Selasa, 18 Desember 2012
Senin, 17 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
Sabtu, 10 November 2012
Mengenang Idrus Tintin
Pukul 12 malam, tibe-tibe hp saye berdering, di layer muncul nama Idrus Tintin. Saye cepat-cet menekan tombol ‘yes’.
Idrus Tintin : Berkesenian itu same dengan kita
menjaga marwah.
Saye : Apekah perlu di zaman sekarang ini
marwah kite jage, Pak?
Idrus Tintin : Berbuat. Secara tidak langsung
berbuat dalam kesenian kita telah menjaga marwah. Marwah, harga diri perlu
ditegakkan. Itulah nilai manusia yang paling tinggi.
Saye : Pada zaman sekarang duit adalah
marwah.
Idrus Tintin : Jangan bicara tentang duit dulu,
berbuat saje, nanti kau akan menghasilkan duit. Berkesenian itu perlu proses,
kesenian tak same membuat telor mate sapi.
Saye : Mungkin itu zaman dulu Pak?
Idrus Tintin : Kite menentukan keadaan zaman. Kalau
kau berkesenian hanye memikirkan berape duit yang masuk, make tak usah
berkesenian, lebih baik kau jadi pedagang atau jadi peternak kambing; itu jelas
ade duit masuk. Berkesenian meletakkan kau punye harga diri tinggi dan kau
tidak akan dapat dibeli dengan duit. Berkesenian itu hati yang bicara. Seperti
kau bicara dengan aku sekarang ini; kau kan tak pernah berharap dapat duit mengeluarkan
kata-kata dari mulut kau tu kan?
Saye : Tapi nak berkesenian itu tak same
dengan berkata-kata Pak? Memproduksi kesenian butuh modal besar. Membuat
kostum, membayat crew, lampu, publikasi…
Idrus Tintin :
Tak usah kau menganjar aku berkesenian, tahulah aku semuanya. Kalau kau
berpikir seperti itu, tak akan pernah muncul kesenian di negeri ini.
Saye : Jangan merajuk Pak.
Idrus Tintin : Aku bukan merajuk,
pantang bagi aku bersurut ke belakang. Itulah yang diajarkan kesenian kepada
aku. Berkesenian itu adalah bersikap; tak bisa ditawar-tawar. Jangan kesenian
diperkecil maknanye dan berkesenian itu bukan saje di atas panggung dalam gedung
yang mewah, tapi di setiap tarikan nafas; kita berkesenian.
Saye : Permasalahannye Pak, dana untuk
kesenian itu banyak tersedia…
Idrus Tintin :
Memang banyak orang bercocok tanam dan menuai di ladang kesenian. Bagi seniman itu
bukan tujuan utama. Kalaulah boleh disandingkan, seniman itu same dengan nabi; nabi
tak pernah minta dibayar menyebarkan kebenaran, tapi kalau ada orang menyuguhkan
segelas air untuk menghilangkan dahaga ketika ia berdakwah, maka tidak salah ia
meneguk air itu.
Saye : Idealnye memang seperti itu agaknye…
Idrus Tintin : Tak pakai agak-agak. Nak berkesenian,
teguhkan sikap terlebih dahulu.
Saye : Itu dulu Pak, sekarang duit untuk
berkesenian itu bersepah, namun seniman hanye jadi sapi perahan.
Idrus Tintin : Kau bercakap tu pakai otak! Yang
menyuruh kalian jadi sapi tu siapa? Kalian yang mau kan? Kalau kalian tahu duit
kesenian itu banyak, kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian mau dibayar Rp
250.000 setelah pementasan? Kenapa kalian membiarkan orang-orang memanfaatkan
kesenian? Bergerak, buktikan bahwa kalian punye sikap, bukan sebaliknye kalian
diperbudak duit dan membiarkan orang membelasah duit kesenian itu. Kalau perlu
kalian datang ke kantor gubernur, DPRD, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan
instansi-instansi yang berhubungan dengan kesenian, cakap kepade mereka dengan
tangan terkepal: Jangan permainkan seniman!
Tibe-tibe
percakapan kami terputus. Saye terhenyak, beberape saat termenung. Akhirnya
saye sadar, dan teringat bahwa Pak Idrus telah meninggal dunia 9 tahun yang
lalu, tepatnye 14 Juli 2003. Terkenang saye semase Pak Idrus masih hidup;
dielah yang menggerakkan seniman menuju kantor Dinas PdK, mempertanyekan dana
kesenian yang katenye mau ‘disunat’. Pak Idrus juge mengibarkan perlawanan
diikuti beberapa orang seniman, ketika asap merajelele menutupi daerah ini.
Saye teringat ketike Pak Idrus memberikan duit Rp 30.000 dari honornye sebesar
Rp 100.000 kepade saye, setelah menjadi pembicara pelatihan teater yang
diadakan Sanggar Teater Pandan Sembilan (Norham Wahab). Aduhhh… Pak, kami
betul-betul kehilangan Bapak.
Pada tanggal 10
November, bertepatan hari lahir Idrus Tintin. Untuk mengenang almarhum,
beberapa kelompok teater yang difasilitasi Dewan Kesenian Riau, melakukan aksi
teater di jalan dan Laman Bujang Mat Syam, Bandar Serai. Dan tanggal 10
November ditetapkan sebagai Hari Teater Modern Riau.
Aksi teater ini
dilakukan dari pukul 10 pagi sampai pukul 12 malam. Adapun kelompok yang ikut
aksi teater ini, Sanjayo (Kampar Kiri), Teater Matan, Selembayung, Komunitas
Rumah Sunting, Riau Beraksi, Keletah Budak, Komunitas Kita (UIN), HMJ Teater
(STSR), Sagara (FIB Unilak), SMA N 5 Pekanbaru, SMKN I Pekanbaru.
Kamis, 08 November 2012
Hari Teater Modern Riau
Memperingati
sesuatu hal itu esensinya adalah membangkitkan semangat untuk berbuat lebih
lagi dari waktu-waktu yang telah dilewati. Untuk membangkitkan gairah teater di
Riau agar lebih baik dari hari kemarin diperlukan peristiwa tempat memulai
melangkah. Peristiwa itu bisa saja ‘disemburkan’ dari peristiwa monumental di
bidangnya, atau ‘dikokah’ dari tokoh yang bertungkuslumus atau tunak pada
aktivitasnya.
Almarhum Idrus
Tintin merupakan tokoh teater Riau yang sampai akhir ayatnya tetap mencintai
dunia teater. Pengorbanan Idrus Tintin untuk menghidupkan kelompok teaternya
sangatlah besar. Dari beberapa kawan bercerita bahwa Idrus Tintin sanggup menggadaikan
cincin emas istrinya untuk membiayai pementasn teater. Selain itu, Idrus Tintin
juga rela meninggalkan pekerjaan untuk tetap eksis di dunia teater. Dari
‘sentuhannya’ jugalah bermunculan tokoh-tokoh teater di Riau ini, ketika beliau
menjadi guru di SMAN 2 Pekanbaru. Pada zaman beliau mengajar di SMAN 2
Pekanbaru, siswa-siswa diwajibkan mementaskan teater 1 bulan sekali.
Kegelisahan
Idrus Tintin terhadap kehidupan teater di Riau menyebabkan dia harus terus
‘menghasut’ generasi muda Riau untuk bertahan di dunia teater. Teater bagi
Idrus Tintin adalah jalan hidup untuk menemukan kesejatian sebagai manusia. Hari-hari
Idrus Tintin adalah teater. Beliau tidak mau berpisah dengan teater walaupun
sekejap. Dan bilau berharap, generasi muda Riau yang memilih teater sebagai
jalan hidup, melakukan hal yang sama dengan dirinya. Teater itu adalah
kehidupan itu sendiri, dan harus dijalani dengan keseriusan.
Idrus Tintin
lahir di Rengat pada tanggal 10 November 1932. Masa kecilnya dihabiskan di
Tarempa, Kepulauan Riau. Pada tahun 1941, Idrus Tintin, ikut pindah bersama
keluarga ke Tanjungpinang. Di Tanjungpinang Idrus Tintin tinggal di Asrama Dai
Toa. Di asrama inilah Idrus Tintin mengenal dunia teater (drama). Kelompok
teater yang dipimpim Raja Khatijah menjadi laman ekspresi Idrus menekuni dunia
perannya. Bersama kawan-kawan mementaskan drama berbahasa Jepang di Gedung
Daerah Tanjungpinang.
Rasa cinta
terhadap dunia teater, Idrus Tintin harus berkali-kali pula berhenti bekerja.
Pada tahun 1957 jabatan Kepala Kantor Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh,
ditinggalkannya. Bersama Hanafi Harun, Idrus Tintin menderikan kelompaok
teater. Sebelumnya pada tahun 1952, Idrus Tintin mendirikan kelompok teater
Gurindra di Tarempa. Geliat teater bersama Hanafi Harun dibuktikan dengan
mementaskan pergelaran teater berkali-kali. Naskah drama yang dipentaskan
antara lain Buihdan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, Awal dan
Mira.
