Minggu, 14 Oktober 2012

‘Menyeru’ Ediruslan Pe Amanriza


“Pada satu masa nanti, ada orang tua bongkok menggunakan tongkat, berdiri di gapura Bandar Serai dan menyaksikan aktivitas kesenian yang tidak pernah berhenti di sini. Setelah menyaksikan aktivitas kesenian, aku pun akan pergi. Kalau kalian melihat orang tua itu, itulah aku di masa yang akan datang,” ucap Ediruslan Pe Amanriza kepada Al Azhar. Kalimat Almarhum Ediruslan Pe Amanriza ini disampaikan Al Azhar pada acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Seni Raja Ali Haji tanggal 3 Oktober yang lalu. Tanggal 3 Oktober, tepatnya 11 tahun yang lalu, Ediruslan Pe Amanriza menghembuskan nafas terakhirnya. Untuk mengenang beliau, beberapa seniman berinisiatif menggelar haul Ediruslan Pe Amanriza ini.
Kalimat Ediruslan Pe Amanriza yang meluncur melalui mulut Al Azhar pada malam itu, memperlihatkan bahwa Ediruslan Pe Amanriza tidak mau disanjung atas kerjanya untuk kesenian. Melihat kesenian tumbuh dan dilakukan oleh generasi muda, merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau. Kesenian merupakan jalan ‘suci’ untuk menjaga tanah ini. Dengan kesenian, semangat terhadap daerah ini terus dikumandangkan.
“Kalau kalian nantinya melihat orang tua berusia 80-an, menggunakan tongkat. Dia memandang dan menyaksikan aktivitas kesenian di Bandar Serai ini, kemudian dia pergi, mungkin itulah penampakan Ediruslan,” ujar Al Azhar sambil tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Sesekali tangannya mengusap air mata yang mau tumpah ke pipinya.  
Mengenang Ediruslan Pe Amanriza di Bandar Serai, tepatnya di ‘Kedai Terselet’ (nama kedai yang selalu diucapkan seniman-seniman yang sering bertandang di kedai itu), walaupun sederhana, namun terasa hikmat dan dapat membongkar memori-memori kenangan bersama Ediruslan semasa hidupnya.
Pada malam itu, sebelum membaca puisi Ediruslan, Ammesa Aryana, salah seorang ‘saksi sejarah’ di Dewan Kesenian Riau, bercerita pengalamannya bersama Almarhum. “Bang Edi tu, necis orangnye. Bagi Bang Edi, kalau ye, kalau tidak, tidak,” ujar Ammesa dengan dialek Melayu yang kental. Ammesa membaca dua puisi Ediruslan dari kumpulan sajak ‘Surat-surat Untuk GN’.
Hadir untuk mengenang Almarhum Ediruslan Pe Amanriza, penyair TM Sum membacakan puisi karya Ediruslan dan puisi diciptakan khusus untuk almarhum. TM Sum merupakan mahasiswa Ediruslan di Fakultas Sastra sekarang Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Selanjutnya, Dewi MN, penyair perempuan Riau, membaca fragman roman Panggil Aku Sakai, karya almarhum.
Al Azhar, orang yang sangat dekat dengan Ediruslan, bercerita mengenai Ediruslan dan kesenian. Pada pengujung cerita Al Azhar, hujan pun turun. Namun kegiatan terus berlangsung. Wakil Gubernur Riau, Mambang Mit dan Chaidir hadir pada acara itu, ikut duduk lesehan di ‘Kedai Terselet’. Hujan semakin lebat, dan listrik pun mati, namun kegiatan tetap berlangsung. Semakin hitmat, tiada senjang lagi, Wakil Gubernur, Mambang Mit, menyatu dengan seniman-seniman pada malam itu.
Benie Riaw menyanyikan lagu ‘Panggil Aku Sakai’, Syaukani al Karim, Fedli Aziz , Yoserizal Zen, ikut membacakan puisi-puisi almarhum, walaupun hujan semakin deras.
Acara mengenang Ediruslan Pe Amanriza, juga diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, Unilak pada pagi harinya. Mahasiswa-mahasiswa antusias membacakan karya-karya Almahum Ediruslan Pe Amanriza. Dekan Fakultas Ilmu Buadaya, Dr. Junaidi, S.S, M.Hum, mengatakan bahwa kegiatan mengenang seperti ini harus dilaksanakan terus. “Dengan mengenang tokoh-tokoh terdahulu, kita dapat membongkar semangat yang ada dari orang yang terdahulu untuk diterapkan pada hari ini,” ujar Junaidi.
Di FIB Unilak, sastrawan Riau, Taufik Ikram Jamil, menjelaskan bahwa Ediruslan dikenang, bukan sebagai tokoh politik, tapi beliau dikenang sebagai sastrawan dan budayawan. “Karena beliau berkarya di dunia sastra, kita mengenang beliau pada hari ini,” kata Tuafik Ikram Jamil disambut tepuk tangan mahasiswa.   
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar