Sabtu, 10 November 2012

Mengenang Idrus Tintin





Pukul 12 malam, tibe-tibe hp saye berdering, di layer muncul nama Idrus Tintin. Saye cepat-cet menekan tombol ‘yes’.
Idrus Tintin : Berkesenian itu same dengan kita menjaga marwah.
Saye : Apekah perlu di zaman sekarang ini marwah kite jage, Pak?
Idrus Tintin : Berbuat. Secara tidak langsung berbuat dalam kesenian kita telah menjaga marwah. Marwah, harga diri perlu ditegakkan. Itulah nilai manusia yang paling tinggi.
Saye : Pada zaman sekarang duit adalah marwah.
Idrus Tintin : Jangan bicara tentang duit dulu, berbuat saje, nanti kau akan menghasilkan duit. Berkesenian itu perlu proses, kesenian tak same membuat telor mate sapi.
Saye : Mungkin itu zaman dulu Pak?
Idrus Tintin : Kite menentukan keadaan zaman. Kalau kau berkesenian hanye memikirkan berape duit yang masuk, make tak usah berkesenian, lebih baik kau jadi pedagang atau jadi peternak kambing; itu jelas ade duit masuk. Berkesenian meletakkan kau punye harga diri tinggi dan kau tidak akan dapat dibeli dengan duit. Berkesenian itu hati yang bicara. Seperti kau bicara dengan aku sekarang ini; kau kan tak pernah berharap dapat duit mengeluarkan kata-kata dari mulut kau tu kan?
Saye : Tapi nak berkesenian itu tak same dengan berkata-kata Pak? Memproduksi kesenian butuh modal besar. Membuat kostum, membayat crew, lampu, publikasi…
Idrus Tintin : Tak usah kau menganjar aku berkesenian, tahulah aku semuanya. Kalau kau berpikir seperti itu, tak akan pernah muncul kesenian di negeri ini.
Saye : Jangan merajuk Pak.
Idrus Tintin : Aku bukan merajuk, pantang bagi aku bersurut ke belakang. Itulah yang diajarkan kesenian kepada aku. Berkesenian itu adalah bersikap; tak bisa ditawar-tawar. Jangan kesenian diperkecil maknanye dan berkesenian itu bukan saje di atas panggung dalam gedung yang mewah, tapi di setiap tarikan nafas; kita berkesenian.
Saye : Permasalahannye Pak, dana untuk kesenian itu banyak tersedia…
Idrus Tintin : Memang banyak orang bercocok tanam dan menuai di ladang kesenian. Bagi seniman itu bukan tujuan utama. Kalaulah boleh disandingkan, seniman itu same dengan nabi; nabi tak pernah minta dibayar menyebarkan kebenaran, tapi kalau ada orang menyuguhkan segelas air untuk menghilangkan dahaga ketika ia berdakwah, maka tidak salah ia meneguk air itu.
Saye : Idealnye memang seperti itu agaknye…
Idrus Tintin : Tak pakai agak-agak. Nak berkesenian, teguhkan sikap terlebih dahulu.
Saye : Itu dulu Pak, sekarang duit untuk berkesenian itu bersepah, namun seniman hanye jadi sapi perahan.
Idrus Tintin : Kau bercakap tu pakai otak! Yang menyuruh kalian jadi sapi tu siapa? Kalian yang mau kan? Kalau kalian tahu duit kesenian itu banyak, kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian mau dibayar Rp 250.000 setelah pementasan? Kenapa kalian membiarkan orang-orang memanfaatkan kesenian? Bergerak, buktikan bahwa kalian punye sikap, bukan sebaliknye kalian diperbudak duit dan membiarkan orang membelasah duit kesenian itu. Kalau perlu kalian datang ke kantor gubernur, DPRD, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan instansi-instansi yang berhubungan dengan kesenian, cakap kepade mereka dengan tangan terkepal: Jangan permainkan seniman!
Tibe-tibe percakapan kami terputus. Saye terhenyak, beberape saat termenung. Akhirnya saye sadar, dan teringat bahwa Pak Idrus telah meninggal dunia 9 tahun yang lalu, tepatnye 14 Juli 2003. Terkenang saye semase Pak Idrus masih hidup; dielah yang menggerakkan seniman menuju kantor Dinas PdK, mempertanyekan dana kesenian yang katenye mau ‘disunat’. Pak Idrus juge mengibarkan perlawanan diikuti beberapa orang seniman, ketika asap merajelele menutupi daerah ini. Saye teringat ketike Pak Idrus memberikan duit Rp 30.000 dari honornye sebesar Rp 100.000 kepade saye, setelah menjadi pembicara pelatihan teater yang diadakan Sanggar Teater Pandan Sembilan (Norham Wahab). Aduhhh… Pak, kami betul-betul kehilangan Bapak.
Pada tanggal 10 November, bertepatan hari lahir Idrus Tintin. Untuk mengenang almarhum, beberapa kelompok teater yang difasilitasi Dewan Kesenian Riau, melakukan aksi teater di jalan dan Laman Bujang Mat Syam, Bandar Serai. Dan tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Teater Modern Riau.
Aksi teater ini dilakukan dari pukul 10 pagi sampai pukul 12 malam. Adapun kelompok yang ikut aksi teater ini, Sanjayo (Kampar Kiri), Teater Matan, Selembayung, Komunitas Rumah Sunting, Riau Beraksi, Keletah Budak, Komunitas Kita (UIN), HMJ Teater (STSR), Sagara (FIB Unilak), SMA N 5 Pekanbaru, SMKN I Pekanbaru.  

Baca Selanjutnya >>

Kamis, 08 November 2012

Hari Teater Modern Riau


10 November Bertepatan Lahirnya Idrus Tintin

Memperingati sesuatu hal itu esensinya adalah membangkitkan semangat untuk berbuat lebih lagi dari waktu-waktu yang telah dilewati. Untuk membangkitkan gairah teater di Riau agar lebih baik dari hari kemarin diperlukan peristiwa tempat memulai melangkah. Peristiwa itu bisa saja ‘disemburkan’ dari peristiwa monumental di bidangnya, atau ‘dikokah’ dari tokoh yang bertungkuslumus atau tunak pada aktivitasnya.
Almarhum Idrus Tintin merupakan tokoh teater Riau yang sampai akhir ayatnya tetap mencintai dunia teater. Pengorbanan Idrus Tintin untuk menghidupkan kelompok teaternya sangatlah besar. Dari beberapa kawan bercerita bahwa Idrus Tintin sanggup menggadaikan cincin emas istrinya untuk membiayai pementasn teater. Selain itu, Idrus Tintin juga rela meninggalkan pekerjaan untuk tetap eksis di dunia teater. Dari ‘sentuhannya’ jugalah bermunculan tokoh-tokoh teater di Riau ini, ketika beliau menjadi guru di SMAN 2 Pekanbaru. Pada zaman beliau mengajar di SMAN 2 Pekanbaru, siswa-siswa diwajibkan mementaskan teater 1 bulan sekali.
Kegelisahan Idrus Tintin terhadap kehidupan teater di Riau menyebabkan dia harus terus ‘menghasut’ generasi muda Riau untuk bertahan di dunia teater. Teater bagi Idrus Tintin adalah jalan hidup untuk menemukan kesejatian sebagai manusia. Hari-hari Idrus Tintin adalah teater. Beliau tidak mau berpisah dengan teater walaupun sekejap. Dan bilau berharap, generasi muda Riau yang memilih teater sebagai jalan hidup, melakukan hal yang sama dengan dirinya. Teater itu adalah kehidupan itu sendiri, dan harus dijalani dengan keseriusan.
Idrus Tintin lahir di Rengat pada tanggal 10 November 1932. Masa kecilnya dihabiskan di Tarempa, Kepulauan Riau. Pada tahun 1941, Idrus Tintin, ikut pindah bersama keluarga ke Tanjungpinang. Di Tanjungpinang Idrus Tintin tinggal di Asrama Dai Toa. Di asrama inilah Idrus Tintin mengenal dunia teater (drama). Kelompok teater yang dipimpim Raja Khatijah menjadi laman ekspresi Idrus menekuni dunia perannya. Bersama kawan-kawan mementaskan drama berbahasa Jepang di Gedung Daerah Tanjungpinang.
Rasa cinta terhadap dunia teater, Idrus Tintin harus berkali-kali pula berhenti bekerja. Pada tahun 1957 jabatan Kepala Kantor Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh, ditinggalkannya. Bersama Hanafi Harun, Idrus Tintin menderikan kelompaok teater. Sebelumnya pada tahun 1952, Idrus Tintin mendirikan kelompok teater Gurindra di Tarempa. Geliat teater bersama Hanafi Harun dibuktikan dengan mementaskan pergelaran teater berkali-kali. Naskah drama yang dipentaskan antara lain Buihdan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira.  
Jadi benar apa yang dikatakan kebanyakan aktor, bahwa seorang aktor tidak akan pernah puas berada di atas panggung. Mungkin hal yang sama dirasakan oleh Idrus Tintin. Pada tahun 1959, Idrus Tintin bergabung dengan Galeb Husien. Pada tahun ini mereka mementaskan teater berjudul Pasien, sutradara Galeb Husien dan Asisten Sutradara Idrus Tintin dan dipentaskan depan kantor RRI Tanjungpinang.
Idrus Tintin tidak pernah puas dengan ilmu teater yang dimiliki. Ia pun berkelana ke Jakarta. Di Jakarta, Idrus Tintin bergabung dengan Montinggo Busye, dan ikut berperan dalam pementasan berjudul Kereta Kencana. Beliau terus berkelana sampai ke Solo dan Surabaya, mementaskan beberapa karya teater yang ia terlibat di dalamnya. 
Sejauh burung terbang akan kembali ke sarangnya. Setelah lama mengarungi Pulau Jawa, pada tahun 1960, Idrus Tintin kembali ke Rengat. Di Rengat Idrus Tintin menikah dengan seorang gadis bernama Masni, dan mencoba bekerja di Kantor Penerangan Rengat. Pada masa ini juga Idrus Tintin mendirikan kelompok teater. Bersama Taufik Effendi Aria, Bakri, Rusdi Abduh menggelar beberapa karya teaternya. 
Di Pekanbaru, Idrus Tintin terus berkarya. Pada Tahun 1973 naskah berjudul Harimau Tengkis dipentaskan di Balai Dang Merdu. Idrus Tintin menjadi sutradara dalam pementasan ni, dibantu BM Syamsuddin. Para aktor yang terlibat Faruq Alwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang, mendapat sambutan hangat dari penonton. Dan pada tahun ini juga, Idrus Tintin berhenti menjadi karyawan penambangan pasir.
Pada tahun 1974, Idrus Tintin mendirikan kelompok Teater Bahana. Teater Bahana inilah memunculkan tokoh-tokoh teater Riau berikutnya. Teater Bahana menjadi ikon teater di Riau pada zamannya. Naskah-naskah luar negeri, terutama naskah realis, menjadi bahan untuk dipentaskan di atas panggung oleh kelompok ini.   
Almarhum Idrus Tintin juga selalu jadi rujukan oleh pekerja teater di Riau, baik sari segi ketunakkan beliau di bidang teater maupun dari sikap beliau dalam keseharian. Maka tidak salahlah, untuk membangkitkan semangat teater di Riau, hari kelahiran Idrus Tintin yang jatuh pada tanggal 10 November dijadikan pancang sebagai Hari Teater Moder Riau. Pada tahun 2011, Almarhum Idrus Tintin mendapat tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia berupa Bintang Budaya Parama Dharma. Tanda kehormatan ini merupakan penghargaan pemerrintah terhadap tokoh-tokoh yang berjuang di bidang kebudayaan.

Baca Selanjutnya >>

Senin, 05 November 2012

Teater MATAN Menerima Anggota Baru


Teater merupakan pekerjaan kolektif, sehingga membutuhkan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap kebersamaan. Untuk itulah Teater MATAN yang dulu bernama Teater MARA membuka penerimaan anggota baru. Diharapkan calon anggota baru ini dapat bekerjasama dengan Teater MATAN, sehingga akan memperkokoh keberadaan Teater Matan di kemudian hari. 

Adapun syarat-syarat untuk menjadi anggota Teater MATAN antara lain:
1.      Mengisi formulir/borang pendaftaran.
2.      Menyerahkan foto berwarna ukuran 4 R.
3.      Siap berdedikasi untuk Teater MATAN.
4.      Tidak menjadi anggota teater lain.
5.      Bersedia mengikuti proses latihan yang ditentukan Teater MATAN.
6.      Mampu menjaga nama baik Teater MATAN.
7.      Usia maksimal 27 tahun.
8.      Dan syrat-syarat lain dapat ditanyakan pada saat pendaftaran.

Pendaftran dapat dilakukan di kedai “Terselet” Dewan Kesenian Riau, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru, Riau.
Kontak persont:
081275188111 (Hang Kafrawi)
081365644050 (Monda Gianes)
081270744014 (Deni Afriadi)

Sekretariat Teater MATAN:
Jalan Parit Indah, Perumahan Permata Ratu, Blok K No. 5, Pekanbaru Riau
blog: teatermatan.blogspot.com
Facebook: Teater Matan

Baca Selanjutnya >>

Sabtu, 03 November 2012

KEBUDAYAAN: ULTIMUM REMEDIUM



Oleh Syaukani Al Karim
Disampaikan Sempena Peringatan Bulan Bahasa
Universitas Lancang Kuning
           
            Izinkan saya memulai pidato kebudayaan ini, dengan mengutip pandangan seorang tokoh eksistensialis yang terkenal, yaitu F. Nietze. Pada tahun 1913, Ia berkata dengan keyakinan yang penuh: bahwa sebuah kemajuan dan peradaban bagaikan puncak piramida, untuk itu diperlukan sebuah pondasi yang tepat, dan pondasi yang tepat dan kuat itu adalah kebudayaan.
Kini ucapan Nietze hampir berumur seratus tahun, dan kita menemukan kebenarannya dalam keseharian hidup di semua belahan dunia. Pada penghujung millennium kedua dan pangkal millennium ketiga, kita sedang hidup dalam kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, dalam kegagahan demokrasi, serta dalam kemewahan bidang fisik material, khususnya di negara-negara maju.
Kecanggihan teknologi informasi ditandainya oleh mudahnya kita berhubungan dengan dunia luar. Dalam era kesejagatan [globalisasi] ini, menjengah kawasan atau negara lain semudah kita membuka pintu dan jendela, dan kita dapat bertegur sapa setiap saat, baik untuk saling berbagi cinta atau pedih nestapa. Kegagahan demokrasi pula, pada hari ini mengantarkan umat manusia pada sebuah kebebasan yang maksimal, bahkan sampai membuat manusia dapat memainkan egonya, yang tak jarang berpotensi melukai makna kebebasan itu sendiri. Sementara kemewahan fisik material, ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan yang tajam di Negara-negara tertentu, seperti Jepang, Eropa, Korea, Singapura, dan lain sebagainya.
Tapi puncak-puncak kemajuan laksana ujung piramida itu, ternyata tidak sedikit menimbulkan persoalan. Kemajuan yang tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh itu ternyata menyimpan kekumuhan spiritual dalam kecanggihan materialnya, menumpuk kerapuhan jiwa dalam kegagahan kebebasannya, dan menggunungkan kemiskinan hati dalam kemewahan fisik yang tiada terperi.
Kemiskinan hati, kekumuhan spiritual dan kerapuhan jiwa itu, terlihat dengan jelas dari banyaknya angka bunuh diri di negara maju, dari munculnya tindakan-tindakan ekonomi politik yang mengabaikan kemanusiaan, dari sikap pribadi yang mengabaikan akalbudi, sehingga mimpi tentang sebuah dunia yang damai, berubah menjadi dunia yang kejam, bengis, dan intoleran. Ini dunia kita saat ini, sebuah dunia yang secara sadar atau tidak, sedang bergerak dari terminal kasih ke terminal pedih, dari rumah cinta ke rumah luka. Sebuah dunia yang berpindah dari taman sayang ke ceruk jurang.
Kesadaran perlunya pondasi yang kuat dalam menopang kemajuan agar kemajuan tidak menjadi alat pembunuh kemanusiaan, maka sejak penghujung abad dua puluh sampai abad ini, manusia berduyun-duyun mencari jalan keluhuran, mencoba menemukan dan mencari tempat berpegang agar tak rapuh dalam gagah, agar tak miskin dalam kekayaan.
Dalam bukunya Megatrend 2000, J. Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyatakan bahwa puncak pencarian manusia terhadap dunia spiritual akhirnya sampai pada dua hal, yaitu agama dan kebudayaan. Agama dan kebudayaan menawarkan hal yang sama, yaitu kemuliaan manusia atau bagaimana menjadi manusia yang mulia. Bedanya, agama menawarkan rumah spiritual yang damai dengan konsep ilahiah [apapun agamanya], dan kebudayaan menawarkan keteduhan dan keseimbangan dari hasil perasan olah pikir dan buah akalbudi.  Pada berbagai kawasan, khususnya Eropa, sering dijadikan pilihan utama, karena agama bersifat dogmatis dan tidak memberikan peluang bagi “manuver maksimal” kreativitas, sebaliknya kebudayaan memberikan ruang keliaran tafsir. Dalam konsep agama, manusia adalah “hamba” [client] bagi kehendak langit, sementara dalam kebudayaan, manusia adalah “tuan” [patron] bagi ikhtiar yang dilakukannya.
            Mengapa kebudayaan? Sejak zaman berzaman kebudayaan  merupakan sebuah merupakan sumber kekuatan yang tiada taranya, dalam membentuk peradaban manusia. Dia, kebudayaan, sejak masa yang paling awal telah membentuk sebuah tatanan hubungan antar manusia, antar puak, antar kaum, bahkan antar bangsa. Kebudayaan jugalah yang menyebabkan munculnya berbagai perbedaan sistim di atas dunia, baik sistim politik, sistim perekonomian, sistim sosial, sistim kekerabatan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kebudayaanlah yang membentuk politik dan bukan politik yang membentuk kebudayaan. Munculnya berbagai perbedaan dalam sistim pengaturan dan penerajuan antara sebuah negara yang satu dengan negara yang lain, sesungguhnya disebabkan oleh berbedanya kebudayaan yang mengasuh masing-masing negara.
            Sistim demokrasi Amerika dan Eropa bukanlah tumbuh dengan sendirinya, melainkan ia berpunca dari tradisi Hellenistik yang bersumber pada kearifan Yunani Kuno. Budaya berfilsafat masyarakat Yunani Kuno yang selalu memberi ruang bagi munculnya beragam ide, konsep, dan pemahaman, kemudian menjadi muasal munculnya sistim demokrasi yang berkembang hingga hari ini.
Tradisi sportifitas kaum Samurai dan ajaran Bushido juga menjadi landasan spiritual dalam pembentukan etika politik dan ekonomi Jepang. Kita tahu bahwa Jepang pernah luluh-lantak pada perang dunia II, tapi dengan asuhan budaya yang kuat, yang selalu mengajarkan kerja keras dan kedisiplinan  itulah, Jepang, sebuah negara yang kecil, menjadi negara maju. Karenanya kita kemudian menyaksikan bagaimana kiprah Jepang di seantero dunia. Kemana pergi menjadi, kemana menjelang terbilang, kemana berusaha di situ mereka berjaya.
Empirium Melayu, sejak abad ke-7, juga tumbuh dan besar  karena asuhan budaya yang kuat dan karena kesanggupan orang Melayu masa lampau untuk selalu hidup sejalan dengan pesan budaya Melayu itu sendiri.  Dengan tradisi kesetiaan yang timbal balik antara raja dengan rakyat, dengan tradisi kejujuran, keberanian, selalu berbuat baik tapi sanggup bertumpah darah demi marwah, dengan tradisi keberanian, dan dengan ketaatan yang kuat kepada agama yang dianutnya, maka wangsa Melayu tercatat sebagai satu dari sedikit puak yang mampu menjejerkan imperium yang besar. Ada sejumlah kerajaan besar yang tumbuh di masa lampau yang kini sisa-sisanya masih bisa kita lihat bermetamorfosis menjadi negara-negara yang diperintah oleh orang Melayu. Bahkan pada masa lampau, kawasan-kawasan Melayu sempat menjadi pusat perdagangan Internasional.
Kebudayaan dengan segala kearifan yang terkandung di dalamnya,  memberikan inspirasi dan sekaligus kekuatan untuk terus dapat tumbuh dan tumbuh. Tak sedikit bangsa di dunia ini pernah hampir punah, tapi dengan budaya yang kuat mereka bangkit kembali. Jerman pernah kacau balau, tapi budaya dan tradisi Bavaria yang mengajarkan keuletan membuat mereka bangkit, Cina pernah guncang secara politik tapi mereka menjadi kuat kembali ketika berpegang pada kebudayaan. Tibet adalah negara kecil, tapi keteguhan warganya berpegang pada tradisi, membuat demikian kuat, dan sebaliknya tak sedikit pula kawasan yang tak mampu meneguhkan jatidiri kebudayaan menjadi “lenyap” dalam “keberadaannya”.
Sebuah kawasan Melayu memberikan contoh yang baik kepada kita. Melayu Betawi adalah kecil secara kuantitas dan terdesak secara fisik dalam gelombang urbanisasi Jakarta. Tapi gemuruh Jakarta tak membuat Melayu Betawi Hilang, karena ada unsur kebudayaan Betawi yang secara total menguasai Jakarta, dan bahkan Indonesia, yaitu Bahasa Betawi. Karena kebudayaan itu, Betawi tetap eksis dan mampu menjadi bagian semua orang. Dengan kata lain secara “Spiritual” Betawi melalui bahasa dan kebudayaannya, menjadi  lebih besar dari jumlahnya sendiri. Kekuatan bahasa Melayu Betawi  membuktikan ucapan bijak seorang penulis besar sekaligus filsuf, Baron de Montesqieu, yang mengatakan: Andai sebuah bangsa hancur namun tidak kehilangan bahasanya, maka bangsa itu masih memiliki harapan.
            Benang merah dari fakta-fakta di atas dengan kita adalah,  bahwa dengan kebudayaan yang kuat dan keberanian untuk berpegang pada nilai-nilai budaya Melayu yang luhur, maka kita akan dapat menghadapi tantangan yang sebesar apapun. Riau boleh kecil secara kewilayahan dan populasi, tapi jika penduduknya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaannya, menjaga bahasanya, maka kita akan selalu kuat menghadapi segala tantangan.
Awal kehancuran sebuah negeri adalah ketika anak negeri itu mencoba untuk menjadi orang lain yang bukan dirinya. Amerika menjadi maju karena mereka berjuang menjadi orang Amerika, orang Jepang maju karena mereka berusaha tetap menjadi orang Jepang, Orang Cina maju karena mereka tetap menjadi orang Cina secara kebudayaan. Dan kalau orang Melayu mau maju, maka jadilah orang Melayu secara kebudayaan. Sebuah peradaban, kata sejarawan dan filsuf Arnold Toynbee, tidak akan pernah runduh, jika peradaban itu tidak merusak dirinya sendiri, jika tidak dirusak dari dalam.
Karena kuatnya kebudayaan dalam membentuk karakter dan spirit manusia dalam konteks penguatan eksistensi maka kebudayaan harus selalu dijaga dan nilainya dijadilkan sebagai alas dari tindakan dan perbuatan.  Negeri yang memelihara kebudayaan, seperti laut yang memiliki gelombang besar yang konsisten. Laut dengan gelombang besar, akan selalu melebar, karena setiap hari gelombang itu meruntuhkan tebing inci per inci.
Untuk bisa menjadi gelombang besar dalam arus peradaban dunia, kita orang Riau, orang Melayu, harus melakukan tindakan kebudayaan yang lebih subtantif, harus menjadi orang Melayu yang sebenarnya. Menjadi Melayu yang sebenarnya, tidaklah cukup dengan hanya beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu, tapi juga harus memiliki sifat Melayu yang lain seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kegigihan. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, untuk menuju matlamat kemuliaan pengabdian kepada negeri
Kekuatan lain dari ranah kebudayaan adalah kebudayaan secara nyata telah memberikan pewarisan yang relatif lebih abadi ketimbang bidang lain. Kemampuan hasil-hasil budaya untuk bertahan melebihi zaman, kekuatan politik, dan peristiwa-peristiwa lain yang memunculkannya. Bangsa Aztec, Maya, Mesir Kuno, Babylonia, Inca, dan lain-lain, secara fisik sudah dapat dikatakan menghilang, dan hanya satu hal yang tersisa sampai hari ini, yaitu hasil kebudayaannya dan buah karya seniman-seniman mereka. Pyramida sebagai hasil seni arsitektur masih kokoh, sementara Ramses yang membangunnya sudah meninggal dunia lebih dari 30 abad yang lalu.
Karenanya, tidak berlebihan rasanya kalau politisi, ahli hukum,  dan sekaligus pilsuf terkenal Inggris, Sir Francis Bacon dalam risalah yang ditulisnya tahun 1605, The Advanced of Learning, mengatakan, ...We see, then, how far monuments of wit and learning are more durable than the monuments of powers or of the hands. For have not the verses of Homer countinued twenty-five hundred years or more, without the loss of a syllabe or letter; during which time infinite palaces, temples, castles, cities, have been decayed and demolished. Yang jika saya terjemahkan secara agak romantis, lebih kurang berbunyi : ...Kemudian, kita menyaksikan, betapa hasil-hasil ilmu pengetahuan dan dunia  kearifan [kebudayaan] lebih mampu bertahan ketimbang monumen kekuasaan dan hal lainnya yang ditegakkan dengan kekuatan. Sajak-sajak penyair Yunani kuno, Homerus, masih terus bertahan tanpa kehilangan satu huruf ataupun kata, meski sudah  ditulis berpuluh abad, karyanya terus dibaca meski sudah berusia hampir tiga milenia, sementara pada rentang waktu yang sama, entah sudah berapa istana yang telah fana, entah sudah berapa candi yang telah berganti, entah sudah berapa kubu yang menjadi debu, entah sudah berapa kota kehilangan raga, atau entah sudah berapa negara menghilang dari peta, bertubuh lalu rubuh, menabuh bunyi lalu sunyi, gagah lalu berpecah-belah, hilang musnah berkalang tanah
Jika kita telusuri sejarah dunia, akan semakin kita temukan kebenaran kata-kata Bacon di atas. Dinasti Shang, Dinasti Chou, atau Dinasti Chin, atau Han, boleh saja habis, Kong Fu Tze boleh saja mati, Lao Tze sah-sah saja binasa,  tapi kebudayaan yang mereka kembangkan di tepian sungai Yang Tze dan Hwang Ho, ajaran kongfusiusme dan kitab Tao Te Ching yang ditinggalkan, terus bertahan dalam kenisbian. Kerajaan Sriwijaya boleh musnah tapi Muara Takus tetap tegak di atas tanah, Dinasti Syailendra memang telah menghilang tapi Borobudur tetap saja menjulang. Tanah Sumeria boleh berlalu, tapi tulisan pakunya tetap diburu, Kerajaan Siak boleh saja punah tapi Astana Asserayah tetap gagah, Syah Jehan boleh tiada tapi Taz Mahal tetap berkilau di Agra. Para seniman Melayu masa lampau boleh saja telah ke alam baka, tapi nafas mereka tetap mendengus sampai hari ini, dalam karya seni dan budaya yang mereka tinggalkan. Sampai hari ini masih kita dengar nafas meraka dalam Sulalatus Salatin, dalam Gurindam Duabelas, dalam Bab al-Qawaid, dalam Hikayat Hang Tuah, dalam Muqaddima fi- Intizam, dalam Syair Ikan Terubuk, dalam Tuhfat al-Nafis, dalam Syair Siti Sianah, dalam rentak Zapin, dalam Drama Bangsawan, dalam Puisi-puisi, dalam Prosa-prosa, dalam suara gendang, dalam tingkah Marwas, dalam sayup suara Seruling, dalam gesek Biola yang menyayat, dalam suara Gambus, atau pada bunyi Gong yang menggaungkan gema. Karya-karya mereka terus hidup memberi tanda keberadaan, menyumbang bagi kemanusiaan,  membuat laluan bagi pemuliaan.
Begitulah hasil seni dan kebudayaan melahirkan sesuatu yang lebih kuat dalam melawan waktu. Karya budaya atau seni, baik itu sastra, seni arsitektur, seni lukis, tari, dan sebagainya, lebih mampu bertahan secara fisik dan spiritual, karena ianya dikerjakan dengan hati, dengan segenap akan budi, dan dengan itikat kemuliaan yang putih. Berangkat dari pemahaman itu, maka mari secara bersama kebudayaan Melayu ini kita bangun secara baik dan sungguh-sungguh, dengan hati, akal budi, dan itikat kemuliaan, agar kita tak berhutang kepada sejarah dan dapat membayar kewajiban kepada masa depan.
Begitulah, dan untuk mimpi kebudayaan ini, kita jangan pernah jera dan jerih menapaki pematang-pematang akalbudi, karena jalan kemuliaan itu panjang dan berliku. Mari kita harus ke rumah  kebudayaan yang pati, menjadi orang Riau yang jati, menjadi Melayu yang menderas menderu menebas jalan kemenangan hingga sampai ke matlamat kemuliaan, kemuliaan diri dan kemuliaan negeri. Mari!