Jadi benar apa
yang dikatakan kebanyakan aktor, bahwa seorang aktor tidak akan pernah puas
berada di atas panggung. Mungkin hal yang sama dirasakan oleh Idrus Tintin.
Pada tahun 1959, Idrus Tintin bergabung dengan Galeb Husien. Pada tahun ini
mereka mementaskan teater berjudul Pasien, sutradara Galeb Husien dan Asisten
Sutradara Idrus Tintin dan dipentaskan depan kantor RRI Tanjungpinang.
Idrus Tintin
tidak pernah puas dengan ilmu teater yang dimiliki. Ia pun berkelana ke
Jakarta. Di Jakarta, Idrus Tintin bergabung dengan Montinggo Busye, dan ikut
berperan dalam pementasan berjudul Kereta Kencana. Beliau terus berkelana
sampai ke Solo dan Surabaya, mementaskan beberapa karya teater yang ia terlibat
di dalamnya.
Sejauh burung
terbang akan kembali ke sarangnya. Setelah lama mengarungi Pulau Jawa, pada
tahun 1960, Idrus Tintin kembali ke Rengat. Di Rengat Idrus Tintin menikah
dengan seorang gadis bernama Masni, dan mencoba bekerja di Kantor Penerangan
Rengat. Pada masa ini juga Idrus Tintin mendirikan kelompok teater. Bersama
Taufik Effendi Aria, Bakri, Rusdi Abduh menggelar beberapa karya
teaternya.
Di Pekanbaru,
Idrus Tintin terus berkarya. Pada Tahun 1973 naskah berjudul Harimau Tengkis
dipentaskan di Balai Dang Merdu. Idrus Tintin menjadi sutradara dalam
pementasan ni, dibantu BM Syamsuddin. Para aktor yang terlibat Faruq Alwi,
Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang, mendapat sambutan hangat dari penonton.
Dan pada tahun ini juga, Idrus Tintin berhenti menjadi karyawan penambangan
pasir.
Pada tahun 1974,
Idrus Tintin mendirikan kelompok Teater Bahana. Teater Bahana inilah
memunculkan tokoh-tokoh teater Riau berikutnya. Teater Bahana menjadi ikon
teater di Riau pada zamannya. Naskah-naskah luar negeri, terutama naskah
realis, menjadi bahan untuk dipentaskan di atas panggung oleh kelompok
ini.
Almarhum Idrus
Tintin juga selalu jadi rujukan oleh pekerja teater di Riau, baik sari segi
ketunakkan beliau di bidang teater maupun dari sikap beliau dalam keseharian. Maka
tidak salahlah, untuk membangkitkan semangat teater di Riau, hari kelahiran
Idrus Tintin yang jatuh pada tanggal 10 November dijadikan pancang sebagai Hari
Teater Moder Riau. Pada tahun 2011, Almarhum Idrus Tintin mendapat tanda
kehormatan dari pemerintah Indonesia berupa Bintang Budaya Parama Dharma. Tanda
kehormatan ini merupakan penghargaan pemerrintah terhadap tokoh-tokoh yang
berjuang di bidang kebudayaan.
Senin, 05 November 2012
Teater MATAN Menerima Anggota Baru
Teater merupakan
pekerjaan kolektif, sehingga membutuhkan orang-orang yang memiliki kepedulian
terhadap kebersamaan. Untuk itulah Teater MATAN yang dulu bernama Teater MARA
membuka penerimaan anggota baru. Diharapkan calon anggota baru ini dapat bekerjasama
dengan Teater MATAN, sehingga akan memperkokoh keberadaan Teater Matan di
kemudian hari.
Adapun
syarat-syarat untuk menjadi anggota Teater MATAN antara lain:
1.
Mengisi
formulir/borang pendaftaran.
2.
Menyerahkan
foto berwarna ukuran 4 R.
3.
Siap
berdedikasi untuk Teater MATAN.
4.
Tidak
menjadi anggota teater lain.
5.
Bersedia
mengikuti proses latihan yang ditentukan Teater MATAN.
6.
Mampu
menjaga nama baik Teater MATAN.
7.
Usia
maksimal 27 tahun.
8.
Dan
syrat-syarat lain dapat ditanyakan pada saat pendaftaran.
Pendaftran dapat dilakukan di kedai “Terselet”
Dewan Kesenian Riau, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji, Jalan Jendral Sudirman,
Pekanbaru, Riau.
Kontak persont:
081275188111 (Hang Kafrawi)
081365644050 (Monda Gianes)
081270744014 (Deni Afriadi)
Sekretariat Teater MATAN:
Jalan Parit Indah, Perumahan Permata
Ratu, Blok K No. 5, Pekanbaru Riau
e_mail: teater_matan@yahoo.com
blog: teatermatan.blogspot.com
Facebook: Teater Matan
Sabtu, 03 November 2012
KEBUDAYAAN: ULTIMUM REMEDIUM
Disampaikan Sempena Peringatan
Bulan Bahasa
Universitas Lancang
Kuning
Izinkan
saya memulai pidato kebudayaan ini, dengan mengutip pandangan seorang tokoh
eksistensialis yang terkenal, yaitu F. Nietze. Pada tahun 1913, Ia berkata
dengan keyakinan yang penuh: bahwa sebuah
kemajuan dan peradaban bagaikan puncak piramida, untuk itu diperlukan sebuah
pondasi yang tepat, dan pondasi yang tepat dan kuat itu adalah kebudayaan.
Kini ucapan Nietze hampir berumur
seratus tahun, dan kita menemukan kebenarannya dalam keseharian hidup di semua
belahan dunia. Pada penghujung millennium kedua dan pangkal millennium ketiga,
kita sedang hidup dalam kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,
dalam kegagahan demokrasi, serta dalam kemewahan bidang fisik material,
khususnya di negara-negara maju.
Kecanggihan teknologi informasi
ditandainya oleh mudahnya kita berhubungan dengan dunia luar. Dalam era
kesejagatan [globalisasi] ini, menjengah kawasan atau negara lain semudah kita
membuka pintu dan jendela, dan kita dapat bertegur sapa setiap saat, baik untuk
saling berbagi cinta atau pedih nestapa. Kegagahan demokrasi pula, pada hari
ini mengantarkan umat manusia pada sebuah kebebasan yang maksimal, bahkan sampai
membuat manusia dapat memainkan egonya, yang tak jarang berpotensi melukai
makna kebebasan itu sendiri. Sementara kemewahan fisik material, ditandai
dengan terjadinya peningkatan pendapatan yang tajam di Negara-negara tertentu,
seperti Jepang, Eropa, Korea, Singapura, dan lain sebagainya.
Tapi puncak-puncak kemajuan laksana
ujung piramida itu, ternyata tidak sedikit menimbulkan persoalan. Kemajuan yang
tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh itu ternyata menyimpan kekumuhan spiritual
dalam kecanggihan materialnya, menumpuk kerapuhan jiwa dalam kegagahan
kebebasannya, dan menggunungkan kemiskinan hati dalam kemewahan fisik yang
tiada terperi.
Kemiskinan hati, kekumuhan spiritual
dan kerapuhan jiwa itu, terlihat dengan jelas dari banyaknya angka bunuh diri di
negara maju, dari munculnya tindakan-tindakan ekonomi politik yang mengabaikan
kemanusiaan, dari sikap pribadi yang mengabaikan akalbudi, sehingga mimpi
tentang sebuah dunia yang damai, berubah menjadi dunia yang kejam, bengis, dan
intoleran. Ini dunia kita saat ini, sebuah dunia yang secara sadar atau tidak,
sedang bergerak dari terminal kasih ke terminal pedih, dari rumah cinta ke
rumah luka. Sebuah dunia yang berpindah dari taman sayang ke ceruk jurang.
Kesadaran perlunya pondasi yang kuat
dalam menopang kemajuan agar kemajuan tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan,
maka sejak penghujung abad dua puluh sampai abad ini, manusia berduyun-duyun
mencari jalan keluhuran, mencoba menemukan dan mencari tempat berpegang agar
tak rapuh dalam gagah, agar tak miskin dalam kekayaan.
Dalam bukunya Megatrend 2000, J. Naisbitt dan
Patricia Aburdane, menyatakan bahwa puncak pencarian manusia terhadap dunia
spiritual akhirnya sampai pada dua hal, yaitu agama dan kebudayaan. Agama dan
kebudayaan menawarkan hal yang sama, yaitu kemuliaan manusia atau bagaimana
menjadi manusia yang mulia. Bedanya, agama menawarkan rumah spiritual yang
damai dengan konsep ilahiah [apapun agamanya], dan kebudayaan menawarkan
keteduhan dan keseimbangan dari hasil perasan olah pikir dan buah akalbudi. Pada berbagai kawasan, khususnya Eropa, sering
dijadikan pilihan utama, karena agama bersifat dogmatis dan tidak memberikan
peluang bagi “manuver maksimal” kreativitas, sebaliknya kebudayaan memberikan
ruang keliaran tafsir. Dalam konsep agama, manusia adalah “hamba” [client] bagi
kehendak langit, sementara dalam kebudayaan, manusia adalah “tuan” [patron]
bagi ikhtiar yang dilakukannya.
Mengapa
kebudayaan? Sejak zaman berzaman kebudayaan merupakan sebuah merupakan sumber kekuatan
yang tiada taranya, dalam membentuk peradaban manusia. Dia, kebudayaan, sejak
masa yang paling awal telah membentuk sebuah tatanan hubungan antar manusia,
antar puak, antar kaum, bahkan antar bangsa. Kebudayaan jugalah yang
menyebabkan munculnya berbagai perbedaan sistim di atas dunia, baik sistim
politik, sistim perekonomian, sistim sosial, sistim kekerabatan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaanlah yang membentuk politik dan bukan
politik yang membentuk kebudayaan. Munculnya berbagai perbedaan dalam sistim pengaturan
dan penerajuan antara sebuah negara yang satu dengan negara yang lain,
sesungguhnya disebabkan oleh berbedanya kebudayaan yang mengasuh masing-masing
negara.
Sistim demokrasi Amerika dan Eropa bukanlah tumbuh dengan
sendirinya, melainkan ia berpunca dari tradisi Hellenistik yang bersumber pada
kearifan Yunani Kuno. Budaya berfilsafat masyarakat Yunani Kuno yang selalu
memberi ruang bagi munculnya beragam ide, konsep, dan pemahaman, kemudian
menjadi muasal munculnya sistim demokrasi yang berkembang hingga hari ini.
Tradisi sportifitas kaum
Samurai dan ajaran Bushido juga menjadi landasan spiritual dalam pembentukan
etika politik dan ekonomi Jepang. Kita tahu bahwa Jepang pernah luluh-lantak
pada perang dunia II, tapi dengan asuhan budaya yang kuat, yang selalu
mengajarkan kerja keras dan kedisiplinan
itulah, Jepang, sebuah negara yang kecil, menjadi negara maju. Karenanya
kita kemudian menyaksikan bagaimana kiprah Jepang di seantero dunia. Kemana
pergi menjadi, kemana menjelang terbilang, kemana berusaha di situ mereka
berjaya.
Empirium
Melayu, sejak abad ke-7, juga tumbuh dan besar
karena asuhan budaya yang kuat dan karena kesanggupan orang Melayu masa
lampau untuk selalu hidup sejalan dengan pesan budaya Melayu itu sendiri. Dengan tradisi kesetiaan yang timbal balik
antara raja dengan rakyat, dengan tradisi kejujuran, keberanian, selalu berbuat
baik tapi sanggup bertumpah darah demi marwah, dengan tradisi keberanian, dan
dengan ketaatan yang kuat kepada agama yang dianutnya, maka wangsa Melayu tercatat
sebagai satu dari sedikit puak yang mampu menjejerkan imperium yang besar. Ada
sejumlah kerajaan besar yang tumbuh di masa lampau yang kini sisa-sisanya masih
bisa kita lihat bermetamorfosis menjadi negara-negara yang diperintah oleh
orang Melayu. Bahkan pada masa lampau, kawasan-kawasan Melayu sempat menjadi
pusat perdagangan Internasional.
Kebudayaan
dengan segala kearifan yang terkandung di dalamnya, memberikan inspirasi dan sekaligus kekuatan
untuk terus dapat tumbuh dan tumbuh. Tak sedikit bangsa di dunia ini pernah
hampir punah, tapi dengan budaya yang kuat mereka bangkit kembali. Jerman
pernah kacau balau, tapi budaya dan tradisi Bavaria yang mengajarkan keuletan
membuat mereka bangkit, Cina pernah guncang secara politik tapi mereka menjadi
kuat kembali ketika berpegang pada kebudayaan. Tibet adalah negara kecil, tapi
keteguhan warganya berpegang pada tradisi, membuat demikian kuat, dan
sebaliknya tak sedikit pula kawasan yang tak mampu meneguhkan jatidiri
kebudayaan menjadi “lenyap” dalam “keberadaannya”.
Sebuah kawasan Melayu memberikan
contoh yang baik kepada kita. Melayu Betawi adalah kecil secara
kuantitas dan terdesak secara fisik dalam gelombang urbanisasi Jakarta. Tapi
gemuruh Jakarta tak membuat Melayu Betawi Hilang, karena ada unsur kebudayaan
Betawi yang secara total menguasai Jakarta, dan bahkan Indonesia, yaitu Bahasa
Betawi. Karena kebudayaan itu, Betawi tetap eksis dan mampu menjadi bagian
semua orang. Dengan kata lain secara “Spiritual” Betawi melalui bahasa dan
kebudayaannya, menjadi lebih besar dari
jumlahnya sendiri. Kekuatan
bahasa Melayu Betawi membuktikan
ucapan bijak seorang penulis besar sekaligus filsuf, Baron de Montesqieu,
yang mengatakan: Andai sebuah bangsa
hancur namun tidak kehilangan bahasanya, maka bangsa itu masih memiliki harapan.
Benang merah dari fakta-fakta di atas dengan kita adalah, bahwa dengan kebudayaan yang kuat dan
keberanian untuk berpegang pada nilai-nilai budaya Melayu yang luhur, maka kita
akan dapat menghadapi tantangan yang sebesar apapun. Riau boleh kecil secara kewilayahan dan populasi, tapi jika
penduduknya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaannya, menjaga bahasanya, maka kita akan selalu
kuat menghadapi segala tantangan.
Awal
kehancuran sebuah negeri adalah ketika anak negeri itu mencoba untuk menjadi
orang lain yang bukan dirinya. Amerika menjadi maju karena mereka berjuang
menjadi orang Amerika, orang Jepang maju karena mereka berusaha tetap menjadi
orang Jepang, Orang Cina maju karena mereka tetap menjadi orang Cina secara
kebudayaan. Dan kalau orang Melayu mau maju, maka jadilah orang Melayu secara
kebudayaan. Sebuah peradaban,
kata sejarawan dan filsuf Arnold Toynbee, tidak akan pernah runduh, jika
peradaban itu tidak merusak dirinya sendiri, jika tidak dirusak dari dalam.
Karena kuatnya kebudayaan
dalam membentuk karakter dan spirit manusia dalam konteks penguatan eksistensi
maka kebudayaan harus selalu dijaga dan nilainya dijadilkan sebagai alas dari
tindakan dan perbuatan. Negeri yang
memelihara kebudayaan, seperti laut yang memiliki gelombang besar yang
konsisten. Laut dengan gelombang besar, akan selalu melebar, karena setiap hari
gelombang itu meruntuhkan tebing inci per inci.
Untuk bisa menjadi gelombang besar
dalam arus peradaban dunia, kita orang Riau, orang Melayu, harus melakukan
tindakan kebudayaan yang lebih subtantif, harus menjadi orang Melayu yang
sebenarnya. Menjadi Melayu yang sebenarnya, tidaklah cukup dengan hanya
beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu, tapi juga harus
memiliki sifat Melayu yang lain seperti keberanian, kedermawanan,
kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kegigihan. Hanya itulah satu-satunya jalan
untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, untuk menuju matlamat kemuliaan pengabdian kepada negeri
Kekuatan lain dari ranah kebudayaan
adalah kebudayaan secara nyata telah memberikan pewarisan yang relatif
lebih abadi ketimbang bidang lain. Kemampuan hasil-hasil budaya untuk bertahan
melebihi zaman, kekuatan politik, dan peristiwa-peristiwa lain yang
memunculkannya. Bangsa Aztec, Maya, Mesir Kuno, Babylonia, Inca, dan lain-lain,
secara fisik sudah dapat dikatakan menghilang, dan hanya satu hal yang tersisa
sampai hari ini, yaitu hasil kebudayaannya dan buah karya seniman-seniman
mereka. Pyramida sebagai hasil seni arsitektur masih kokoh, sementara Ramses
yang membangunnya sudah meninggal dunia lebih dari 30 abad yang lalu.
Karenanya,
tidak berlebihan rasanya kalau politisi, ahli hukum, dan sekaligus pilsuf terkenal Inggris, Sir
Francis Bacon dalam risalah yang ditulisnya tahun 1605, The Advanced of Learning, mengatakan, ...We see, then, how far monuments of wit and learning are more durable
than the monuments of powers or of the hands. For have not the verses of Homer
countinued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllabe or
letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been
decayed and demolished. Yang jika saya terjemahkan secara agak romantis,
lebih kurang berbunyi : ...Kemudian, kita
menyaksikan, betapa hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dunia kearifan [kebudayaan] lebih mampu bertahan
ketimbang monumen kekuasaan dan hal lainnya yang ditegakkan dengan kekuatan.
Sajak-sajak penyair Yunani kuno, Homerus, masih terus bertahan tanpa kehilangan
satu huruf ataupun kata, meski sudah
ditulis berpuluh abad, karyanya terus dibaca meski sudah berusia hampir
tiga milenia, sementara pada rentang waktu yang sama, entah sudah berapa istana
yang telah fana, entah sudah berapa candi yang telah berganti, entah sudah
berapa kubu yang menjadi debu, entah sudah berapa kota kehilangan raga, atau
entah sudah berapa negara menghilang dari peta, bertubuh lalu rubuh, menabuh
bunyi lalu sunyi, gagah lalu berpecah-belah, hilang musnah berkalang tanah
Jika kita
telusuri sejarah dunia, akan semakin kita temukan kebenaran kata-kata Bacon di
atas. Dinasti Shang, Dinasti Chou, atau Dinasti Chin, atau Han, boleh saja
habis, Kong Fu Tze boleh saja mati, Lao Tze sah-sah saja binasa, tapi kebudayaan yang mereka kembangkan di
tepian sungai Yang Tze dan Hwang Ho, ajaran kongfusiusme dan kitab Tao Te Ching
yang ditinggalkan, terus bertahan dalam kenisbian. Kerajaan Sriwijaya boleh
musnah tapi Muara Takus tetap tegak di atas tanah, Dinasti Syailendra memang
telah menghilang tapi Borobudur tetap saja menjulang. Tanah Sumeria boleh
berlalu, tapi tulisan pakunya tetap diburu, Kerajaan Siak boleh saja punah tapi
Astana Asserayah tetap gagah, Syah Jehan boleh tiada tapi Taz Mahal tetap
berkilau di Agra. Para seniman Melayu masa lampau boleh saja telah ke alam
baka, tapi nafas mereka tetap mendengus sampai hari ini, dalam karya seni dan
budaya yang mereka tinggalkan. Sampai hari ini masih kita dengar nafas meraka
dalam Sulalatus Salatin, dalam Gurindam Duabelas, dalam Bab al-Qawaid, dalam
Hikayat Hang Tuah, dalam Muqaddima fi- Intizam, dalam Syair Ikan Terubuk, dalam
Tuhfat al-Nafis, dalam Syair Siti Sianah, dalam rentak Zapin, dalam Drama
Bangsawan, dalam Puisi-puisi, dalam Prosa-prosa, dalam suara gendang, dalam
tingkah Marwas, dalam sayup suara Seruling, dalam gesek Biola yang menyayat,
dalam suara Gambus, atau pada bunyi Gong yang menggaungkan gema. Karya-karya
mereka terus hidup memberi tanda keberadaan, menyumbang bagi kemanusiaan, membuat laluan bagi pemuliaan.
Begitulah
hasil seni dan kebudayaan melahirkan sesuatu yang lebih kuat dalam melawan
waktu. Karya budaya atau seni, baik itu sastra, seni arsitektur, seni lukis,
tari, dan sebagainya, lebih mampu bertahan secara fisik dan spiritual, karena
ianya dikerjakan dengan hati, dengan segenap akan budi, dan dengan itikat
kemuliaan yang putih. Berangkat dari pemahaman itu, maka mari secara bersama
kebudayaan Melayu ini kita bangun secara baik dan sungguh-sungguh, dengan hati,
akal budi, dan itikat kemuliaan, agar kita tak berhutang kepada sejarah dan
dapat membayar kewajiban kepada masa depan.
Begitulah, dan untuk mimpi
kebudayaan ini, kita jangan pernah jera dan jerih menapaki
pematang-pematang akalbudi,
karena jalan kemuliaan itu panjang dan berliku. Mari kita harus ke
rumah kebudayaan yang pati, menjadi orang Riau yang jati,
menjadi Melayu yang menderas menderu menebas jalan kemenangan hingga sampai ke
matlamat kemuliaan, kemuliaan diri dan kemuliaan negeri. Mari!
Kamis, 25 Oktober 2012
Nilai Nasionalisme dan Kebangsaan Dalam Budaya Lokal
Karya seni
dihasilkan dari pengamatan para seniman atas peristiwa yang terjadi di
lingkungannya. Peristiwa-peristiwa tersebut diolah melalui pikiran dan
perasaan, sehingga karya seni yang dihasilkan merupakan respon seniman terhadap
lingkungannya. Para pakar seni menyatakan, bahwa karya seni merupakan semangat
zaman dimana karya seni itu dihasilkan.
Di Provinsi
Riau, karya seni sejak dari dulu, merupakan media untuk menyampaikan pesa
kepada masyarakat. Ini bisa dilihat dari seni petunjukan tradisional di Riau.
Teater tradisional Makyong misalnya, selain sebagai hiburan, di dalamnya juga
banyak memuat pesan-pesan berbakti kepada negeri, saling membantu satu dengan
yang lainnya, berbuat baik dan pesan-pesan moral lainnya. Pesan-pesan yang disampaikan dalam karya seni
tidak memaksa. Penikmat diajak berpikir untuk memilah mana yang baik dan mana
yang buruk berdasarkan kultur mereka. Para dasarnya, karya seni merupakan
tiruan dari kenyataan yang terjadi dan sebagai santapan rohani untuk mencintai
negeri ini lebih dalam lagi.
Untuk merekam
sekaligus menyosialisasikan rasa nasionalisme dan kebangsaan melalui seni
pertunjukan, Badan Kebangsaan Politik Lingkungan Masyarakat (Kesbangpollimas)
Provinsi Riau menggelar kegiatan dengan tema Sosialisasi Nasionalisme dan
Kebangsaan Melalui pertunjukan Seni Buadaya Melayu 2012. Dalam kegiatan ini
ditampilkan bermacam karya seni pertunjukan yang berasal dari kebupaten/kota di
Provinsi Riau.
Pegelaran karya
seni dalam rangka sosialisasi ini berlangsung dua kali pergelaran. Pergelaran
pertama pada tanggal 20 Okotober 2012 yang lalu. Pada pergelaran pertama, sebanyak enam perwakilan seni kabupaten,
ditambah satu mewakili Provinsi Riau, dipegelarkan di Laman Bujang Mat Syam,
Bandar Seni Raja Ali Haji. Pergelaran kedua akan berlangsung pada tanggal 28
Oktober nanti.
Pada tanggal 20
Oktober kemarin, bertepatan hari Sabtu, pegelaran seni pertunjukan dalam rangka
sosialisasi nasionalisme dan kebangsaan yang ditaja Badan Kesbangpollimas ini,
dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh perwakilan Kabupaten Kampar. Tarian
berjudul Bogagajo (Bujang Gateh Jo Gadih Jongket) mengisahkan senda gurau
pemuda-pemudi kampung dalam mengisi waktu sengang mereka setelah menjalankan
pekerjaan. Tarian ini memperlihatkan bahwa pemuda-pemudi harus saling berbagi
untuk keharmonisan kampung. Bukankah negeri ini dibangun oleh pemuda-pemuda
yang saling menimbang rasa.
Pementasan kedua
dipegelarkan tarian berjudul Cegak Latah dari Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).
Tarian ini menceritakan perjuangan kaum muda dalam mempertahankan tanah mereka
dari serangan musuh (penjajah). Dengan berpijak tarian tardisi Rohul, tarian
ini memperlihatkan ketegaran pribumi berjuang dengan sekuat tenaga, sehingga
negeri tercinta ini dapat berdiri dengan kokohnya.
Tiga pementasan
teater berturut-turut dipegelarkan. Dari Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu),
membentangkan pementasan teater berjudul ‘Arti Penting Kesehatan’. Dalam
pementasan ini memperjelaskan bahwa kesehatan merupakan faktor terpenting untuk
membangun negeri ini. Untuk itulah, pementasan ini ingin mengokohkan bahwa
generasi muda harus mengisi aktivitas mereka dengan pikiran yang jernih,
sehingga mereka tidak tersesat dalam pergaulan yang dapat merugikan mereka
sendiri.
Kabupaten
Indragiri Hilir (Inhil) mementaskan kerya seni teater berjudul Mahkota
Kebudayaan. Dalam cerita ini, pesan yang disampaikan bahwa kebudayaan lokal
memiliki kekuatan untuk mencintai negeri ini lebih dalam lagi. Sementara itu
Kabupaten Pelalawan mementaskan teater berjudul terdampar, yang mengisahkan
keteguhan prajurit mempertahankan tanah kelahiran mereka, walaupun penderitaan
mendera mereka dalam perjuangan.
