Seperti biasa, setiap kali berkunjung ke
tempat kumuh, dia bersua dengan binatang kecil melata yang paling dibenci,
lipas. Sebagai seorang yang berpangkat, dan memiliki kekuasaan, lipas, alias
coro, alias kecoa, merupakan binatang yang harus dimusnahkan. Maka setiap kali
dia bersua dengan lipas, tanpa ampun lagi, dia mengangkat kakinya tinggi-tinggi
dan dengan kekuatan penuh, dia pun menginjak lipas itu. Penyet, hancur,
bersepailah lipas itu di bawah kakinya. Dia pun selalu tersenyum setelah
melakukan pemusnahan terhadap lipas. “Lipas atau coro atau kecoa, binatang yang
berasal dari daerah bawah, harus dimusnahkan. Sekali lagi saya katakan, bahwa
yang berasal dari bawah itu kotor, jorok selalu menganggu ketenangan ,
pemandangan dan harus dimusnahkan,” ujar tokoh itu dengan yakin.
Namun kali ini, ketika sang pejabat itu
mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak membunuh lipas kodung yang paling dia
benci, dia mendengar suara minta tolong. Suara itu sayup terdengar. Semua
manusia memiliki hati nurani, tidak terkecuali sang pejabat itu. Suara minta
tolong menyentuh perasaannya dan kakinya yang diangkat tinggi-tinggi berhenti
di udara. Dia melihat ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, tapi dia tidak
menemukan pemilik suara yang minta tolong itu. Dia kembali memasang pendengaran
dengan seksama, suara minta tolong terdengar lagi. Tiba-tiba, matanya mengarah
kepada lipas kodung yang berada di bawah kakinya yang sedang diangkat
tinggi-tinggi. Dia menurunkan kakinya pelan-pelan, bersamaan dengan itu,
kepalanya ikut turun ke bawah untuk memastikan apakah suara minta tolong itu
berasal dari lipas kodung yang paling dia benci.
“Apakah kau yang minta tolong?” dia
bertanya. Lipas kodung yang telah tersudut oleh ketakutan membenarkan
pertanyaan itu. Maka terjadilah dialog antara sang pejabat dengan lipas kodung
itu. Sang pejabat sebenarnya tidak percaya bahwa lipas kodung itu bisa
berbicara, semakin pejabat itu tidak percaya, semakin kuatlah lipas kodung itu
meyakinkan bahwa memang ia bisa bicara. Dialog pun semakin mengerucut tentang
masalah-masalah antara pemilik kekuasaan dengan “pemilik” kesengsaraan. Pada
akhirnya hati nurani sang pemilik kekuasaan tertimbus rasa beci, dengan yakin,
sang penguasa mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menginjak lipas kodung itu
sampai lenyet. Kekuasaan tetaplah berkuasa melakukan apa saja.
Sepintas cerita di atas merupakan
gambaran monolog “Lipas Kodung” adaptasi dari “Coro” karya Putu Wijaya, yang
dimainkan oleh Syarifuddin pada acara Malam Apresiasi Teater (Master) mahasiswa
Jurusan Teater, Akademi Kesenian Melayu Riau (Rabu, 30/11/2001) di Teater Arena
AKMR. “Coro” karya Putu Wijaya, di tangan Syarifuddin menjadi bernuansa lokal
daerah Riau yang kental. Syarifuddin lihai mencari padanan kata, sehingga
naskah “Coro” Putu Wijaya, hidup di tengah masyarakat Melayu Riau. Sosok Putu
Wijaya hilang dalam pemanggungan Syarifuddin, kecuali pada dialog-dialog bernas
mengkritisi penguasa ala Putu Wijaya yang masih tetap kelihatan. Inilah
keberhasilan Syarif yang patut ditelaah, membawa naskah orang lain menjadi
peristiwa tempatan.
Pementasan teater monolog, bukan hal
yang gampang untuk dipertunjukan. Pementasan ini memerlukan aktor yang kuat,
sehingga cerita yang dibawa ‘hidup’ dan dapat menusuk perasaan penonton. Untuk
itulah, seorang aktor harus mampu menyampaikan dialog-dialog dalam naskah
menjadi dialog yang komunikatif dengan penonton. Syarifuddin menyadari hal ini,
dan dengan kekuatan aktingnya, Syarif menambah idiom-idiom Melayu masuk ke
dalam naskah. Selain itu, Syarif juga membangun suasana humor ala Melayu,
menjadi bersebati dengan naskah, sehingga terbentuklah akting Syarif bukan
akting Putu Wijaya yang terkenal dengan konsep ‘teror’ itu.