Baca Selanjutnya >>

Kamis, 25 Oktober 2012

Nilai Nasionalisme dan Kebangsaan Dalam Budaya Lokal


Karya seni dihasilkan dari pengamatan para seniman atas peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Peristiwa-peristiwa tersebut diolah melalui pikiran dan perasaan, sehingga karya seni yang dihasilkan merupakan respon seniman terhadap lingkungannya. Para pakar seni menyatakan, bahwa karya seni merupakan semangat zaman dimana karya seni itu dihasilkan.
Di Provinsi Riau, karya seni sejak dari dulu, merupakan media untuk menyampaikan pesa kepada masyarakat. Ini bisa dilihat dari seni petunjukan tradisional di Riau. Teater tradisional Makyong misalnya, selain sebagai hiburan, di dalamnya juga banyak memuat pesan-pesan berbakti kepada negeri, saling membantu satu dengan yang lainnya, berbuat baik dan pesan-pesan moral lainnya.  Pesan-pesan yang disampaikan dalam karya seni tidak memaksa. Penikmat diajak berpikir untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan kultur mereka. Para dasarnya, karya seni merupakan tiruan dari kenyataan yang terjadi dan sebagai santapan rohani untuk mencintai negeri ini lebih dalam lagi.
Untuk merekam sekaligus menyosialisasikan rasa nasionalisme dan kebangsaan melalui seni pertunjukan, Badan Kebangsaan Politik Lingkungan Masyarakat (Kesbangpollimas) Provinsi Riau menggelar kegiatan dengan tema Sosialisasi Nasionalisme dan Kebangsaan Melalui pertunjukan Seni Buadaya Melayu 2012. Dalam kegiatan ini ditampilkan bermacam karya seni pertunjukan yang berasal dari kebupaten/kota di Provinsi Riau.
Pegelaran karya seni dalam rangka sosialisasi ini berlangsung dua kali pergelaran. Pergelaran pertama pada tanggal 20 Okotober 2012 yang lalu. Pada pergelaran pertama,  sebanyak enam perwakilan seni kabupaten, ditambah satu mewakili Provinsi Riau, dipegelarkan di Laman Bujang Mat Syam, Bandar Seni Raja Ali Haji. Pergelaran kedua akan berlangsung pada tanggal 28 Oktober nanti.
Pada tanggal 20 Oktober kemarin, bertepatan hari Sabtu, pegelaran seni pertunjukan dalam rangka sosialisasi nasionalisme dan kebangsaan yang ditaja Badan Kesbangpollimas ini, dimulai dengan tarian yang dibawakan oleh perwakilan Kabupaten Kampar. Tarian berjudul Bogagajo (Bujang Gateh Jo Gadih Jongket) mengisahkan senda gurau pemuda-pemudi kampung dalam mengisi waktu sengang mereka setelah menjalankan pekerjaan. Tarian ini memperlihatkan bahwa pemuda-pemudi harus saling berbagi untuk keharmonisan kampung. Bukankah negeri ini dibangun oleh pemuda-pemuda yang saling menimbang rasa.
Pementasan kedua dipegelarkan tarian berjudul Cegak Latah dari Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Tarian ini menceritakan perjuangan kaum muda dalam mempertahankan tanah mereka dari serangan musuh (penjajah). Dengan berpijak tarian tardisi Rohul, tarian ini memperlihatkan ketegaran pribumi berjuang dengan sekuat tenaga, sehingga negeri tercinta ini dapat berdiri dengan kokohnya.
Tiga pementasan teater berturut-turut dipegelarkan. Dari Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), membentangkan pementasan teater berjudul ‘Arti Penting Kesehatan’. Dalam pementasan ini memperjelaskan bahwa kesehatan merupakan faktor terpenting untuk membangun negeri ini. Untuk itulah, pementasan ini ingin mengokohkan bahwa generasi muda harus mengisi aktivitas mereka dengan pikiran yang jernih, sehingga mereka tidak tersesat dalam pergaulan yang dapat merugikan mereka sendiri.
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) mementaskan kerya seni teater berjudul Mahkota Kebudayaan. Dalam cerita ini, pesan yang disampaikan bahwa kebudayaan lokal memiliki kekuatan untuk mencintai negeri ini lebih dalam lagi. Sementara itu Kabupaten Pelalawan mementaskan teater berjudul terdampar, yang mengisahkan keteguhan prajurit mempertahankan tanah kelahiran mereka, walaupun penderitaan mendera mereka dalam perjuangan.
Dua garapan musik, yaitu dari Kabupaten Kuansing, dan perwakilan Provinsi Riau. Kedua garapan musik ini menguatkan bahwa kekuatan lokalitas (daerah Riau) mampu diolah menjadi kekuatan masa kini dalam mengisi kehidupan dan membangkitkan semangat mencitai negeri.
Pada tanggal 28 Oktober nanti, akan dipegelarkan enam seni pertunjukan yang berasal dari enam kabupaten/kota Provinsi Riau. Keenam kabupaten/kota itu, Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Kepulauan Meranti.           

Baca Selanjutnya >>

Seni Pertunjukan dan Nilai Kebangsaan

Karya seni merupakan media untuk menyampaikan pesan. Dengan karya seni, pesan-pesan yang disampai dibungkus dengan nilai-nilai estetis atau keindahan. Maka jadilah pesan yang diamanatkan dalam karya seni terasa tidak mengurui. Pesan dalam karya seni haruslah ditafsirkan oleh penikmatnya.
Di zaman modern ini, menurut pakar futuristik, ada dua yang menjadi identitas bangsa atau wilayah. Pertama, agama dan kedua adalah seni. Di Provinsi Riau, masing-masing daerah atau kabupaten memiliki kekhasan hasil karya seni. Hasil karya seni yang ada di Riau dapat dijadikan media penyampai pesan oleh pemerintah.
Untuk menyampaikan pesan ke tengah masyarakat inilah, Badan Kebangsaan Politik Lingkungan Masyarakat (Kesbangpollimas) Provinsi Riau menggelar Sosialisasi Nesional dan Kebangsaan Melalui Seni dan Budaya Melayu 2012. Pergelaran yang berlangsung pada tanggal 20 Oktober 2012 (malam Ahad), menampilkan pergelaran kesenian dari masing-masing daerah kabupaten/kota se Provinsi Riau. Pergelaran ini berlangsung di Laman Bujang Mat Syam, Bandar Seni Raja Ali Haji. 
Pergelaran seni pertunjukan yang dibungkus dengan tema Sosialisasi Nasionalise dan Kebangsaan ini, menampilkan bermacam seni pertunjukan. Kabupaten Kuansing, menampilkan karya musik yang berjudul Malang Tibo di Badan In D. Dalam sinopsis yang dibacakan oleh MC, bahwa garapan ini berpijak dari tradisi yang ada di Kuansing. Garapan yang digarap oleh Miko, dan didukung 10 pemian musik ini bercerita tentang nasib yang mendera setiap manusia. Permasalahan manusia ini, dapat diatasai apabila manusia itu menyadari bahwa kerja keras merupakan solusi menyelesaikan masalah. Musik yang dimulai dengan alunan mendayu, lalu di tengah keras dan diakhiri dengan alunan mendayu kembali, menyiratkan bahwa hidup  manusia seperti gelombang.  
Kabupaten Rokan Hulu, menyuguhkan karya tari yang berjudul Cegak Latah. Karya tari ini bercerita tentang perjuangan orang kampung mempertahan tanah kelahiran dari penjajah. Dengan sekuat tenaga dan saling membantu mengusir penjajah. Garapan yang ditukangi oleh Erni Lestari ini, sangat energik. Gerakan-gerakan berpariasi dengan komposisi yang harmonis, ditambah musik yang apik, menjadikan karya tari ini memikat dinaikmati.   
Sementara itu, Kabupaten Kampar mengangkat seni tari berjudul Bugagajo (Bujang Gateh Jo Gadih Jongket). Karya tari yang dikemas oleh Elfhera Rosawati ini, mengisahkan bagaimana pemuda-pemudi bersenda gurau dalam mengisi kehidupan ini setelah selesai menjalankan aktivitas sehari-hari. Didukung 5 penari dan 5 pemusik, dalam garapan tari ini, Elfhera mencoba mengeksplorasi kehidupan pemuda dan pemudi kampung dengan kegembiraan.
Kabupaten Indragiri Hilir mementaskan teater garapan Deni Afriadi. Pementasan teater berdurasi 25 menit ini, bercerita bagaimana kebudayaan asing menjadi ‘virus’ mematikan kebudayaan lokal. Mengambil suasana kerajaan, karya teater yang berjudul Mahkota Kebudayaan, dimulai dengan kegelisahan raja menyaksikan generasi muda di kerajaannya kehilangan identitas. Kegelisahan itu bertambah-tambah, ketika menyaksikan putrinya sendiri sudah bergaya seperti remaja bangsa asing. Pementasan ini ditutup dengan harus turun ke masyarakat menyosialisasikan kebudayaan tempatan.
Dua kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, menyuguhkan pementasan teater. Kabupaten Pelalawan menggelar pementasan teater berjudul terdampar, Pementasan teater ini mengisahkan perjuangan prajurit-prajurit yang terdampar di hutan, namun semangat untuk mempertahankan negeri ini, tetap membara. Sementara itu, Kabupaten Indragiri Hulu, mengangkat teater berjudul Arti Penting Hidup Sehat, mengabarkan bahwa dari keluargalah memancarkan keharmonisan bernegara.
Pementasan Sosialisasi Nasionalisme dan Kebangsaan Melalui Pertunjukan Seni dan Melayu 2012 yang ditaja Badan Kesbangpollimas ini, ditutup dengan pementasan kelompok musik Belacan Aromatic yang mewakili Provisni Riau. Sebanyak tiga karya musik yang ditukangi Zalfandri alias Matrock dipegelarkan. Pementasan musik ini mampu mengkolaborasikan musik tradisi dengan musik kekinian.                

Baca Selanjutnya >>

Minggu, 14 Oktober 2012

‘Menyeru’ Ediruslan Pe Amanriza


“Pada satu masa nanti, ada orang tua bongkok menggunakan tongkat, berdiri di gapura Bandar Serai dan menyaksikan aktivitas kesenian yang tidak pernah berhenti di sini. Setelah menyaksikan aktivitas kesenian, aku pun akan pergi. Kalau kalian melihat orang tua itu, itulah aku di masa yang akan datang,” ucap Ediruslan Pe Amanriza kepada Al Azhar. Kalimat Almarhum Ediruslan Pe Amanriza ini disampaikan Al Azhar pada acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Seni Raja Ali Haji tanggal 3 Oktober yang lalu. Tanggal 3 Oktober, tepatnya 11 tahun yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk mengenang beliau, beberapa seniman berinisiatif menggelar haul Ediruslan Pe Amanriza ini.
Kalimat Ediruslan Pe Amanriza yang meluncur melalui mulut Al Azhar pada malam itu, memperlihatkan bahwa Ediruslan Pe Amanriza tidak mau disanjung atas kerjanya untuk kesenian. Melihat kesenian tumbuh dan dilakukan oleh generasi muda, merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau. Kesenian merupakan jalan ‘suci’ untuk menjaga tanah ini. Dengan kesenian, semangat terhadap daerah ini terus dikumandangkan.
“Kalau kalian nantinya melihat orang tua berusia 80-an, menggunakan tongkat. Dia memandang dan menyaksikan aktivitas kesenian di Bandar Serai ini, kemudian dia pergi, mungkin itulah penampakan Ediruslan,” ujar Al Azhar sambil tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Sesekali tangannya mengusap air mata yang mau tumpah ke pipinya.  
Mengenang Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Serai, tepatnya di ‘Kedai Terselet’ (nama kedai yang selalu diucapkan seniman-seniman yang sering bertandang di kedai itu), walaupun sederhana, namun terasa hikmat dan dapat membongkar memori-memori kenangan bersama Ediruslan semasa hidupnya.
Pada malam itu, sebelum membaca puisi Ediruslan, Ammesa Aryana, salah seorang ‘saksi sejarah’ di Dewan Kesenian Riau, bercerita pengalamannya bersama Almarhum. “Bang Edi tu, necis orangnye. Bagi Bang Edi, kalau ye, kalau tidak, tidak,” ujar Ammesa dengan dialek Melayu yang kental. Ammesa membaca dua puisi Ediruslan dari kumpulan sajak ‘Surat-surat Untuk GN’.
Hadir untuk mengenang Almarhum Ediruslan Pe Amanriza, penyair TM Sum membacakan puisi karya Ediruslan dan puisi diciptakan khusus untuk almarhum. TM Sum merupakan mahasiswa Ediruslan di Fakultas Sastra sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selanjutnya, Dewi MN, penyair perempuan Riau, membaca fragman roman Panggil Aku Sakai, karya almarhum.
Al Azhar, orang yang sangat dekat dengan Ediruslan, bercerita mengenai Ediruslan dan kesenian. Pada pengujung cerita Al Azhar, hujan pun turun. Namun kegiatan terus berlangsung. Wakil Gubernur Riau, Mambang Mit dan Chaidir hadir pada acara itu, ikut duduk lesehan di ‘Kedai Terselet’. Hujan semakin lebat, dan listrik pun mati, namun kegiatan tetap berlangsung. Semakin hitmat, tiada senjang lagi, Wakil Gubernur, Mambang Mit, menyatu dengan seniman-seniman pada malam itu.
Benie Riaw menyanyikan lagu ‘Panggil Aku Sakai’, Syaukani al Karim, Fedli Aziz , Yoserizal Zen, ikut membacakan puisi-puisi almarhum, walaupun hujan semakin deras.
Acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza, juga diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, Unilak pada pagi harinya. Mahasiswa-mahasiswa antusias membacakan karya-karya Almahum Ediruslan Pe Amanriza. Dekan Fakultas Ilmu Buadaya, Dr. Junaidi, S.S, M.Hum, mengatakan bahwa kegiatan mengenang seperti ini harus dilaksanakan terus. “Dengan mengenang tokoh-tokoh terdahulu, kita dapat membongkar semangat yang ada dari orang yang terdahulu untuk diterapkan pada hari ini,” ujar Junaidi.
Di FIB Unilak, sastrawan Riau, Taufik Ikram Jamil, menjelaskan bahwa Ediruslan dikenang, bukan sebagai tokoh politik, tapi beliau dikenang sebagai sastrawan dan budayawan. “Karena beliau berkarya di dunia sastra, kita mengenang beliau pada hari ini,” kata Tuafik Ikram Jamil disambut tepuk tangan mahasiswa.   
  

Baca Selanjutnya >>

“Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza”


Pada tanggal 3 Okotober 2001, 11 tahun yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza, budayawan Riau itu menghembuskan nafas terakhirnya. Puisinya berjudul ‘Berpisah Jua Akhirnya Kita Jakarta’, dibacakan ketika jenazah beliau disemayamkan di Dewan Kesenian Riau, Bandar Seni Raja Ali Haji. Hadirin yang menyaksikan peristiwa itu, tak mampu membendung air mata. Bukan sedih berpisah dengan Jakarta, tapi sedih menyaksikan sesosok tubuh kaku yang terbaring di hadapan mereka. Sosok seniman aktif memperjuangkan kesenian di Riau ini telah pergi mendahului. 
Ediruslan Pe Amanriza lahir di Bagansiapi-api, pada tanggal 17 Agustus 1947. Semasa hidupnya, selain menulis karya sastra, beliau juga dikenal seorang tokoh teater di Riau. Sebagai seorang seniman, beliau juga memperjuangkan nasib para seniman dengan menjadi (PLT) Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR) masa khidmat 1998-2003. Pada 2001 beliau terpilih menjadi Ketua Umum DKR untuk masa khidmat 2001-2006. Namun belum genap setahun beliau menjabat Ketua Umum DKR, beliau telah kembali kepada Tuhan Sang Pencipta. Jasa beliau jugalah, aktivitas kebudayaan dan kesenian menempati Purna MTQ dan berinama Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai).
Karya-karya sastra Ediruslan Pe Amanriza, seperti novel, selalu menjadi yang terbaik di tingkat nasional. Roman ‘Nakhoda Koyan’ memanangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1977. Pada tahun 1989, roman berjudul ‘Panggil Aku Sakai’ keluar sebagai juara I sayembara yang ditaja DKJ. Roman ‘Dikalahkan Sangsapurba’ juga meraih yang terbaik pada tahun 2000.
Banyak buku yang telah dihasilkan oleh Ediruslan Pe Amanriza, baik itu karya satra maupun esei-esei budaya. Ediruslan juga dikenal dikalangan jurnalistik. Menjadi wartawan baik untuk media yang terbit di Jakarta maupun di daerah. Dengan semangat tinggi di bidang jurnalitik, beliau mendirikan beberapa tabloid dan tabloid yang masih eksis sampai sekarang hasil sentuhan pemikirannya adalah Tabloid Azam.
Di bidang politik, Ediruslan pernah menjadi pengurus Partai Golkar dan pada tahun 1999, beliau terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Riau. Di bidang pendidikan, Beliau pernah menjadi dosen di Fakultas Sastra, sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning. Beliau juga tidak pernah berhenti menyemangati generasi muda untuk terus berkarya di bidang seni.
Kini Ediruslan Pe Amanriza telah tiada, namun segala jasanya jangan sampai hilang begitu saja. Untuk mengenang Beliau, pada tanggal 3 Oktober 2012, diadakan kegiatan mengenang Ediruslan Pe Amanriza di dua tempat. Pertama di Fakultas Ilmu Budaya, Unilak, pada pagi sampai siang. Beberapa karya Ediruslan dibacakan pada acara tersebut oleh mahasiswa-mahasiswa. Hadir pada acara tersebut, sastrawan Riau, Taufik Ikram Jamil. Dalam kesempatan itu, Taufik Ikram Jamil menjelaskan bahwa Almarhum Ediruslan Pe Amanriza memiliki dedikasi yang tinggi terhadap seni yang ada di Riau.
Pada malam harinya, mengenang Ediruslan Pe Amanriza di gelar di Bandar Serai, tepatnya di Kedai ‘Terselet’, kedai makanan yang ada di kompleks Bandar Serai tersebut. Puluhan seniman dan budayawan hadir pada acara tersebut. Di acara itu juga, Wakil Gubernur, Mambang Mit, hadir mengikuti mengenang Ediruslan Pe Amanriza. “Panggil Aku Ediruslan Pe Amanriza” nama kegiatan untuk mengenang Almarhum berjalan dengan hikmat. (Bersambung) 

Baca Selanjutnya >>

Kamis, 27 September 2012

“Kukalung Sungai” Untuk Sportivitas


Kukalung sungai kukalung
Kukalung ikan-ikan
Kukalungkan sirip-sirip perih
Ngilu tulang-tulang
Kukalung sungai kukalung
...

Inilah Riau dengan bentangan karya sastra yang mengakar menjadi kekuatan rohani dan sebagai penghantar kekuatan jasmani. Maka sangatlah tepat pada acara pembukaan PON XVIII di Riau (11/9), para ‘penukang’ acara pembukaan yang notabene budayawan dan sastrawan Riau menggusung Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, membacakan puisinya penghantar penyalaan api PON di kaldron.
Sepengal puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Kukalung yang dikutip di atas, merupakan gambaran bahwa peradaban manusia di mulai dari sungai (air). Aktivitas sungai merupakan pondasi yang membentuk segala aktivitas kehidupan termasuklah olahraga. Karya sastra merupakan ‘teropong’ sekaligus ‘cermin’ untuk melihat sekaligus mendedahkan aktivitas kehidupan, sehingga kita dapat memeluk kearifan untuk berbuat lebih baik lagi.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Riau selain penyumbang kekayaan alam terbesar untuk negeri ini, Riau juga ‘menyumbang’ bahasa sebagai pemersatu. Maka jadilah Supah Pemuda; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan bahasa Melayu ‘dinobatkan’ sebagai bahasa Indonesai, sekat-sekat perbedaan terobohkan, sehingga masyarakat Indonesia yang bermacam suku ini dipersatukan dengan bahasa yang sama.
Karya sastra adalah jiwa yang menyalakan kobaran semangat manusia. Dengan kobaran semangat ini, diharapkan PON XVIII di Riau menjadi ajang menyatukan perbedaan. Pada acara pembukaan PON XVIII yang lalu dikemas dengan tema ‘Dalam Kasih Sayang Air’ menyuguhkan karya-karya sastra itu. Baik karya sastra lama, maupun karya sastra modern, seperti yang dibacakan Sutardji Calzoum Bachri.
Sutardji Calzoum Bachri, merupakan penyair Indonesia yang diberi gelar Presiden Penyair Indonesia. Sutardji lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, dan bermastautin di Jakarta. Dalam setiap puisinya, Sutardji mengangkat kekuatan lokalitas Melayu menjadi roh puisinya. Dialah penyair pertama di Indonesia yang berani mengeksplorasi kekuatan lokalitas menjadi karya masa kini. Dengan mantranya, Sutardji Calzoum Bachri mengabarkan bahwa Melayu Riau memiliki kekuatan untuk mempersatukan. ‘Keberanian’ Sutardji Calzoum Bachri mengokah tradisi (puisi lama Melayu) menjadi puisi modern, sehingg karya-karya sastranya menjadi penobrak karya sastra di Indonesia.
Pada acara pembukaan PON XVIII, Sutardji Calzoum Bachri, hadir menghantarkan puisinya untuk membuka jalan penyulutan api PON. Memilih Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisinya, bukan tanpa alasan. Sutardji merupakan warga kehormatan Riau yang dinobatkan pada sidang paripurna DPRD Riau pada ulang tahun emas Provinsi Riau lima tahun yang lalu. Selain itu, dalam karya-karya sastranya, Sutardji ‘membawa’ kearifan orang Riau di kencah nasional maupun internasional. Maka jadilah Sutardji menyulut api PON menerjang segala rintangan.               
 

Baca Selanjutnya >>

Di Balik “Kasih Sayang Air” Pembukaan PON 2012, Riau


Pada tanggal 11 September 2012, jam telah menunjukkan angka 10 siang. Pada hari itu, sejarah akan ditoreh di Stadion Utama Riau, tempat pembukaan Pekan Olahraga Nasional XVIII. Di ruang antara pintu II dan III, sebanyak 1.700 orang pendukung pembukaan PON, sibuk menyiapkan diri. Para penari sudah menggunakan kostumnya dan sudah pula ber-make up. Ruangan yang lumayan luas dengan pendinginan yang kurang, penuh sesak dan pengap. Teriakan, tawa, percakapan terus mengalir seperti di pasar, namun tidak mengurangi semangat pendukung pembukaan PON untuk memberi yang terbaik untuk negeri ini. Padahal pembukaan akan digelar pada malam hari, pukul 19.30 WIB.
Hari itu (Selasa, 11 Setembe 2012), merupakan hari untuk memperlihatkan pekerjaan mereka yang sudah di mulai sejak Januari lalu. Pekerjaan yang tentu tidak mudah. Mulai dari menggarap konsep sampai menuangkan konsep tersebut menjadi seni pertunjukan yang memikat. Tema yang digusung pun merupakan perwujudan dari kebudayaan Melayu Riau, maka ‘Kasih Sayang Air’ merupakan wajah Melayu Riau dari masa ke masa.
Inilah Riau dengan empat sungai besarnya (Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri), menjadi satu kekuatan. Dari sungai ini, kehidupan orang-orang Melayu Riau terus bergerak, sehingga sampai sampai zaman modern. Kekeluargaan, kasih sayang, kelembutan, merupakan filosofi air yang menjadi bagian terpenting masyarakat di Riau ini.    
OK Nizami Jamil, Al Azhar, Taufik Ikram Jamil, Iwan Irawan, Dandun Wibawa, Rino Rezapati, Onggo, Fedli, Willy F dan dibantu teman-teman seniman Riau lainnya, adalah orang-orang menukangi gagasan tersebut menjadi seni pertunjukan malam itu. Sejak bulan Januari, tim ‘Kasih Sayang Air’ ini telah bekerja. Mereka tidak kenal lelah, terus berpikir supaya pementasan ini sukses. Dengan semangat yang mengebu-gebu untuk memberikan yang terbaik dalam pembukaan PON ini, mereka pun bekerja.
Sempat diterpa ‘angin tidak sedap’ karena pergelaran mereka akan diambil alih oleh orang Jakarta, tim kreatif tidak patah arang. Mereka terus bekerja. Mengumpulkan ribuan pendukung pementasan, mereka lakukan. Latihan terus mereka lakukan, namun pada pertengahan latihan, mereka harus menghentikan latihan. Simpang siur dan tidak adanya kejelasan, memaksa mereka memutar otak untuk menampilkan karya seni berbasis budaya lokal Riau di Pembukaan PON ini.
Semangat, itulah modal mereka terus bergerak dan pada akhirnya ada kepastian itu. Setelah kepastian mereka dapatkan, tim kreatif kembali bekerja. Tidak tanggung-tanggung, selama bulan puasa, mereka juga tetap latihan sampai 4 hari menjelang lebaran. Setelah 4 hari lebaran, mereka kembali melakukan latihan. Semangat yang dimiliki tim kreatif, mengalir ke seluruh pendukung pementasan. Pendukung pementasan seakan tidak kenal lelah, tetap latihan dan latihan.
Kerja keras tim kreatif dan seluruh pendukung pementasan, pada malam Selasa tanggal 11 September 2012 dapat dinikmati pada pembukaan PON XVIII. Jadilah pembukaan PON XVII berwajah ‘Kasih Sayang Air’ yang bercerita tentang kehidupan orang Melayu Riau. Empat sungai besar di Riau, zapin, nyanyian panjang, syair, permainan anak-anak Riau muncul silih berganti selama 24 menit di Stadion Utama Riau.  ( bersambung)  

Membangkitkan Semangat Lokalitas
Menyadari bahwa kebudayaan (seni) menjadi identitas di zaman modern ini, maka perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII merupakan ‘lahan’ memunculkan kebudayaan tempatan. Dengan semangat menggusung kebudayaan Melayu sebagai identitas Riau, tim kreatif ‘Dalam Kasih Sayang Air’ memunculkan peradaban masyarakat Riau yang berada di 4 sungai besar di Riau ini.
Untuk merangkul peradaban masyarakat 4 sungai besar Riau menjadi seni pertunjukan menarik dan memiliki filosi, dipercayailah Taufik Ikram Jamil untuk membuat skenarionya.Penjabaran skenario di panggung (lapangan stadion) ditunjuk Al Azhar sebagai sutradara dibantu Willy F. sebagai assisten sutradara. Tentu saja untuk pementasan klosal di stadion dengan melibatkan ribuan pendukung memerlukan orang-orang ahli di bidangnya. Iwan Irawan Permadi, koreografer (penata tari) terkemuka di Riau, ditunjuk menggarap tarian. Iwan Irawan dibantu koreografer muda Riau, seperti Nanda, Vivin, Ison dan lainnya, tak kenal lelah mencurahkan kemampuan mereka kepada penari yang berasal dari siswa-siswi SMA se Pekanbaru.
Zuarman Ahmad, Rino Dezapati, Zalfandri (Matrock) dan Anggara Satria, bertungkus-lumus pula menyiapkan musik dalam pementasan tersebut. Fedli Aziz, Rina Nazaruddin dan Novi dipercaya mengolah teater. Pembuatan properti dikerjakan Iwan Donna dan Saho Riau. Sementara itu, untuk multimedia agar pementasan ini bertambah memikat, dikerjakan oleh Onggo.  
Pekerja seni yang tergabung ‘Dalam Kasih Sayang Air’ pembukaan PON XVIII, terus bekerja mengolah konsep pertunjukan menjadi seni pertunjukan yang memiliki identitas kemelayuan. Hal ini penting dilakukan, karena event bersekala nasional seperti PON, tiap daerah, apalagi sebagai tuan rumah, harus menampilkan ciri khas daerahnya. Kebudayaan (seni) merupakan wajah masyarakat yang mendiami suatu daerah. Dalam seni pertunjukan, seperti ‘Dalam Kasih Sayang Air’, membangkitkan kehidupan dan semangat masyarakat Melayu Riau dari masa ke masa.
Rintangan demi rintangan, tidak menyurutkan semangat budayawan dan seniman Riau yang tergabung tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Mereka terus mengalir seperti air dan menyapa rintangan dengan kelembutan, sehingga sampailah pada tanggal 11 September 2012, pergelaran itu ‘terbentang’ di Stadion Utama Riau.

Arogansi Jakarta
            ‘Bau tak sedap’ yang ujungnya akan dikibuli oleh pihak event organizer (EO) dari Jakarta yang menangani pembukaan PON ini, sudah tercium sejak awal oleh tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Hal ini disadari ketika tim budayawan dan seniman Riua, mengajak Quantum Solex Internasional (EO dari Jakarta) membahas senarai acara di Taman Budaya Riau seminggu sebelum pembukaan PON. Pihak EO tidak hadir, padahal mereka sudah meminta konsep garapan tim dari Riau.
            Setelah dikontak beberapa kali, akhirnya pihak EO datang. Perbincangan membahas senarai acara pun dimulai. Pertemuan itu tarasa ganjil, ketika pihak EO meletakkan pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ di awal acara dan meminta pergelaran itu di potong durasinya. Tim budayawan dan seniman  Riau tidak mau memotong lagi karena sebelumnya sudah di potong dan dipercepat tempo pergelaran atas permintaan EO juga. Selain itu, kalau dipotong ataupun dipercepat lagi temponya, garapan ini akan kehilangan maknanya. Akhirnya pemotongan ataupun mau mempercepat tempo tidak jadi, namun pegelaran ini tetap di awal acara, dimulai pukul 19.30 WIB. Ketika pergelaran ini dibentangkan pada tanggal 11 Sepetember 2012 yang lalu, di stasiun televisi swasta yang memiliki hak siar, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air I’ tidak disiarkan, karena stasion televisi swasta tersebut menayangkan pembukaan PON XVIII pukul 20.00 WIB.
            Arogansi pihah EO Jakarta ini juga terasa pada jelang acara pembukaan. Ruangan antara pintu 2 dan 3 yang diperuntukkan untuk pendukung ‘Dalam Kasih Sayang Air’ berjumlah ribuan pendukung itu, mau dipindahkan oleh pihak EO. Ruangan itu akan dipergunakan oleh penari dari Jakarta yang berjumlah 400 orang. Tentu saja keinginan EO ditantang habis-habisan oleh tim ‘Dalam Kasih Sayang Air’. Sebab ruangan itu sudah ditempati pendukung dari Riau dua hari yang lalu atas permintaan EO juga. Tim Riau bersikap keras dan hasilnay mereka tetap menempati ruang tersebut.
            Dan pada pergelaran pembukaan PON XVIII di Riau, pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ bagian awal tidak disiarkan di stasion televisi swasta nasional. Namun demikian, pendukung pergelaran ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tetap semangat. Menjunjung budaya Melayu Riau, tidak perlu dengan merajuk dan patah arang. Berbuat dan berkarya untuk Riau jauh lebih penting.

Baca Selanjutnya >>

Sabtu, 25 Agustus 2012

Tokoh Teater Perempuan Riau Dari Masa Ke Masa


Untuk memulai tulisan tentang geliat perempuan di kencah teater Riau, memang terasa berat. Hal ini disebabkan keterbatasan saya mengumpul nama-nama perempuan yang memberanikan bertungkuslumus dalam bidan teater. Namun demikian saya merasa terbebani kalau tidak menulisnya. Untuk itu, saya sangat berbesar hati seandainya Tuan-tuan dan Puan-puan menambah atau memeberi informasi kepada saya tentang perempaun yang berani terjun ke dunia teater di Riau.

Sebagian besar nama tokoh teater perempuan yang saya sebutkan nanti, merupakan bual-bual saya dengan Azuan Razak (Datuk Bandar) di Mara Studio (AKMR) pada tanggal 20 Mei 2010. Saya pun tidak membilah apakah tokoh teater perempuan di Riau ini sebagai atris (pelakon) saja, maupun sebagai sutradara. Bagi saya dalam dunia teater semua elemen sangat penting. Sutradara tidak akan besar tanpa pelakon, begitu sebaliknya. Mudah-mudahan tulisan ini tidak berhenti sampai di sini. Paling tidak tulisan ini membangkitkan semangat pekerja teater, khususnya perempuan dalam mengharumi nama Riau.

Sebagaimana saya sampaikan di atas, tulisan ini jauh dari sempurna. Saya tidak memasukan biodata lengkap tentang tokoh teater perempuan Riau. Cuma nama-nama saja yang dapat saya tulis, itupun tidak nama lengkap. Semoga Tuan-tuan dan Puan-puan dapat memberikan informasi lengkap kepada saya mengenai tokoh teater perempuan yang saya cantumkan di bawah ini.

Nama-nama tokoh teater perempuan Riau:
Opek
Sulastri
Mia
Oneta
Butet KH
Multi Tintin
Eli
Helda Suhada
Endang
Kuni Masrohanti (Penulis naskah, pelakon dan sutradara)
Dewi MN (Penulis naskah, pelakon dan sutradara)
Rina (Penulis naskah, plekon dan sutradara)
Novi Yanti (Pelakon dan sutradara)
Tengku Ira Bahtera (Pelakon dan sutradara)
Chairani Erbaiti, Inhil (Pelakon dan sutradara)

Pada 5 tahun belakangan ini, tokoh teater perempuan yang masih eksis memperlihatkan aktivitasnya adalah Rina, Novi Yanti, Chairani Erbaiti, Dewi MN dan Kuni Masrohanti. Rina dengan Sanggar Selembayung-nya, tak henti-hentinya menyuguhkan beberapa kali pementasan, baik pada festival teater yang ditaja Dewan Kesenian Riau, maupun pementasan tunggal. Dari aktivitas teater yang dilakukan Rina, yang paling berkesan adalah ketika Rina bersama Sanggar Selembayung mendirikan kelompok teater anak-anak “Keletah Budak”. Keletah Budak beberapa kali mengadakan pementasan baik untuk televisi maupun pementasan di panggung. Pada tahun 2008, Rina menyutradarai pementasan teater berjudul Cik Apung di gedung Dewan Kesenian Riau. Pementasan ini juga mewakili Riau dalam Temu Teater perempuan di Lampung tahun yang sama. Pada tahun 2009, Rina menggarap pementasan Awang Putih dipentaskan di Anjung Seni (gedung seni) Idrus Tintin, Bandar Serai, Pekanbaru Riau. Pada tahun 2010, Rina bersama Keletah Budak-nya menggarap teater yang ditayangkan di Riau Televisi. Ke depan, tahun 2011, Rina juga telah memprsiapkan pementasan untuk Keletah Budak. Pada tahun 2012, tepatnya bulan Juni, Rina kembali memantaskan karyanya berjudul Melodi Pengakuan.

Novi Yanti, Dewi MN, dan Kunni Masrohanti belakangan ini lebih banyak bersama menggarap teater. Dalam catatan saya mereka bertiga mengadakan pementasan Dialog Orok pada tahun 2008 di Taman Budaya Riau. Pada tahun 2009 ketiga perempuan itu juga menggarap pementasan berjudul Perempuan-perempuan yang dipentaskan di Anjung Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Tahun 2010 Novi lebih fokus menggarap murid-murid sekolahnya dan pada tanggal 18 Desember 2010 bertempat di Tamam budaya Riau, Novi menggelar pementasan teater berjudul Batu Belah Batu Bertangkup. Untuk tahun ke depan, Novi Yanti akan menggelar pementasan teater berjudul Persimpangan bersama muridnya. Dewi MN dan Kuni Masrohanti nampaknya untuk tahun ke dapan belum mempunyai plan memperlihatkan kebolehan mereka. Pada bulan Juli 2012, Kunni Masrohanti mementaskan naskah GP Ade Dharmawi berjudul Peri Bunyian.

Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater perempuan Riau yang bermastutin di luar Pekanbaru, Tembilahan (Inhil) tepatnya. Chairani Erbaiti merupakan tokoh teater perempuan lama yang sampai sekarang masih memperlihatkan kecintaannya terhadap dunia teater dengan melakukan beberapa kali pementasan. Chairani yang tercatat sebagai guru di SMA Negeri 1 Tembilahan, mengadakan pementasan bersama muridnya. Ada beberapa pementasan teater Chairani yang tercatat. Pada tahun 2006 Chairani menggelar pementasan teater berjudul Senandung Semenanjung di Taman Budaya Riau. Pementasan ini juga dipentaskan di Jakarta. Tahun 2007 naskah berjudul Katobong selain dipentaskan di Taman Budaya Riau, juga dipentaskan di Jakarta. Tahun 2010 Chairani bersama sanggar teaternya Bujang Dara, menampilkan pementasa teater berjudul Menggapai Hasrat.  

Inilah selintas pandang tentang tokoh teater perempuan di Riau. Sesuatu yang membanggakan dan merupakan spirit yang pantas diapresiasikan. Dari pementasan yang saya saksikan, tokoh teater perempuan Riau ini, tidak membuat sekat antara lelaki dan perempuan. Bagi mereka, (menurut pendapat saya) lelaki dan perempuan memiliki peranan yang sama di atas bumi ini. Mereka, seperti kebanyakan kelompok teater perempuan di negara tercinta ini,  tidak menggugat kehadiran keperempuanan mereka di atas panggung. Semua pementasan yang mereka pegelarkan bersifat universal tentang kemanusiaan secara umum. Hal ini merupakan kekuatan tersendiri bagi Riau, sebab bagaimanpun juga, kebudayaan Melayu Riau memberikan porsi yang sama antara perempuan dan lelaki. Ini bisa kita lihat dari teater tradisi Melayu, Makyong, yang meletakkan perempuan sebagai tokoh sentral.

Mudah-mudahan catatan yang tidak seberapa ini, memunculkan pekerja teater perempuan di Riau. Dan saya mohon maaf kalau ada tokoh teater perempuan Riau yang belum tercatat dalam catatan ini. Terima kasih.

Baca Selanjutnya >>