Dua garapan
musik, yaitu dari Kabupaten Kuansing, dan perwakilan Provinsi Riau. Kedua
garapan musik ini menguatkan bahwa kekuatan lokalitas (daerah Riau) mampu
diolah menjadi kekuatan masa kini dalam mengisi kehidupan dan membangkitkan
semangat mencitai negeri.
Pada tanggal 28
Oktober nanti, akan dipegelarkan enam seni pertunjukan yang berasal dari enam
kabupaten/kota Provinsi Riau. Keenam kabupaten/kota itu, Kota Pekanbaru,
Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, dan
Kabupaten Kepulauan Meranti.
Seni Pertunjukan dan Nilai Kebangsaan
Karya seni
merupakan media untuk menyampaikan pesan. Dengan karya seni, pesan-pesan yang
disampai dibungkus dengan nilai-nilai estetis atau keindahan. Maka jadilah
pesan yang diamanatkan dalam karya seni terasa tidak mengurui. Pesan dalam
karya seni haruslah ditafsirkan oleh penikmatnya.
Baca Selanjutnya >>
Di zaman modern
ini, menurut pakar futuristik, ada dua yang menjadi identitas bangsa atau
wilayah. Pertama, agama dan kedua adalah seni. Di Provinsi Riau, masing-masing
daerah atau kabupaten memiliki kekhasan hasil karya seni. Hasil karya seni yang
ada di Riau dapat dijadikan media penyampai pesan oleh pemerintah.
Untuk
menyampaikan pesan ke tengah masyarakat inilah, Badan Kebangsaan Politik
Lingkungan Masyarakat (Kesbangpollimas) Provinsi Riau menggelar Sosialisasi
Nesional dan Kebangsaan Melalui Seni dan Budaya Melayu 2012. Pergelaran yang
berlangsung pada tanggal 20 Oktober 2012 (malam Ahad), menampilkan pergelaran
kesenian dari masing-masing daerah kabupaten/kota se Provinsi Riau. Pergelaran
ini berlangsung di Laman Bujang Mat Syam, Bandar Seni Raja Ali Haji.
Pergelaran seni
pertunjukan yang dibungkus dengan tema Sosialisasi Nasionalise dan Kebangsaan
ini, menampilkan bermacam seni pertunjukan. Kabupaten Kuansing, menampilkan
karya musik yang berjudul Malang Tibo di Badan In D. Dalam sinopsis yang
dibacakan oleh MC, bahwa garapan ini berpijak dari tradisi yang ada di
Kuansing. Garapan yang digarap oleh Miko, dan didukung 10 pemian musik ini
bercerita tentang nasib yang mendera setiap manusia. Permasalahan manusia ini, dapat
diatasai apabila manusia itu menyadari bahwa kerja keras merupakan solusi
menyelesaikan masalah. Musik yang dimulai dengan alunan mendayu, lalu di tengah
keras dan diakhiri dengan alunan mendayu kembali, menyiratkan bahwa hidup manusia seperti gelombang.
Kabupaten Rokan
Hulu, menyuguhkan karya tari yang berjudul Cegak Latah. Karya tari ini
bercerita tentang perjuangan orang kampung mempertahan tanah kelahiran dari
penjajah. Dengan sekuat tenaga dan saling membantu mengusir penjajah. Garapan
yang ditukangi oleh Erni Lestari ini, sangat energik. Gerakan-gerakan
berpariasi dengan komposisi yang harmonis, ditambah musik yang apik, menjadikan
karya tari ini memikat dinaikmati.
Sementara itu,
Kabupaten Kampar mengangkat seni tari berjudul Bugagajo (Bujang Gateh Jo Gadih
Jongket). Karya tari yang dikemas oleh Elfhera Rosawati ini, mengisahkan
bagaimana pemuda-pemudi bersenda gurau dalam mengisi kehidupan ini setelah selesai
menjalankan aktivitas sehari-hari. Didukung 5 penari dan 5 pemusik, dalam
garapan tari ini, Elfhera mencoba mengeksplorasi kehidupan pemuda dan pemudi
kampung dengan kegembiraan.
Kabupaten
Indragiri Hilir mementaskan teater garapan Deni Afriadi. Pementasan teater
berdurasi 25 menit ini, bercerita bagaimana kebudayaan asing menjadi ‘virus’
mematikan kebudayaan lokal. Mengambil suasana kerajaan, karya teater yang
berjudul Mahkota Kebudayaan, dimulai dengan kegelisahan raja menyaksikan
generasi muda di kerajaannya kehilangan identitas. Kegelisahan itu
bertambah-tambah, ketika menyaksikan putrinya sendiri sudah bergaya seperti
remaja bangsa asing. Pementasan ini ditutup dengan harus turun ke masyarakat
menyosialisasikan kebudayaan tempatan.
Dua kabupaten
lainnya, yaitu Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, menyuguhkan pementasan
teater. Kabupaten Pelalawan menggelar pementasan teater berjudul terdampar,
Pementasan teater ini mengisahkan perjuangan prajurit-prajurit yang terdampar
di hutan, namun semangat untuk mempertahankan negeri ini, tetap membara.
Sementara itu, Kabupaten Indragiri Hulu, mengangkat teater berjudul Arti
Penting Hidup Sehat, mengabarkan bahwa dari keluargalah memancarkan
keharmonisan bernegara.
Pementasan
Sosialisasi Nasionalisme dan Kebangsaan Melalui Pertunjukan Seni dan Melayu
2012 yang ditaja Badan Kesbangpollimas ini, ditutup dengan pementasan kelompok
musik Belacan Aromatic yang mewakili Provisni Riau. Sebanyak tiga karya musik
yang ditukangi Zalfandri alias Matrock dipegelarkan. Pementasan musik ini mampu
mengkolaborasikan musik tradisi dengan musik kekinian.
Minggu, 14 Oktober 2012
‘Menyeru’ Ediruslan Pe Amanriza
“Pada satu masa
nanti, ada orang tua bongkok menggunakan tongkat, berdiri di gapura Bandar
Serai dan menyaksikan aktivitas kesenian yang tidak pernah berhenti di sini.
Setelah menyaksikan aktivitas kesenian, aku pun akan pergi. Kalau kalian
melihat orang tua itu, itulah aku di masa yang akan datang,” ucap Ediruslan Pe
Amanriza kepada Al Azhar. Kalimat Almarhum Ediruslan Pe Amanriza ini
disampaikan Al Azhar pada acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Seni
Raja Ali Haji tanggal 3 Oktober yang lalu. Tanggal 3 Oktober, tepatnya 11 tahun
yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk
mengenang beliau, beberapa seniman berinisiatif menggelar haul Ediruslan Pe
Amanriza ini.
Kalimat
Ediruslan Pe Amanriza yang meluncur melalui mulut Al Azhar pada malam itu,
memperlihatkan bahwa Ediruslan Pe Amanriza tidak mau disanjung atas kerjanya
untuk kesenian. Melihat kesenian tumbuh dan dilakukan oleh generasi muda,
merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau. Kesenian merupakan jalan ‘suci’
untuk menjaga tanah ini. Dengan kesenian, semangat terhadap daerah ini terus
dikumandangkan.
“Kalau kalian
nantinya melihat orang tua berusia 80-an, menggunakan tongkat. Dia memandang
dan menyaksikan aktivitas kesenian di Bandar Serai ini, kemudian dia pergi,
mungkin itulah penampakan Ediruslan,” ujar Al Azhar sambil tersenyum, namun
matanya berkaca-kaca. Sesekali tangannya mengusap air mata yang mau tumpah ke
pipinya.
Mengenang
Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Serai, tepatnya di ‘Kedai Terselet’ (nama kedai
yang selalu diucapkan seniman-seniman yang sering bertandang di kedai itu),
walaupun sederhana, namun terasa hikmat dan dapat membongkar memori-memori
kenangan bersama Ediruslan semasa hidupnya.
Pada malam itu,
sebelum membaca puisi Ediruslan, Ammesa Aryana, salah seorang ‘saksi sejarah’
di Dewan Kesenian Riau, bercerita pengalamannya bersama Almarhum. “Bang Edi tu,
necis orangnye. Bagi Bang Edi, kalau ye, kalau tidak, tidak,” ujar Ammesa
dengan dialek Melayu yang kental. Ammesa membaca dua puisi Ediruslan dari
kumpulan sajak ‘Surat-surat Untuk GN’.
Hadir untuk
mengenang Almarhum Ediruslan Pe Amanriza, penyair TM Sum membacakan puisi karya
Ediruslan dan puisi diciptakan khusus untuk almarhum. TM Sum merupakan
mahasiswa Ediruslan di Fakultas Sastra sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selanjutnya,
Dewi MN, penyair perempuan Riau, membaca fragman roman Panggil Aku Sakai, karya
almarhum.
Al Azhar, orang
yang sangat dekat dengan Ediruslan, bercerita mengenai Ediruslan dan kesenian.
Pada pengujung cerita Al Azhar, hujan pun turun. Namun kegiatan terus
berlangsung. Wakil Gubernur Riau, Mambang Mit dan Chaidir hadir pada acara itu,
ikut duduk lesehan di ‘Kedai Terselet’. Hujan semakin lebat, dan listrik pun
mati, namun kegiatan tetap berlangsung. Semakin hitmat, tiada senjang lagi,
Wakil Gubernur, Mambang Mit, menyatu dengan seniman-seniman pada malam itu.
Benie Riaw
menyanyikan lagu ‘Panggil Aku Sakai’, Syaukani al Karim, Fedli Aziz , Yoserizal
Zen, ikut membacakan puisi-puisi almarhum, walaupun hujan semakin deras.
Acara mengenang
Ediruslan Pe Amanriza, juga diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, Unilak pada pagi
harinya. Mahasiswa-mahasiswa antusias membacakan karya-karya Almahum Ediruslan
Pe Amanriza. Dekan Fakultas Ilmu Buadaya, Dr. Junaidi, S.S, M.Hum, mengatakan
bahwa kegiatan mengenang seperti ini harus dilaksanakan terus. “Dengan
mengenang tokoh-tokoh terdahulu, kita dapat membongkar semangat yang ada dari
orang yang terdahulu untuk diterapkan pada hari ini,” ujar Junaidi.
Di FIB Unilak,
sastrawan Riau, Taufik Ikram Jamil, menjelaskan bahwa Ediruslan dikenang, bukan
sebagai tokoh politik, tapi beliau dikenang sebagai sastrawan dan budayawan.
“Karena beliau berkarya di dunia sastra, kita mengenang beliau pada hari ini,”
kata Tuafik Ikram Jamil disambut tepuk tangan mahasiswa.
“Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza”
Pada tanggal 3
Okotober 2001, 11 tahun yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza, budayawan Riau itu
menghembuskan nafas terakhirnya. Puisinya berjudul ‘Berpisah Jua Akhirnya Kita
Jakarta’, dibacakan ketika jenazah beliau disemayamkan di Dewan Kesenian Riau,
Bandar Seni Raja Ali Haji. Hadirin yang menyaksikan peristiwa itu, tak mampu
membendung air mata. Bukan sedih berpisah dengan Jakarta, tapi sedih
menyaksikan sesosok tubuh kaku yang terbaring di hadapan mereka. Sosok seniman
aktif memperjuangkan kesenian di Riau ini telah pergi mendahului.
Ediruslan Pe
Amanriza lahir di Bagansiapi-api, pada tanggal 17 Agustus 1947. Semasa
hidupnya, selain menulis karya sastra, beliau juga dikenal seorang tokoh teater
di Riau. Sebagai seorang seniman, beliau juga memperjuangkan nasib para seniman
dengan menjadi (PLT) Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR) masa khidmat
1998-2003. Pada 2001 beliau terpilih menjadi Ketua Umum DKR untuk masa khidmat
2001-2006. Namun belum genap setahun beliau menjabat Ketua Umum DKR, beliau
telah kembali kepada Tuhan Sang Pencipta. Jasa beliau jugalah, aktivitas
kebudayaan dan kesenian menempati Purna MTQ dan berinama Bandar Seni Raja Ali
Haji (Bandar Serai).
Karya-karya
sastra Ediruslan Pe Amanriza, seperti novel, selalu menjadi yang terbaik di
tingkat nasional. Roman ‘Nakhoda Koyan’ memanangi sayembara penulisan roman
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1977. Pada tahun 1989, roman berjudul
‘Panggil Aku Sakai’ keluar sebagai juara I sayembara yang ditaja DKJ. Roman
‘Dikalahkan Sangsapurba’ juga meraih yang terbaik pada tahun 2000.
Banyak buku yang
telah dihasilkan oleh Ediruslan Pe Amanriza, baik itu karya satra maupun
esei-esei budaya. Ediruslan juga dikenal dikalangan jurnalistik. Menjadi
wartawan baik untuk media yang terbit di Jakarta maupun di daerah. Dengan
semangat tinggi di bidang jurnalitik, beliau mendirikan beberapa tabloid dan
tabloid yang masih eksis sampai sekarang hasil sentuhan pemikirannya adalah
Tabloid Azam.
Di bidang
politik, Ediruslan pernah menjadi pengurus Partai Golkar dan pada tahun 1999,
beliau terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Riau. Di bidang
pendidikan, Beliau pernah menjadi dosen di Fakultas Sastra, sekarang Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning. Beliau juga tidak pernah berhenti
menyemangati generasi muda untuk terus berkarya di bidang seni.
Kini Ediruslan
Pe Amanriza telah tiada, namun segala jasanya jangan sampai hilang begitu saja.
Untuk mengenang Beliau, pada tanggal 3 Oktober 2012, diadakan kegiatan
mengenang Ediruslan Pe Amanriza di dua tempat. Pertama di Fakultas Ilmu Budaya,
Unilak, pada pagi sampai siang. Beberapa karya Ediruslan dibacakan pada acara
tersebut oleh mahasiswa-mahasiswa. Hadir pada acara tersebut, sastrawan Riau,
Taufik Ikram Jamil. Dalam kesempatan itu, Taufik Ikram Jamil menjelaskan bahwa
Almarhum Ediruslan Pe Amanriza memiliki dedikasi yang tinggi terhadap seni yang
ada di Riau.
Pada malam
harinya, mengenang Ediruslan Pe Amanriza di gelar di Bandar Serai, tepatnya di
Kedai ‘Terselet’, kedai makanan yang ada di kompleks Bandar Serai tersebut.
Puluhan seniman dan budayawan hadir pada acara tersebut. Di acara itu juga,
Wakil Gubernur, Mambang Mit, hadir mengikuti mengenang Ediruslan Pe Amanriza.
“Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza” nama kegiatan untuk mengenang Almarhum
berjalan dengan hikmat. (Bersambung)
Kamis, 27 September 2012
“Kukalung Sungai” Untuk Sportivitas
Kukalung sungai kukalung
Kukalung ikan-ikan
Kukalungkan sirip-sirip perih
Ngilu tulang-tulang
Kukalung sungai kukalung
...
Inilah Riau
dengan bentangan karya sastra yang mengakar menjadi kekuatan rohani dan sebagai
penghantar kekuatan jasmani. Maka sangatlah tepat pada acara pembukaan PON
XVIII di Riau (11/9), para ‘penukang’ acara pembukaan yang notabene budayawan
dan sastrawan Riau menggusung Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum
Bachri, membacakan puisinya penghantar penyalaan api PON di kaldron.
Sepengal puisi
Sutardji Calzoum Bachri berjudul Kukalung
yang dikutip di atas, merupakan gambaran bahwa peradaban manusia di mulai dari
sungai (air). Aktivitas sungai merupakan pondasi yang membentuk segala
aktivitas kehidupan termasuklah olahraga. Karya sastra merupakan ‘teropong’
sekaligus ‘cermin’ untuk melihat sekaligus mendedahkan aktivitas kehidupan,
sehingga kita dapat memeluk kearifan untuk berbuat lebih baik lagi.
Sebagaimana
diketahui bersama, bahwa Riau selain penyumbang kekayaan alam terbesar untuk
negeri ini, Riau juga ‘menyumbang’ bahasa sebagai pemersatu. Maka jadilah Supah
Pemuda; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan bahasa Melayu
‘dinobatkan’ sebagai bahasa Indonesai, sekat-sekat perbedaan terobohkan,
sehingga masyarakat Indonesia yang bermacam suku ini dipersatukan dengan bahasa
yang sama.
Karya sastra
adalah jiwa yang menyalakan kobaran semangat manusia. Dengan kobaran semangat
ini, diharapkan PON XVIII di Riau menjadi ajang menyatukan perbedaan. Pada
acara pembukaan PON XVIII yang lalu dikemas dengan tema ‘Dalam Kasih Sayang
Air’ menyuguhkan karya-karya sastra itu. Baik karya sastra lama, maupun karya
sastra modern, seperti yang dibacakan Sutardji Calzoum Bachri.
Sutardji Calzoum
Bachri, merupakan penyair Indonesia yang diberi gelar Presiden Penyair
Indonesia. Sutardji lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, dan bermastautin di
Jakarta. Dalam setiap puisinya, Sutardji mengangkat kekuatan lokalitas Melayu
menjadi roh puisinya. Dialah penyair pertama di Indonesia yang berani mengeksplorasi
kekuatan lokalitas menjadi karya masa kini. Dengan mantranya, Sutardji Calzoum
Bachri mengabarkan bahwa Melayu Riau memiliki kekuatan untuk mempersatukan.
‘Keberanian’ Sutardji Calzoum Bachri mengokah tradisi (puisi lama Melayu)
menjadi puisi modern, sehingg karya-karya sastranya menjadi penobrak karya
sastra di Indonesia.