Syarifuddin yang memiliki kelenturan
tubuh yang bagus, vokal yang baik dan penjiwaan yang dalam, menciptakan
peristiwa yang seakan tidak dibuat-buat. Dialog antara sang penguasa dan lipas
kodung mengalir jernih, natural, sehingga penonton terbawa dalam percakapan
murni, tanpa curiga bahwa mereka sedang menyaksikan pementasan teater monolog.
Kemurnian akting ‘keseharian’ Syarif, memang menjadi kekuatan dalam pementasan
ini. Peran penguasa dan menjadi tokoh lipas kodung, terbangun melalui gerak
tubuh, penjiwaan dan vokal Syarif. Bagaimana lipas kodung berharap jangan
dibunuh, Syarif pun ‘mengecilkan’ tubuhnya di lantai, cemas, ketakutan dan
harapan terpancar dari raut ‘Syarif Lipas’ untuk tidak diinjak. Begitu juga
ketika penguasa dengan tanpa belas kasihan harus membinasakan makhluk yang
berada di bawah dengan kesombongan, Syarif mengubah karakternya dengan pasti.
Kekuatan lain yang menyebabkan
pementasan teater monolog “Lipas Kodung” itu berashasil (menurut saya) adalah
celetukan-celetukan (improvisasi) yang dilakukan Syarifuddin.
Celetukan-celetukan atau improvisasi Syarif yang ketal dengan humor dan menggunakan
idiom-idiom Melayu, semakin memperkokoh komunikasi antara aktor dan penonton.
Sesekali Syarif mendekati penonton dan mengajak berintraksi dalam cerita yang
sedang dibawanya. “Kan begitu, ye tak?” Syarif meyakinkan penonton, dan
penonton yang diajak bicara tersenyum
sambil meng-iya-kan apa yang dikatakan Syarif.
Dalam pementasan monolog “Lipas Kodung”
itu, esensi cerita tidak hilang. Bagaimana nasib rakyat kecil yang disimbolkan
dengan lipas, selalu tidak berdaya berhadapan dengan penguasa. Kaum bawah,
lipas, menjadi objek yang selalu dipersalahkan karena menciptakan
ketidaknyamanan sebuah negeri. Kumuh, jorok, kotor dan merongrong kemapanan
yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan. Untuk itulah, tanpa ampun harus
dimusnahkan. Inilah negeri ini, kemiskinan
merupakan penyebab terjadinya tindakan kriminal, kekacauan,
kesemerautan, tanpa melihat sumber ‘peristiwa jorok’ itu terjadi. Sadarkah kita
bahwa segala yang tidak nyaman ini muncul disebabkan kebijakan dari pemilik
kekuasaan? Jalan terbaik untuk menghilangkan “kejorokan” yang diciptakan oleh
kaum bawah, bukan dengan memusnahkannya, tapi jadikan mereka sejahtera. Itulah
tugas pemilik kuasa,
Pementasan monolog yang berdurasi 45
menit itu, merupakan pementasan terakhir dari 4 karya yang digelarkan pada
malam itu. Pementasan pertama, berjudul “Tanpa Judul” yang dibawakan mahasiswa
AKMR. Pementasan kedua, berjudul Persimpangan, naskah P. Haryanto, yang
dibawakan oleh siswa SMK Labor, Pekanbaru. Pementasan ketiga, monolog yang
dibawakan oleh Fakhruddin berjudul Episode Daun Kering, dan terakhir monolog
“Lipas Kodung” adaptasi dari naskah Putu Wijaya berjudul Coro.
Walaupun empat pementasan teater ini
dipegelarkan di gedung yang tidak representatif, dengan lampu seadanya, akustik
gedung buruk, namun semangat pekerja teater dari generasi muda Riau terus
berkibar. Ini modal dasar untuk terus berkarya, dan teater, walaupun hidup
dalam kimiskinan, tetap perkasa dalam karya.
(Tulisan ini dimuat di Riau Pos, hari
Ahad (4 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar