tak miskin dalam kekayaan.
Dalam bukunya Megatrend 2000, J. Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyatakan bahwa puncak pencarian manusia terhadap dunia spiritual akhirnya sampai pada dua hal, yaitu agama dan kebudayaan. Agama dan kebudayaan menawarkan hal yang sama, yaitu kemuliaan manusia atau bagaimana menjadi manusia yang mulia. Bedanya, agama menawarkan rumah spiritual yang damai dengan konsep ilahiah [apapun agamanya], dan kebudayaan menawarkan keteduhan dan keseimbangan dari hasil perasan olah pikir dan buah akalbudi.  Pada berbagai kawasan, khususnya Eropa, sering dijadikan pilihan utama, karena agama bersifat dogmatis dan tidak memberikan peluang bagi “manuver maksimal” kreativitas, sebaliknya kebudayaan memberikan ruang keliaran tafsir. Dalam konsep agama, manusia adalah “hamba” [client] bagi kehendak langit, sementara dalam kebudayaan, manusia adalah “tuan” [patron] bagi ikhtiar yang dilakukannya.
            Mengapa kebudayaan? Sejak zaman berzaman kebudayaan  merupakan sebuah merupakan sumber kekuatan yang tiada taranya, dalam membentuk peradaban manusia. Dia, kebudayaan, sejak masa yang paling awal telah membentuk sebuah tatanan hubungan antar manusia, antar puak, antar kaum, bahkan antar bangsa. Kebudayaan jugalah yang menyebabkan munculnya berbagai perbedaan sistim di atas dunia, baik sistim politik, sistim perekonomian, sistim sosial, sistim kekerabatan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaanlah yang membentuk politik dan bukan politik yang membentuk kebudayaan. Munculnya berbagai perbedaan dalam sistim pengaturan dan penerajuan antara sebuah negara yang satu dengan negara yang lain, sesungguhnya disebabkan oleh berbedanya kebudayaan yang mengasuh masing-masing negara.
            Sistim demokrasi Amerika dan Eropa bukanlah tumbuh dengan sendirinya, melainkan ia berpunca dari tradisi Hellenistik yang bersumber pada kearifan Yunani Kuno. Budaya berfilsafat masyarakat Yunani Kuno yang selalu memberi ruang bagi munculnya beragam ide, konsep, dan pemahaman, kemudian menjadi muasal munculnya sistim demokrasi yang berkembang hingga hari ini.
Tradisi sportifitas kaum Samurai dan ajaran Bushido juga menjadi landasan spiritual dalam pembentukan etika politik dan ekonomi Jepang. Kita tahu bahwa Jepang pernah luluh-lantak pada perang dunia II, tapi dengan asuhan budaya yang kuat, yang selalu mengajarkan kerja keras dan kedisiplinan  itulah, Jepang, sebuah negara yang kecil, menjadi negara maju. Karenanya kita kemudian menyaksikan bagaimana kiprah Jepang di seantero dunia. Kemana pergi menjadi, kemana menjelang terbilang, kemana berusaha di situ mereka berjaya.
Empirium Melayu, sejak abad ke-7, juga tumbuh dan besar  karena asuhan budaya yang kuat dan karena kesanggupan orang Melayu masa lampau untuk selalu hidup sejalan dengan pesan budaya Melayu itu sendiri.  Dengan tradisi kesetiaan yang timbal balik antara raja dengan rakyat, dengan tradisi kejujuran, keberanian, selalu berbuat baik tapi sanggup bertumpah darah demi marwah, dengan tradisi keberanian, dan dengan ketaatan yang kuat kepada agama yang dianutnya, maka wangsa Melayu tercatat sebagai satu dari sedikit puak yang mampu menjejerkan imperium yang besar. Ada sejumlah kerajaan besar yang tumbuh di masa lampau yang kini sisa-sisanya masih bisa kita lihat bermetamorfosis menjadi negara-negara yang diperintah oleh orang Melayu. Bahkan pada masa lampau, kawasan-kawasan Melayu sempat menjadi pusat perdagangan Internasional.
Kebudayaan dengan segala kearifan yang terkandung di dalamnya,  memberikan inspirasi dan sekaligus kekuatan untuk terus dapat tumbuh dan tumbuh. Tak sedikit bangsa di dunia ini pernah hampir punah, tapi dengan budaya yang kuat mereka bangkit kembali. Jerman pernah kacau balau, tapi budaya dan tradisi Bavaria yang mengajarkan keuletan membuat mereka bangkit, Cina pernah guncang secara politik tapi mereka menjadi kuat kembali ketika berpegang pada kebudayaan. Tibet adalah negara kecil, tapi keteguhan warganya berpegang pada tradisi, membuat demikian kuat, dan sebaliknya tak sedikit pula kawasan yang tak mampu meneguhkan jatidiri kebudayaan menjadi “lenyap” dalam “keberadaannya”.
Sebuah kawasan Melayu memberikan contoh yang baik kepada kita. Melayu Betawi adalah kecil secara kuantitas dan terdesak secara fisik dalam gelombang urbanisasi Jakarta. Tapi gemuruh Jakarta tak membuat Melayu Betawi Hilang, karena ada unsur kebudayaan Betawi yang secara total menguasai Jakarta, dan bahkan Indonesia, yaitu Bahasa Betawi. Karena kebudayaan itu, Betawi tetap eksis dan mampu menjadi bagian semua orang. Dengan kata lain secara “Spiritual” Betawi melalui bahasa dan kebudayaannya, menjadi  lebih besar dari jumlahnya sendiri. Kekuatan bahasa Melayu Betawi  membuktikan ucapan bijak seorang penulis besar sekaligus filsuf, Baron de Montesqieu, yang mengatakan: Andai sebuah bangsa hancur namun tidak kehilangan bahasanya, maka bangsa itu masih memiliki harapan.
            Benang merah dari fakta-fakta di atas dengan kita adalah,  bahwa dengan kebudayaan yang kuat dan keberanian untuk berpegang pada nilai-nilai budaya Melayu yang luhur, maka kita akan dapat menghadapi tantangan yang sebesar apapun. Riau boleh kecil secara kewilayahan dan populasi, tapi jika penduduknya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaannya, menjaga bahasanya, maka kita akan selalu kuat menghadapi segala tantangan.
Awal kehancuran sebuah negeri adalah ketika anak negeri itu mencoba untuk menjadi orang lain yang bukan dirinya. Amerika menjadi maju karena mereka berjuang menjadi orang Amerika, orang Jepang maju karena mereka berusaha tetap menjadi orang Jepang, Orang Cina maju karena mereka tetap menjadi orang Cina secara kebudayaan. Dan kalau orang Melayu mau maju, maka jadilah orang Melayu secara kebudayaan. Sebuah peradaban, kata sejarawan dan filsuf Arnold Toynbee, tidak akan pernah runduh, jika peradaban itu tidak merusak dirinya sendiri, jika tidak dirusak dari dalam.
Karena kuatnya kebudayaan dalam membentuk karakter dan spirit manusia dalam konteks penguatan eksistensi maka kebudayaan harus selalu dijaga dan nilainya dijadilkan sebagai alas dari tindakan dan perbuatan.  Negeri yang memelihara kebudayaan, seperti laut yang memiliki gelombang besar yang konsisten. Laut dengan gelombang besar, akan selalu melebar, karena setiap hari gelombang itu meruntuhkan tebing inci per inci.
Untuk bisa menjadi gelombang besar dalam arus peradaban dunia, kita orang Riau, orang Melayu, harus melakukan tindakan kebudayaan yang lebih subtantif, harus menjadi orang Melayu yang sebenarnya. Menjadi Melayu yang sebenarnya, tidaklah cukup dengan hanya beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu, tapi juga harus memiliki sifat Melayu yang lain seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kegigihan. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, untuk menuju matlamat kemuliaan pengabdian kepada negeri
Kekuatan lain dari ranah kebudayaan adalah kebudayaan secara nyata telah memberikan pewarisan yang relatif lebih abadi ketimbang bidang lain. Kemampuan hasil-hasil budaya untuk bertahan melebihi zaman, kekuatan politik, dan peristiwa-peristiwa lain yang memunculkannya. Bangsa Aztec, Maya, Mesir Kuno, Babylonia, Inca, dan lain-lain, secara fisik sudah dapat dikatakan menghilang, dan hanya satu hal yang tersisa sampai hari ini, yaitu hasil kebudayaannya dan buah karya seniman-seniman mereka. Pyramida sebagai hasil seni arsitektur masih kokoh, sementara Ramses yang membangunnya sudah meninggal dunia lebih dari 30 abad yang lalu.