Pada acara
pembukaan PON XVIII, Sutardji Calzoum Bachri, hadir menghantarkan puisinya
untuk membuka jalan penyulutan api PON. Memilih Sutardji Calzoum Bachri
membacakan puisinya, bukan tanpa alasan. Sutardji merupakan warga kehormatan
Riau yang dinobatkan pada sidang paripurna DPRD Riau pada ulang tahun emas
Provinsi Riau lima tahun yang lalu. Selain itu, dalam karya-karya sastranya,
Sutardji ‘membawa’ kearifan orang Riau di kencah nasional maupun internasional.
Maka jadilah Sutardji menyulut api PON menerjang segala rintangan.
Di Balik “Kasih Sayang Air” Pembukaan PON 2012, Riau
Pada tanggal 11
September 2012, jam telah menunjukkan angka 10 siang. Pada hari itu, sejarah
akan ditoreh di Stadion Utama Riau, tempat pembukaan Pekan Olahraga Nasional
XVIII. Di ruang antara pintu II dan III, sebanyak 1.700 orang pendukung
pembukaan PON, sibuk menyiapkan diri. Para penari sudah menggunakan kostumnya
dan sudah pula ber-make up. Ruangan
yang lumayan luas dengan pendinginan yang kurang, penuh sesak dan pengap.
Teriakan, tawa, percakapan terus mengalir seperti di pasar, namun tidak
mengurangi semangat pendukung pembukaan PON untuk memberi yang terbaik untuk
negeri ini. Padahal pembukaan akan digelar pada malam hari, pukul 19.30 WIB.
Hari itu
(Selasa, 11 Setembe 2012), merupakan hari untuk memperlihatkan pekerjaan mereka
yang sudah di mulai sejak Januari lalu. Pekerjaan yang tentu tidak mudah. Mulai
dari menggarap konsep sampai menuangkan konsep tersebut menjadi seni
pertunjukan yang memikat. Tema yang digusung pun merupakan perwujudan dari
kebudayaan Melayu Riau, maka ‘Kasih Sayang Air’ merupakan wajah Melayu Riau
dari masa ke masa.
Inilah Riau
dengan empat sungai besarnya (Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan dan
Sungai Indragiri), menjadi satu kekuatan. Dari sungai ini, kehidupan
orang-orang Melayu Riau terus bergerak, sehingga sampai sampai zaman modern.
Kekeluargaan, kasih sayang, kelembutan, merupakan filosofi air yang menjadi
bagian terpenting masyarakat di Riau ini.
OK Nizami Jamil,
Al Azhar, Taufik Ikram Jamil, Iwan Irawan, Dandun Wibawa, Rino Rezapati, Onggo,
Fedli, Willy F dan dibantu teman-teman seniman Riau lainnya, adalah orang-orang
menukangi gagasan tersebut menjadi seni pertunjukan malam itu. Sejak bulan
Januari, tim ‘Kasih Sayang Air’ ini telah bekerja. Mereka tidak kenal lelah, terus
berpikir supaya pementasan ini sukses. Dengan semangat yang mengebu-gebu untuk
memberikan yang terbaik dalam pembukaan PON ini, mereka pun bekerja.
Sempat diterpa
‘angin tidak sedap’ karena pergelaran mereka akan diambil alih oleh orang
Jakarta, tim kreatif tidak patah arang. Mereka terus bekerja. Mengumpulkan
ribuan pendukung pementasan, mereka lakukan. Latihan terus mereka lakukan,
namun pada pertengahan latihan, mereka harus menghentikan latihan. Simpang siur
dan tidak adanya kejelasan, memaksa mereka memutar otak untuk menampilkan karya
seni berbasis budaya lokal Riau di Pembukaan PON ini.
Semangat, itulah
modal mereka terus bergerak dan pada akhirnya ada kepastian itu. Setelah
kepastian mereka dapatkan, tim kreatif kembali bekerja. Tidak
tanggung-tanggung, selama bulan puasa, mereka juga tetap latihan sampai 4 hari
menjelang lebaran. Setelah 4 hari lebaran, mereka kembali melakukan latihan. Semangat
yang dimiliki tim kreatif, mengalir ke seluruh pendukung pementasan. Pendukung
pementasan seakan tidak kenal lelah, tetap latihan dan latihan.
Kerja keras tim
kreatif dan seluruh pendukung pementasan, pada malam Selasa tanggal 11
September 2012 dapat dinikmati pada pembukaan PON XVIII. Jadilah pembukaan PON
XVII berwajah ‘Kasih Sayang Air’ yang bercerita tentang kehidupan orang Melayu
Riau. Empat sungai besar di Riau, zapin, nyanyian panjang, syair, permainan
anak-anak Riau muncul silih berganti selama 24 menit di Stadion Utama Riau. (
bersambung)
Membangkitkan
Semangat Lokalitas
Menyadari bahwa
kebudayaan (seni) menjadi identitas di zaman modern ini, maka perhelatan Pekan
Olahraga Nasional (PON) XVIII merupakan ‘lahan’ memunculkan kebudayaan
tempatan. Dengan semangat menggusung kebudayaan Melayu sebagai identitas Riau,
tim kreatif ‘Dalam Kasih Sayang Air’ memunculkan peradaban masyarakat Riau yang
berada di 4 sungai besar di Riau ini.
Untuk merangkul
peradaban masyarakat 4 sungai besar Riau menjadi seni pertunjukan menarik dan
memiliki filosi, dipercayailah Taufik Ikram Jamil untuk membuat skenarionya.Penjabaran
skenario di panggung (lapangan stadion) ditunjuk Al Azhar sebagai sutradara
dibantu Willy F. sebagai assisten sutradara. Tentu saja untuk pementasan klosal
di stadion dengan melibatkan ribuan pendukung memerlukan orang-orang ahli di bidangnya.
Iwan Irawan Permadi, koreografer (penata tari) terkemuka di Riau, ditunjuk
menggarap tarian. Iwan Irawan dibantu koreografer muda Riau, seperti Nanda,
Vivin, Ison dan lainnya, tak kenal lelah mencurahkan kemampuan mereka kepada
penari yang berasal dari siswa-siswi SMA se Pekanbaru.
Zuarman Ahmad,
Rino Dezapati, Zalfandri (Matrock) dan Anggara Satria, bertungkus-lumus pula
menyiapkan musik dalam pementasan tersebut. Fedli Aziz, Rina Nazaruddin dan
Novi dipercaya mengolah teater. Pembuatan properti dikerjakan Iwan Donna dan
Saho Riau. Sementara itu, untuk multimedia agar pementasan ini bertambah
memikat, dikerjakan oleh Onggo.
Pekerja seni
yang tergabung ‘Dalam Kasih Sayang Air’ pembukaan PON XVIII, terus bekerja
mengolah konsep pertunjukan menjadi seni pertunjukan yang memiliki identitas
kemelayuan. Hal ini penting dilakukan, karena event bersekala nasional seperti
PON, tiap daerah, apalagi sebagai tuan rumah, harus menampilkan ciri khas
daerahnya. Kebudayaan (seni) merupakan wajah masyarakat yang mendiami suatu
daerah. Dalam seni pertunjukan, seperti ‘Dalam Kasih Sayang Air’, membangkitkan
kehidupan dan semangat masyarakat Melayu Riau dari masa ke masa.
Rintangan demi
rintangan, tidak menyurutkan semangat budayawan dan seniman Riau yang tergabung
tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Mereka terus mengalir seperti air dan menyapa
rintangan dengan kelembutan, sehingga sampailah pada tanggal 11 September 2012,
pergelaran itu ‘terbentang’ di Stadion Utama Riau.
Arogansi
Jakarta
‘Bau
tak sedap’ yang ujungnya akan dikibuli oleh pihak event organizer (EO) dari
Jakarta yang menangani pembukaan PON ini, sudah tercium sejak awal oleh tim
‘Dalam Kasih Sayang Air’. Hal ini disadari ketika tim budayawan dan seniman
Riua, mengajak Quantum Solex Internasional (EO dari Jakarta) membahas senarai
acara di Taman Budaya Riau seminggu sebelum pembukaan PON. Pihak EO tidak hadir,
padahal mereka sudah meminta konsep garapan tim dari Riau.
Setelah
dikontak beberapa kali, akhirnya pihak EO datang. Perbincangan membahas senarai
acara pun dimulai. Pertemuan itu tarasa ganjil, ketika pihak EO meletakkan
pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ di awal acara dan meminta pergelaran itu di
potong durasinya. Tim budayawan dan seniman
Riau tidak mau memotong lagi karena sebelumnya sudah di potong dan dipercepat
tempo pergelaran atas permintaan EO juga. Selain itu, kalau dipotong ataupun
dipercepat lagi temponya, garapan ini akan kehilangan maknanya. Akhirnya
pemotongan ataupun mau mempercepat tempo tidak jadi, namun pegelaran ini tetap
di awal acara, dimulai pukul 19.30 WIB. Ketika pergelaran ini dibentangkan pada
tanggal 11 Sepetember 2012 yang lalu, di stasiun televisi swasta yang memiliki
hak siar, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air I’ tidak disiarkan, karena stasion
televisi swasta tersebut menayangkan pembukaan PON XVIII pukul 20.00 WIB.
Arogansi
pihah EO Jakarta ini juga terasa pada jelang acara pembukaan. Ruangan antara
pintu 2 dan 3 yang diperuntukkan untuk pendukung ‘Dalam Kasih Sayang Air’
berjumlah ribuan pendukung itu, mau dipindahkan oleh pihak EO. Ruangan itu akan
dipergunakan oleh penari dari Jakarta yang berjumlah 400 orang. Tentu saja
keinginan EO ditantang habis-habisan oleh tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Sebab
ruangan itu sudah ditempati pendukung dari Riau dua hari yang lalu atas permintaan
EO juga. Tim Riau bersikap keras dan hasilnay mereka tetap menempati ruang
tersebut.
Dan
pada pergelaran pembukaan PON XVIII di Riau, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang
Air’ bagian awal tidak disiarkan di stasion televisi swasta nasional. Namun
demikian, pendukung pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tetap semangat. Menjunjung
budaya Melayu Riau, tidak perlu dengan merajuk dan patah arang. Berbuat dan
berkarya untuk Riau jauh lebih penting.
Sabtu, 25 Agustus 2012
Tokoh Teater Perempuan Riau Dari Masa Ke Masa
Untuk memulai tulisan tentang geliat
perempuan di kencah teater Riau, memang terasa berat. Hal ini disebabkan
keterbatasan saya mengumpul nama-nama perempuan yang memberanikan
bertungkuslumus dalam bidan teater. Namun demikian saya merasa terbebani kalau
tidak menulisnya. Untuk itu, saya sangat berbesar hati seandainya Tuan-tuan dan
Puan-puan menambah atau memeberi informasi kepada saya tentang perempaun yang
berani terjun ke dunia teater di Riau.
Sebagian besar nama tokoh teater
perempuan yang saya sebutkan nanti, merupakan bual-bual saya dengan Azuan Razak
(Datuk Bandar) di Mara Studio (AKMR) pada tanggal 20 Mei 2010. Saya pun tidak
membilah apakah tokoh teater perempuan di Riau ini sebagai atris (pelakon)
saja, maupun sebagai sutradara. Bagi saya dalam dunia teater semua elemen
sangat penting. Sutradara tidak akan besar tanpa pelakon, begitu sebaliknya.
Mudah-mudahan tulisan ini tidak berhenti sampai di sini. Paling tidak tulisan
ini membangkitkan semangat pekerja teater, khususnya perempuan dalam mengharumi
nama Riau.
Sebagaimana saya sampaikan di atas,
tulisan ini jauh dari sempurna. Saya tidak memasukan biodata lengkap tentang
tokoh teater perempuan Riau. Cuma nama-nama saja yang dapat saya tulis, itupun
tidak nama lengkap. Semoga Tuan-tuan dan Puan-puan dapat memberikan informasi
lengkap kepada saya mengenai tokoh teater perempuan yang saya cantumkan di
bawah ini.
Nama-nama tokoh teater perempuan Riau:
Opek
Sulastri
Mia
Oneta
Butet KH
Multi Tintin
Eli
Helda Suhada
Endang
Kuni Masrohanti (Penulis naskah, pelakon
dan sutradara)
Dewi MN (Penulis naskah, pelakon dan
sutradara)
Rina (Penulis naskah, plekon dan
sutradara)
Novi Yanti (Pelakon dan sutradara)
Tengku Ira Bahtera (Pelakon dan
sutradara)
Chairani Erbaiti, Inhil (Pelakon dan
sutradara)
Pada 5 tahun belakangan ini, tokoh
teater perempuan yang masih eksis memperlihatkan aktivitasnya adalah Rina, Novi
Yanti, Chairani Erbaiti, Dewi MN dan Kuni Masrohanti. Rina dengan Sanggar
Selembayung-nya, tak henti-hentinya menyuguhkan beberapa kali pementasan, baik
pada festival teater yang ditaja Dewan Kesenian Riau, maupun pementasan
tunggal. Dari aktivitas teater yang dilakukan Rina, yang paling berkesan adalah
ketika Rina bersama Sanggar Selembayung mendirikan kelompok teater anak-anak
“Keletah Budak”. Keletah Budak beberapa kali mengadakan pementasan baik untuk
televisi maupun pementasan di panggung. Pada tahun 2008, Rina menyutradarai
pementasan teater berjudul Cik Apung di gedung Dewan Kesenian Riau. Pementasan
ini juga mewakili Riau dalam Temu Teater perempuan di Lampung tahun yang sama.
Pada tahun 2009, Rina menggarap pementasan Awang Putih dipentaskan di Anjung
Seni (gedung seni) Idrus Tintin, Bandar Serai, Pekanbaru Riau. Pada tahun 2010,
Rina bersama Keletah Budak-nya menggarap teater yang ditayangkan di Riau
Televisi. Ke depan, tahun 2011, Rina juga telah memprsiapkan pementasan untuk
Keletah Budak. Pada tahun 2012, tepatnya bulan Juni, Rina kembali memantaskan
karyanya berjudul Melodi Pengakuan.
Novi Yanti, Dewi MN, dan Kunni
Masrohanti belakangan ini lebih banyak bersama menggarap teater. Dalam catatan
saya mereka bertiga mengadakan pementasan Dialog Orok pada tahun 2008 di Taman
Budaya Riau. Pada tahun 2009 ketiga perempuan itu juga menggarap pementasan
berjudul Perempuan-perempuan yang dipentaskan di Anjung Idrus Tintin,
Pekanbaru, Riau. Tahun 2010 Novi lebih fokus menggarap murid-murid sekolahnya
dan pada tanggal 18 Desember 2010 bertempat di Tamam budaya Riau, Novi
menggelar pementasan teater berjudul Batu Belah Batu Bertangkup. Untuk tahun ke
depan, Novi Yanti akan menggelar pementasan teater berjudul Persimpangan
bersama muridnya. Dewi MN dan Kuni Masrohanti nampaknya untuk tahun ke dapan
belum mempunyai plan memperlihatkan kebolehan mereka. Pada bulan Juli 2012,
Kunni Masrohanti mementaskan naskah GP Ade Dharmawi berjudul Peri Bunyian.
Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater
perempuan Riau yang bermastutin di luar Pekanbaru, Tembilahan (Inhil) tepatnya.
Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater perempuan lama yang sampai sekarang
masih memperlihatkan kecintaannya terhadap dunia teater dengan melakukan
beberapa kali pementasan. Chairani yang tercatat sebagai guru di SMA Negeri 1
Tembilahan, mengadakan pementasan bersama muridnya. Ada beberapa pementasan
teater Chairani yang tercatat. Pada tahun 2006 Chairani menggelar pementasan
teater berjudul Senandung Semenanjung di Taman Budaya Riau. Pementasan ini juga
dipentaskan di Jakarta. Tahun 2007 naskah berjudul Katobong selain dipentaskan
di Taman Budaya Riau, juga dipentaskan di Jakarta. Tahun 2010 Chairani bersama
sanggar teaternya Bujang Dara, menampilkan pementasa teater berjudul Menggapai
Hasrat.
Inilah selintas pandang tentang tokoh
teater perempuan di Riau. Sesuatu yang membanggakan dan merupakan spirit yang
pantas diapresiasikan. Dari pementasan yang saya saksikan, tokoh teater
perempuan Riau ini, tidak membuat sekat antara lelaki dan perempuan. Bagi
mereka, (menurut pendapat saya) lelaki dan perempuan memiliki peranan yang sama
di atas bumi ini. Mereka, seperti kebanyakan kelompok teater perempuan di
negara tercinta ini, tidak menggugat
kehadiran keperempuanan mereka di atas panggung. Semua pementasan yang mereka
pegelarkan bersifat universal tentang kemanusiaan secara umum. Hal ini
merupakan kekuatan tersendiri bagi Riau, sebab bagaimanpun juga, kebudayaan
Melayu Riau memberikan porsi yang sama antara perempuan dan lelaki. Ini bisa
kita lihat dari teater tradisi Melayu, Makyong, yang meletakkan perempuan
sebagai tokoh sentral.
Mudah-mudahan catatan yang tidak
seberapa ini, memunculkan pekerja teater perempuan di Riau. Dan saya mohon maaf
kalau ada tokoh teater perempuan Riau yang belum tercatat dalam catatan ini.
Terima kasih.
Langganan:
Postingan (Atom)