Karenanya, tidak berlebihan rasanya kalau politisi, ahli hukum,  dan sekaligus pilsuf terkenal Inggris, Sir Francis Bacon dalam risalah yang ditulisnya tahun 1605, The Advanced of Learning, mengatakan, ...We see, then, how far monuments of wit and learning are more durable than the monuments of powers or of the hands. For have not the verses of Homer countinued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllabe or letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been decayed and demolished. Yang jika saya terjemahkan secara agak romantis, lebih kurang berbunyi : ...Kemudian, kita menyaksikan, betapa hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dunia  kearifan [kebudayaan] lebih mampu bertahan ketimbang monumen kekuasaan dan hal lainnya yang ditegakkan dengan kekuatan. Sajak-sajak penyair Yunani kuno, Homerus, masih terus bertahan tanpa kehilangan satu huruf ataupun kata, meski sudah  ditulis berpuluh abad, karyanya terus dibaca meski sudah berusia hampir tiga milenia, sementara pada rentang waktu yang sama, entah sudah berapa istana yang telah fana, entah sudah berapa candi yang telah berganti, entah sudah berapa kubu yang menjadi debu, entah sudah berapa kota kehilangan raga, atau entah sudah berapa negara menghilang dari peta, bertubuh lalu rubuh, menabuh bunyi lalu sunyi, gagah lalu berpecah-belah, hilang musnah berkalang tanah
Jika kita telusuri sejarah dunia, akan semakin kita temukan kebenaran kata-kata Bacon di atas. Dinasti Shang, Dinasti Chou, atau Dinasti Chin, atau Han, boleh saja habis, Kong Fu Tze boleh saja mati, Lao Tze sah-sah saja binasa,  tapi kebudayaan yang mereka kembangkan di tepian sungai Yang Tze dan Hwang Ho, ajaran kongfusiusme dan kitab Tao Te Ching yang ditinggalkan, terus bertahan dalam kenisbian. Kerajaan Sriwijaya boleh musnah tapi Muara Takus tetap tegak di atas tanah, Dinasti Syailendra memang telah menghilang tapi Borobudur tetap saja menjulang. Tanah Sumeria boleh berlalu, tapi tulisan pakunya tetap diburu, Kerajaan Siak boleh saja punah tapi Astana Asserayah tetap gagah, Syah Jehan boleh tiada tapi Taz Mahal tetap berkilau di Agra. Para seniman Melayu masa lampau boleh saja telah ke alam baka, tapi nafas mereka tetap mendengus sampai hari ini, dalam karya seni dan budaya yang mereka tinggalkan. Sampai hari ini masih kita dengar nafas meraka dalam Sulalatus Salatin, dalam Gurindam Duabelas, dalam Bab al-Qawaid, dalam Hikayat Hang Tuah, dalam Muqaddima fi- Intizam, dalam Syair Ikan Terubuk, dalam Tuhfat al-Nafis, dalam Syair Siti Sianah, dalam rentak Zapin, dalam Drama Bangsawan, dalam Puisi-puisi, dalam Prosa-prosa, dalam suara gendang, dalam tingkah Marwas, dalam sayup suara Seruling, dalam gesek Biola yang menyayat, dalam suara Gambus, atau pada bunyi Gong yang menggaungkan gema. Karya-karya mereka terus hidup memberi tanda keberadaan, menyumbang bagi kemanusiaan,  membuat laluan bagi pemuliaan.
Begitulah hasil seni dan kebudayaan melahirkan sesuatu yang lebih kuat dalam melawan waktu. Karya budaya atau seni, baik itu sastra, seni arsitektur, seni lukis, tari, dan sebagainya, lebih mampu bertahan secara fisik dan spiritual, karena ianya dikerjakan dengan hati, dengan segenap akan budi, dan dengan itikat kemuliaan yang putih. Berangkat dari pemahaman itu, maka mari secara bersama kebudayaan Melayu ini kita bangun secara baik dan sungguh-sungguh, dengan hati, akal budi, dan itikat kemuliaan, agar kita tak berhutang kepada sejarah dan dapat membayar kewajiban kepada masa depan.
Begitulah, dan untuk mimpi kebudayaan ini, kita jangan pernah jera dan jerih menapaki pematang-pematang akalbudi, karena jalan kemuliaan itu panjang dan berliku. Mari kita harus ke rumah  kebudayaan yang pati, menjadi orang Riau yang jati, menjadi Melayu yang menderas menderu menebas jalan kemenangan hingga sampai ke matlamat kemuliaan, kemuliaan diri dan kemuliaan negeri. Mari!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar